Transisi PAUD-SD: “Siap Sekolah” adalah Proses, Bukan Hasil

Anak-anak perlu mendapatkan memori bahwa belajar adalah proses menyenangkan, bukan paksaan. Kemampuan fondasi yang ingin dibangun pada masa transisi dari pendidikan anak usia dini (PAUD) ke sekolah dasar (SD) adalah proses, bukan hasil. (Sumber: Pixabay)

Transisi PAUD-SD: “Siap Sekolah” adalah Proses, Bukan Hasil

Oleh Erry Yulia Siahaan

Merupakan tantangan besar bagi seseorang jika harus masuk ke dalam situasi yang baru. Adaptasi yang baik dan selekasnya amat diperlukan agar bisa segera lebih fokus pada tugas dan tanggung jawab pada situasi baru tersebut.

Tidak semua orang dapat “lulus” dengan mulus melaluinya. Bahkan, orang dewasa sekalipun. Apalagi anak-anak. Ibarat kertas putih, mereka belum memiliki banyak pengalaman sebagai dasar merespon hal-hal baru.

Contohnya, anak-anak yang memasuki jenjang sekolah lebih tinggi, terutama dari pendidikan anak usia dini (PAUD) ke sekolah dasar (SD). Ketika berangkat dari rumah, mungkin orangtua membekali mereka dengan saran harus begini atau begitu.

Namun, ketika harus berhadapan dengan realitanya, anak-anak belum tentu bisa mengingat atau menerapkan saran itu. Malah, mungkin mereka malah merengek atau merajuk.

Masa peralihan dari PAUD ke SD ini (sampai kelas dua) disebut masa transisi. Masa ini bisa dianggap “rawan” karena bisa mempengaruhi perkembangan psikologis dan emosional anak.

Pada masa transisi, kemampuan fondasi anak akan dibentuk. Kemampuan fondasi adalah hak setiap anak. Namun, seringkali pemenuhan hak itu disalahartikan. Satuan pendidikan berkejaran dengan target bahwa anak harus bisa segera bisa baca, tulis, hitung (calistung). Akhirnya, masa transisi bukan lagi proses yang menyenangkan bagi anak.

Pemerhati anak banyak menyoroti hal ini. Pemerintah secara khusus telah mencanangkan gerakan yang disebut “Gerakan Transisi PAUD ke SD yang Menyenangkan”. Tujuannya, mempersuasi banyak kalangan untuk sama-sama membantu agar masa transisi itu berlangsung secara menyenangkan bagi anak.

Dana Anak Perserikatan Bangsa-Bangsa (Unicef) dalam akun resmi instagramnya awal pekan ini secara khusus menggarisbawahi pentingnya masa transisi ini. Kemampuan fondasi anak merupakan proses bertahap dan berkelanjutan.

Unicef berharap agar masa transisi bisa berjalan dengan mulus, holistik, dan menyenangkan. Holistik berarti tidak hanya menyentuh aspek kognitifnya, tetapi juga emosi, kemandirian, kemampuan berinteraksi, dan sebagainya. Menyenangkan berarti tidak dengan paksaan. Tujuannya untuk memaksimalkan manfaat pembelajaran.

Unicef menekankan hal itu sehubungan dimulainya masa Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) tahun ajaran 2023/2024.  “Ayo dukung setiap anak yang akan masuk ke SD agar dapat bertransisi dengan mulus dan menyenangkan, serta adik-adik di PAUD mendapatkan pembelajaran berkualitas.”

Miskonsepsi

Melansir situs Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemdikbudristek), masih kuat ditemukan miskonsepsi di masyarakat mengenai kemampuan fondasi anak.

Miskonsepsi membuat masyarakat sangat berfokus pada kemampuan calistung– yang dianggap sebagai satu-satunya bukti keberhasilan belajar dan bisa dibangun instan. Bahkan, masih ada yang melakukan tes calistung sebagai syarat masuk SD/MI.

Menurut Kemdikbudristek, setiap anak berhak mendapatkan pembinaan untuk mengembangkan kemampuan fondasinya secara holistik. Kemampuan literasi dan numerasi dibangun sejak PAUD, tetapi secara bertahap dan dengan cara menyenangkan.

Bahkan, untuk peserta didik yang tidak dari PAUD, hak kemampuan fondasi mereka tetap harus dipenuhi sebaik-baiknya.

“Siap sekolah adalah proses, bukan hasil,” tandas Kemdikbudristek.  Artinya, “siap sekolah” bukan untuk membuat label anak yang “sudah siap” atau “belum siap”. Tetapi, sebuah proses yang harus dihargai oleh sekolah dan orangtua.

Jika anak bisa melalui masa transisi ini dengan mulus, anak akan memiliki kesan yang baik mengenai belajar. Ini bmembuat mereka bisa melanjutkan studi dengan lebih baik.

Secara praktis, masa transisi menyenangkan antara lain bisa diterapkan dengan tidak mengadakan tes masuk calistung pada PPDB. Juga, menerapkan masa perkenalan bagi peserta didik baru selama dua minggu pertama. Orangtua dianjurkan ikut dalam masa perkenalan ini sehingga mereka memahami kondisi sekolah.

Selanjutnya, menerapkan pembelajaran yang membangun enam kemampuan fondasi anak yang dibangun secara kontinu dari PAUD hingga kelas dua SD.

Keenam kemampuan fondasi tersebut adalah:

  1. Mengenal nilai agama dan budi pekerti;
  2. Keterampilan sosial dan bahasa untuk berinteraksi;
  3. Kematangan emosi untuk berkegiatan di lingkungan belajar;
  4. Kematangan kognitif untuk melakukan kegiatan belajar;
  5. Pengembangan keterampilan motorik dan perawatan diri untuk berpartisipasi di lingkungan belajar secara mandiri;
  6. Pemaknaan belajar adalah suatu hal yang menyenangkan dan positif. ***

Tinggalkan Balasan