Menulislah Karena Cinta (Sumber gambar: https://www.lovepanky.com )

Oleh: Dionisius Agus Puguh Santosa, SE, MM

 

Dalam dua tulisan terdahulu telah saya paparkan bahwa setiap penulis tentu pernah memiliki kerinduan untuk menjadi juara dalam sebuah kompetisi, lomba, dan beragam ajang kejuaraan menulis yang pernah diikutinya.

Sebuah pernyataan dan pertanyaan sederhana pagi ini tiba-tiba muncul dan menggaung dalam pikiran saya, “Menulislah karena cinta, yakin bisa?”

Pernyataan dan pertanyaan sederhana tersebut sepintas selalu mudah dilakukan, namun ternyata bila direnungkan kembali tidak selalu mudah untuk menerapkannya. Berikut beberapa catatan berdasarkan fakta yang dapat memperkuat argumen tersebut :

 

Menulis Karena Kecewa

Perasaan kecewa yang kita alami tak jarang mudah menyulut gairah menulis kita, entah menuliskan rasa kecewa itu pada status WhatsApp, Instagram, atau media sosial lainnya; hingga mengungkapkannya dalam bentuk narasi yang cukup panjang.

Rasa kecewa yang berkecamuk bisa saja terjadi karena permasalahan pribadi, namun tak jarang juga timbul akibat rasa kecewa terhadap keadaan sosial kemasyarakatan yang sedang menjadi isu hangat dan perbincangan banyak pihak.

Rasa kecewa bisa merupakan rasa tidak puas akibat tidak terkabul suatu keinginannya, harapannya, dan sebagainya; rasa kecewa juga bisa mewakili perasaan tidak senang terhadap sesuatu atau seseorang.

Menulis akibat termotivasi perasaan yang demikian itu memang tak dapat disangkal menjadi salah satu “pemandu sorak” yang dapat diandalkan untuk menghasilkan tulisan. Percaya tidak percaya, akibat perubahan paradigma di masyarakat kita, maka tulisan-tulisan berbau rasa kecewa ini pun punya tempat tersendiri di hati para penggemarnya.

Bagi para penikmatnya, tulisan-tulisan ini justru terkadang menjadi sarana penghibur dan obat mujarab untuk mengobati rasa kecewa yang mungkin juga sedang melanda hati mereka saat ini.

 

Ketika Rasa Benci Jadi Pelurunya

Alasan menulis karena benci pun saat ini bisa diterima oleh sebagian masyarakat kita sebagai sesuatu yang biasa atau lumrah adanya. Bahkan ada sebagian penulis yang memang menjadikan rasa benci sebagai “peluru” atau amunisi untuk memuntahkan karyanya!

Karena sudah jelas penggemar dan pembaca setianya, maka kelompok penulis yang satu ini tetap berusaha mempertahankan rasa benci yang meledak-ledak di hatinya. Secara logika mungkin agak sulit dipahami alasan sebenarnya yang menjadi latar belakangnya. Meski begitu, toh hingga kini masih ada sebagian orang yang masuk dalam kelompok ini.

Bagi Anda yang selama ini tak pernah lepas dari aktivitas bermedia sosial setiap harinya, tentu akan dengan mudah menemukan contoh-contoh tulisan yang bertebaran di sana yang bermuatan rasa benci. Bahkan ada penulis yang mengungkapkan rasa bencinya terhadap sesuatu atau seseorang secara mendalam, dengan menyertakan fakta dan data yang diharapkan akan mampu meyakinkan kebenaran semua argumen yang sudah dipaparkan.

Meski begitu, para penulis yang menjadi “rasa benci” sebagai peluru atau amunisi setiap karyanya harus tetap berhati-hati agar jangan sampai terkena sanksi pidana akibat tulisannya itu dinilai melanggar UU ITE. Misalnya saja jika tulisan yang dibuat tersebut bermuatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik maka dapat dipidana berdasarkan Pasal 27 ayat (3) UU ITE. Pun jika tulisan tersebut terbukti menimbulkan rasa kebencian berdasarkan SARA maka dapat dipidana berdasarkan Pasal 28 ayat (2) UU ITE.

 

Menulis Karena Cinta Jadi Solusinya!

Nah, pilihan yang terakhir ini dapat menjadi solusi “terbaik” agar hobi atau aktivitas menulis yang kita lakukan tetap terasa nyaman dan dapat memberikan jaminan berupa rasa tentram di hati. Menulislah karena cinta, maka hasilnya jelas berbeda.

Jika kita mengalami rasa kecewa yang kemudian menciptakan rasa benci di hati, maka ketika kita hendak mengungkapkannya dalam wujud tulisan, akan lebih baik bila ditaburi dengan rasa cinta di dalamnya. Rasa cinta yang saya maksud di sini bisa dihasilkan dengan menatap persoalan yang dihadapi dari sisi atau sudut pandang berbeda.

Misalnya saja ketika kita sedang mengalami sebuah rasa kecewa di hati, maka kita dapat melihatnya dari sisi lain yang memberikan kita peluang untuk tetap bersyukur dalam kondisi tersebut. Berbekal rasa syukur inilah, ungkapan hati yang kita curhatkan dalam bentuk tulisan akan bermuatan positif.

Menulis karena cinta, yuk kita budayakan!

 

Banjarmasin, 12 Februari 2021

Tinggalkan Balasan