Ini risikonya punya nama mirip nama perempuan. Kenapa berisiko? Karena bisa menyenangkan bagi pemilik nama, sekaligus merugikan dan membahayakan bagi orang lain.
Misalnya saya. Nama saya Nur (di akun medsos, blog dan channel YouTube, semuanya pakai Nur, lengkapnya Nur Terbit).
Kata “Terbit” di belakang nama “Nur” juga punya arti, mengutip nama media (koran harian) tempat saya pernah bekerja : Harian Terbit, grup Pos Kota.
Kenapa pula harus mencantumkan nama media tempat bekerja?
Ya kebetulan di lapangan, juga tak sedikit wartawan atau wartawati yang memakai nama Nur. Jadi dengan menambah nama media di belakang nama panggilan kita, akan lebih gampang bagi narasumber mengenal dan membedakan kami.
Mana Nur yang wartawan, dan mana Nur yang wartawati, atau dari media mana. Yang pasti, Nur itu juga panggilan pendek dari nama lengkap saya : Nur Aliem Halvaima. Laki-laki tulen, asli, bukan imitasi apalagi pria KW 🤣
Gara-gara nama saya yang mirip nama perempuan inilah, terkadang banyak orang yang menyangka saya kaum Hawa. Apalagi waktu di telepon, WA, medsos, seringkali orang menyapa saya dengan : MBAK Nur, IBU Nur, NENG Nur, NON Nur, SES Nur, SISTA Nur, UKHTI Nur, MISS atau Misis Nur, MPOK Nur.
Yang paling sering terjadi kesalahpahaman itu kalau di MEDSOS terutama di What’s App (WA). Sering orang tidak buka foto profil lagi dan main sapa “mbak” atau “ibu” aja.
Sehingga saya merasa perlu menjelaskan lebih dahulu, apa jenis “kelamin” saya, sebelum melanjutkan percakapan 🤣
Pengalaman dengan ojek online juga begitu. Saat pesan ojek, saya sering disangka perempuan. Maka tukang ojek yang datang “nyamper” ke saya, kadang “Mbak Ojol” alias driver perempuan. Makanya sekarang akun ojol Saya ada tambahan kata “Bang” di depan nama Nur menjadi Bang Nur.
“Lah, bapak laki-laki toh, kirain perempuan?”. Lalu ojolnya yang perempuan itu balik kanan lagi. Menolak saya setelah tahu saya lelaki macho, ciiehh…hehe….
Digabung Di Kamar Wanita
Waktu masih aktif jadi wartawan di lapangan, juga begitu. Sering terima telepon nyasar. Kebetulan kepala bagian keuangan kantor redaksi saya, juga pakai nama Nur.
Ya Ibu Nur, tepatnya Ibu Nurhayati Parhusip. Orang Batak, tapi orangnya baik dengan saya. Beliau sering ngasih uang pinjaman (bon) ke saya hahaha….
Seringkali ketika ada telepon ke kantor redaksi, kami saling menunggu siapa yang harus mengangkat telepon? Waktu saya angkat, eh dia mau bicara dengan Ibu Nur, mau ngirim transfer untuk uang iklan dan pembayaran uang koran dari agen.
Giliran Ibu Nur yang mengangkat telepon, ternyata orang itu mau bicara dengan saya Bang Nur dalam urusan berita dan artikel. Ya, berita atau artikel yang saya tulis di koran.
“Ini telpon untuk Pak Daeng Nur”, katanya. Tak sedikit pula ada telepon “teror” yang ke kantor redaksi. Jadi lucu dan “ngeri-ngeri sedap” kan? 🤣
Sekali waktu, saya ikut rombongan menteri dalam kunjungan ke daerah. Waktu pembagian kamar di hotel, saya dikira perempuan lalu disatukan dengan kamar wartawati.
Saya sih, tentu saja, gak nolak apalagi protes. Justeru yang keberatan itu adalah teman sekamar tadi. Wartawati satu stasiun TV swasta 🤣
Dia minta agar saya dipindahkan ke kamar lain yang penghuninya sesama jenis : kumpulan wartawan jomblo, atau di kamar wartawan sepuh 🤣
Owalah….kenapa sih gak mau kompromi aja dengan saya, kan sama-sama “perempuan”. Di situ perempuan, saya Mbak Nur loh ini hehe…
Nur Terbit