Derap langkah tak pasti, setelah ini aku tidak yakin untuk mencintai. Tak ada air mata yang tersisa, hanya luka mengangga mengoyak raga tak meninggalkan bekas tapi bertahan dalam subari rasanya. Jika mengingat luka ini aku berharap tetap akan menjadi kecil dan hanya menerima cinta Ayah dan Bunda tidak ada yang lain.
Aku tidak ingin pernah dewasa jika mengingat luka yang diberikannya, cinta tak lagi manis jika aku diberikan madu pahit yang katanya akan menyehatkan. Bukan madu itu yang diberikan seorang lelaki yang sudah mengucap ijab qabul atas diriku sepuluh tahun yang lalu, tapi madu yang tampilannya lebih muda sepuluh tahun dari umurku sekarang ini. Aku melihat sosok gadis belia yang sungguh tidak bisa aku sandingkan dengan diriku yang saat ini berusia tiga puluh dua tahun.
Gengaman erat tangan lelaki yang bergelar suamiku tidak lagi memberikan kehangatan tapi bagaikan belenggu tangan yang memberatkan lebih berat dari belenggu yang dipasangkan oleh pihak kepolisan kepada narapidana yang ditangkapnya. Aku berdiri seoleh tersangka yang harus menerima vonis atas kesalahan yang tidak aku perbuat. Tapi hukuman yang aku jalani sungguh membuat seluruh anggota badanku bagaikan di cabut paksa tulangnya.
“Syah, abang terpaksa menikahinya.” Ucap yang tidak bisa aku terima, terpaksa menikahi gadis yang sudah mengandung benih darinya.
Aku tidak lagi berdiri, tapi sekarang aku mencari tumpuan untuk mendudukkan diriku yang seperti kehilangan seluruh tenaga buat menompang tubuhku, setelah aku duduk aku masih merasa tidak kuat untuk lama – lama menatap mereka, akhirnya aku berdiri mengayuh langkah tidak menuju kamar kami, tapi memilih menuju pintu ruang tamu. Terus aku langkahkan kaki, sampai rasa lelah menghingapi kakiku, aku berdiri di taman kota, mencari kursi dan menghempaskan badanku di sana.
Panas matahari yang tegak di kepalaku tidak aku rasakan, hanya hampa aku masih menatap ke depan mencari celah dan mengali dimana letak salahku. Bukannya aku tidak mau, tapi sudah dua kali aku harus kehilangan mereka yang dititipkan hanya sebentar di rahimku, apakah ini salahku takkah dia yang bergelar suamiku merasa iba kepadaku.
Suara azan Zhuhur bergema dari masjid yang tidak jauh dari taman kota, aku berdiri melangkahkan kaki berharap segala keluh kesahku akan langsung di dengarnyan dan diijabah.
Air wudhu sedikit menyejukkan kepalaku yang terasa panas dari semenjak aku disunguhi madu pahit oleh suamiku. mengikuti imam aku mempasrahkan diri, semua telah pergi tapi aku masih duduk di tempatku dengan doa yang telah dari tadi selesai, tapi aku masih enggan untuk beranjak dari masjid, mengeser dudukku menuju sudut masjid terus merenung, lebih baik aku duduk sambil menunggu waktu sholat selanjutnya.
***
Ketukan di pintu kamar membuyarkan lamunanku, berjalan menuju pintu kamar menekan panel. Wajah tua Ibu mertuaku terlihat, selalu dengan senyum yang menyejukkan sejak kecil aku sudah yatim piatu berkerja keras menjalani hidup bukan hal biasa buatku, memang betul aku sudah terbiasa berbagi karena selalu hidup menumpang tapi berbagi suami tidak pernah ada dalam janji hatiku, biarkan aku memiliki suamiku sendiri hanya untuk diriku tidak dengan yang lain.
“Syah, mari makan sudah dua hari Syah mengurung diri.” Ucap penuh perhatian sejak aku memutuskan tidak pulang kerumah suamiku.
Melihat wajah tua yang sangat menyayangi tidak tega untuk menolak ajakannya, mengugah selera semua yang disajikannya, tapi ketika menelannya rasa enak diujung lidah tidak nikmat ketika ku telan. Dengan senyum kaku aku mencoba menghabiskan makanan yang sudah aku ambil.
“Sedikit sekali makannya Syah?” nada sedih jelas terdengar dari mertuaku
“Maafkan Farhan, Ibu tidak menyangka Farhan melakukannya. Tapi ingatlah apapun yang terjadi dan menjadi keputusan kalian. Syah tetap anak Ibu.” Ucapan Ibu sungguh mengena di hatiku, sebutir air meluncur dengan sempurna di sudut hatiku.
“Terima kasih Ibu.” Hanya itu suara yang mampu keluar dari kerongkonganku.
***
Bersambung