Kesholehan Tidak Diukur dari Postingan di Media Sosial

Tidak semua orang memposting aktivitas ibadahnya di media sosial, karena memang tidak semua ingin memperlihatkan aktivitas ibadahnya pada orang lain. Aktivitas ibadah bagi sebagian orang adalah wilayah privat, yang merupakan urusan manusia dengan Tuhan, dan tidak perlu di informasikan pada orang lain.

Memang kebutuhan setiap orang berbeda-beda, sesuai dengan sudut pandang dan pola berpikir masing-masing. Secara pribadi, saya tidak tertarik untuk memposting aktivitas ibadah saya dalam sehari-hari.

Bagi saya cukuplah Allah yang menilai dan menimbang seperti apa ibadah saya. Tanpa mempostingnya di media sosial pun tidak mengurangi aktivitas ibadah saya sehari-hari.

Toh tingkat ibadah yang dilakukan sehari-hari tidaklah diukur dari apa yang di posting di media sosial. Hanya Allah yang berhak menilai tingkatan ibadah seseorang orang, hanya Allah yang mengetahui, dan tidak perlu diketahui atau pun dinilai orang lain.

Berbagai aktivitas ibadah yang kita lakukan, adalah urusan kita dengan Allah Ta’ala, tidak ada urusannya dengan orang lain. Kalau ingin di puji, sebaik-baiknya pujian adalah pujian dari Allah. Nilai sebuah ibadah itu tergantung dari niatnya. Kalau niatnya semata karena Allah, kita tidak lagi butuh pujian manusia.

Ibadah dilakukan dengan penuh Riya’ tidak akan mendapatkan ganjaran apa-apa, dan tidak akan bernilai apa-apa. Kesholehan itu tidak perlu diperlihatkan, tapi perlu ditingkatkan. Cukuplah Allah yang tahu kesholehan kita, karena hanya Allah yang berhak menilai, dan menimbang amal yang kita lakukan.

Bulan Ramadhan ini bisa menjadi ladang amal bagi kita, karena setiap sesuatu yang kita lakukan dan bernilai ibadah, akan memperoleh berlipat-lipat ganjaran pahala. Itu semua kalau diniatkan semata karena Allah, bukan karena berharap pujian manusia.

Kalau cuma gegara postingan di media sosial bisa mengukur kadar keimanan dan kesholehan seseorang, lama kelamaan media sosial bisa jadi ajang pamer kesholehan. Saya mengatakan ini, karena saya pernah mendapatkan penilaian dari keponakan saya sendiri, dia meragukan ke Islaman saya, hanya karena saya bukan bagian umat ‘wiro sableng.”

Memang tidak mudah menjelaskannya, karena pikirannya sudah terkooptasi cara beribadah umat Wiro Sableng, sehingga dia mengukurnya dari seberapa besar kita Show off dalam beribadah. Setelah bicara secara pribadi lewat WA, saya jelaskan seperti apa saya di didik kakeknya yang merupakan bapak saya, barulah dia jelas.

Saya sangat maklum, karena dia baru hijrah, dan mungkin terkontaminasi pola pikir yang salah dalam hal beribadah, sehingga dengan mudah bisa menilai kadar keimanan orang lain. Sebagai paman, saya merasa punya kewajiban untuk meluruskan sudut pandangnya yang salah, namun saya pun tidak ingin memaksakan apa yang saya pikirkan terhadapnya.

Saya sangat sadar, bahwa urusan keimanan, dan ibadah seseorang itu adalah wilayah privat. Lain soal kalau yang bersangkutan memang mau bertukar pendapat. Meskipun saya pamannya, pengganti orang tuanya, saya tetap harus menghargai hak-haknya, dan tidak ingin memaksakan kehendak.

Tinggalkan Balasan

1 komentar