Tahun ini (2014) adalah tahun kesepuluh saya mengetahui kalau saya merupakan korban santet terkait dengan tumbal pesugihan (mencari kekayaan dengan menggunakan makhluk halus, seperti tuyul, babi ngepet, nyupang dan buto ijo).
Sudah banyak upaya yang saya lakukan untuk menghalau santet, tapi tetap saja saya jadi sasaran santet yang dikirim dari beberapa tempat yaitu tempat tinggal dukun yang mengirim santet.
Sejak saya minta bantuan ke “orang pintar” di Pandeglang dan Cilegon (Banten) dan Tasikmalaya (Jabar) sudah teridentifikasi belasan dukun santet yang dibayar oleh yang memelihara pesugihan untuk mencelakai saya dan putri saya. Ada di antara dukun-dukun itu yang menemui ajal setelah “kiriman”-nya diambil dari rumah dan badan saya serta putri saya, ada pula yang mengundurkan diri.
Rupanya, yang memelihara santet, ada hubungan kekeluargaan dengan saya, membuat perjanjian yaitu “menyediakan” 17 nyawa sebagai tumbal atau wadal. Sepuluh tahun yang lalu putri saya “terdaftar” sebagai tumbal nomor 10 dan saya nomor 11.
Syukurlah berkat bantuan orang-orang pintar yang membantu saya Tuhan berkata lain. Yang memelihara pesugihan dan saudaranya justru meninggal beruntun sehingga putri saya dan saya terlewati. Tapi, “Mereka tentu saja marah dan terus berusaha mencelakai Bapak,” kata Pak Ajie di Cilegon.
Begitulah. Hari berlalu. Bulan berganti dan tahun berjalan silih berganti dukun-dukun yang mereka bayar mengirim santet ke saya dan putri saya. Karena putri saya sudah melewati umur 17 tahun, maka dia lolos tapi saya tetap jadi sasaran. Memang, bukan untuk tumbal lagi, tapi untuk mencelakai saya.
Selasa 14 Juli 2014 dini hari. Ketika bangun untuk makan sahur sikut kanan saya sakit dan nyeri. Semula saya pikir terbentur sehingga sakit. Tapi, setelah saya lihat tidak ada bekas terbentur.
Jari-jari tangan kanan kaku. Mengangkat laptop pun tangan kanan tidak bisa. Tapi, saya tetap beranggapan itu hanya masalah otot.
Namun, sehari kemudian badan rasanya panas. Meriang. Saya pun minum obat. Panas agak reda.
Nyeri tidak lagi di sikut. Rasa sakit dan nyeri ada di bawah telinga kiri. Kepala pun seperti diremas. Hari Kamis berikut nyeri di telinga kirim kian keras. Telinga seakan-akan membesar dan kepala bagian kiri sakit bukan alang kepalang.
Sore hari saya telepon Pak Ajie. “Setelah berbuka nanti saya cek.” Itulah jawaban Pak Ajie tentang keluhan saya. Saya menelepon Pak Ajie karena malam Selasa saya temukan binatang di keset kamar mandi. Bentuknya lonjong tipis. Bagian atas hitam dan bagian bawah putih. Kalau disentuh menggulung seperti kelereng dengan besar sebesar bola pingpong.
Selama ini perantara yang dipakai dukun-dukun itu adalah ada yang datang ke rumah, melalui benda-benda yang gemuruh di loteng dan binatang, seperti cacing merah yang bisa memanjat di keramik, ular, serta kupu-kupu kecil warna perak di tengah malam.
“Ya, masuk dari sikut naik ke atas, Pak,” kata Pak Ajie yang saya telepon setelah salat isya. Saya membuat janji akan ke Cilegon hari Jumat (18/7-2014). Dari “penglihatan” Pak Ajie benda yang dimasukkan ke sikut kanan saya adalah benda padat.
Selepas salat subuh saya berangkat ke Cilegon dengan naik bus antar kota dari Terminal Pulogadung, Jakarta Timur.
Saya tiba di rumah Pak Ajie sekitar pukul 10.00.
Setelah ngobrol Pak Ajie mulai “praktek” dengan memegang sikut kanan saya. “Wah, bendanya sudah jalan,” ujar Pak Ajie.
Dia pun memegang bagian bawa telinga kiri saya. Dan, otot di sana keras seperti batu. Sambil membaca ayat-ayat suci Pak Ajie menarik benda dengan bantuan minyak sayur.
Ketika benda ditarik Pak Ajie, terasa ada benda yang dikeluarkan dari dalam tubuh. Nyeri.
Huhhhhh …. benda tercabut. Benda itu adalah jarum ukuran besar yang dipotong bagian tempat memasukkan benang.
Jarum itu berjalan di dalam otot sehingga nyeri dan membuat meriang. Jarum itu dikirim oleh seorang dukun perempuan muda dari sebuah tempat, Nrg, di kawasan timur Kota “B” di Jawa Barat.
“Si Neng”, dukun santet itu, semula justru belajar ‘ilmu putih’, tapi di perjalanan dia berbalik arah mempelajari ilmu hitam. Dia dibayar oleh seseorang, ada hubungan keluarga, di Kota “S” di bagian timur Kota “B”.
Semoga ini benda terakhir yang dikirim ke badan saya. Amin (Kompasiana, 19 Juli 2014). *