KMAB-H9-Cerpen 2-Taman Cinta di Rumah Tua -Part 4

Cerpen65 Dilihat
Rumah Joglo
Rumah Joglo Hardjono’s Familly (dok:yis)

Dua minggu berlalu. Sri justru semakin mengkhawatirkan mas Pardi yang tak kunjung pulang sejak hari itu. Sri masih belum mendapat jawaban apa yang membuat mas Pardi mempunyai hutang sebanyak itu. Sri telah mengumpulkan semua perhiasannya dan menjualnya. Tetapi hasilnya masih belum cukup. Ia juga telah berhemat. Ia hanya makan dan memasak dari sayuran hasil kebunnya dan menahan diri untuk tidak berbelanja di luar. Sri bersyukur, warung hidupnya bermanfaat di saat yang tepat. Sri kembali berhitung. Hingga akhir bulan nanti, uangnya ditambah uang sapi milik pak Rahmat, masih belum cukup untuk membayar hutang mas Pardi. Tiba-tiba matanya berbinar penuh harap.

“Ah, mungkin aku bisa pinjam koperasi 10 juta yang bisa kucicil setiap bulannya. Mumpung koperasi madrasah kini sudah menerapkan sistem Syariah, tanpa bunga, tetapi diganti dengan infaq,” gumamnya.

“Assalamu’alaikum,” terdengar suara seorang pemuda yang ragu-ragu, disertai suara ketukan pintu.

Sri tertegun. Siapa ya? Tetapi sepertinya ia sudah tak asing dengan suara itu. Mungkinkah? Senyum Sri mengembang, pikirannya mengembara. Sri bergegas menuju pintu. Sejenak ia merapikan hijab dan bajunya sebelum membuka pintu. Perlahan punggung kekar itu menghiasi pandangannya.

“Wa’alaikumusalam,” tergagap ia menjawab. Jatungnya berdegup kencang kala punggung itu berbalik. Sri yang menunduk perlahan mengangkat wajahnya dan mendapati senyum menawan itu menghiasi wajah pemuda sholih itu.

“Mas Yanto?” Ah, Sri terkejut pemuda tiba-tiba datang kemari. “Mari masuk,” ajak Sri.

“Maaf, Dek Sri. Bisakah kita ngobrol di kursi taman saja? Yang lebih terbuka. Takut menjadi fitnah.” Sarannya.

“Tentu saja. Mari,” Sri merasa canggung berjalan beriringan dengan Yanto, si Sosok Sempurna menurut para gadis di desanya itu.

Mereka duduk di kursi jati tua yang berjajar di taman. Sri mengambil jarak satu kursi dari Yanto. Ia canggung untuk memulai, sehingga ia hanya tersenyum dan menunduk saja.

“Dek Sri, langsung saja, Nggih,” ujar Yanto memulai. Sri mengangguk.

“Begini, saya sudah mendengar permasalahan yang Dek Sri alami. Maaf, saya meminta Pak Rahmat untuk bercerita ketika beliau sedang menggarap sawah saya. Kebetulan, saya melihat kalian mengobrol serius di taman ini. Jika dek Sri berkenan, saya ingin membantu. Saya tahu apa arti taman dan rumah ini bagi Almarhumah Ibu, Almarhum Bapak, dan Dek Sri. Dulu Bapak seringkali menceritakan tentang keistimewaan taman ini pada saya ketika berjalan pulang dari masjid,” jelas Yanto terus terang.

Sri tertegun, ia tidak tahu harus menjawab bagaimana. Ia malu Yanto harus mengetahui hal ini. Akan tetapi, di satu sisi ia sangat membutuhkan bantuan ini, di sisi lain ia tidak ingin merepotkan banyak orang, terlebih Yanto.

“Sa… saya… bingung, Mas. Jujur, mohon maaf, karena Mas Yanto menawarkan, saya tidak bisa menolak, karena saya sangat membutuhkan bantuan ini untuk menyelamatkan warisan bapak dan ibu. Di sisi lain, saya tidak enak karena telah merepotkan banyak orang,” ungkap Sri jujur.
“Baiklah, rasa tidak enaknya tidak usah dipikirkan sekarang, ya,” Jawabnya tersenyum melihat sekilas ke arah Sri.

Sri pun tersenyum penuh syukur, “Terimakasih banyak, Mas. Tapi hutang Mas Pardi pada orang itu banyak,” ujar Sri ragu.

“Saya tahu. Insyaallah, atas ijin Allah, saya bisa bantu, baik sebagian atau seluruhnya. Bantuan ini juga tidak merepotkan Bapak atau Ibu saya, meski mereka adalah sahabat Almarhum. Insyaallah dari saya atas ijin mereka,” jelas Yanto.

Sri terhenyak. Ia meliriknya sekilas, menahan diri untuk tidak ternganga takjub. Dalam hati ia bersyukur, Allah telah mengirimkan pertolongan melalui pemuda Sholih ini.

“Dek Sri sampaikan saja nanti kurangnya berapa. Ini nomor handphone saya,”

Tatapan mereka bertemu sejenak, Sri segera menundukkan pandangan sembari mengangguk. Jatungnya tiba-tiba berdetak lebih kencang. Ia gugup ditatap sedemikian rupa oleh Yanto. Meski hanya kurang lebih tiga detik, namun cukup intens dan membuatnya meleleh. Duh, ada apa ini? Seolah ada aroma harum yang menggelegak di dalam hatinya. Sri merona. Inikah yang dinamakan cinta? Ah, mimpi kamu Sri, Pikirnya. Senyum Sri melebar. Tapi jika iya, semoga cintanya tak bertepuk sebelah tangan. Kira-kira mengapa Mas Yanto sebaik ini padanya? Pikir Sri hanyut dalam lamunannya.

“Baiklah, tidak baik berlama-lama. Saya pamit dulu ya, Dek Sri. Besok jika akan bertemu dengan dua pemuda yang nagih hutang itu, jangan lupa untuk memanggil saya atau Pak Rahmat. Insyaallah, semoga Allah memudahkan dan melancarkan segalanya. Rumah dan taman indah ini, akan tetap menjadi milik Dek Sri,” ujarnya sembari bangkit berdiri.

“Terimakasih, Mas. Semoga mas Yanto senantiasa mendapat limpahan rizki dari Allah atas segala kebaikan hati mas Yanto. Saya tidak tahu bagaimana kelak membalasnya,” jawab Sri.

“Aamiin. Serahkan semuanya kepada Allah, Dek Sri. Assalamu’alaikum,” pamitnya. Yanto berlalu tanpa menoleh kembali ke arah Sri.

“Wa’alaikumsalam.”
Sri memandangi kepergian pemuda itu dengan rasa syukur. Tidak hanya Sholih, baik, tetapi juga tegas dan santun.

“Alhamdulillah…” bisiknya.

(BERSAMBUNG)

Tinggalkan Balasan