Cerbung ini khusus persembahan penulis untuk mereka para mahasiswa. Namun juga untuk mereka yang masih berjiwa muda.
EMPAT PULUH DUA
Pertemuan Dua Hati
“Cara terbaik adalah dengan berserah diri kepada Allah sehingga akhirnya akan kutemukan siapa diriku. Aku adalah kefanaan yang berasal dari ketiadaan. Sedangkan Allah adalah Yang Maha Kekal.”
Hari-hari nampak seperti merayap namun pasti terlewati begitu cepat. Bagaimana mungkin aku menyia-nyiakan saat-saat penting begitu saja.
Semua hari begitu berarti dalam hidupku. Semua hari memiliki asa, harapan dan sebaik-baik harapan adalah Ridho Allah.
Setiap hari yang terlewati adalah berkurangnya usia kehidupan dan semakin dekatnya hari kematian. Benar orang-orang bijak selalu berkata bahwa dalam hidup ini tidak ada yang pasti. Dalam hidup ini satu-satunya kepastian hanyalah datangnya kematian.
“Han. Woi Han!” Terdengar suara Alan membangunkanku dari renungan yang dalam itu.
“Kamu pasti sedang rindu Aini ya!” Kembali suara Alan membuatku kembali ke alam sadar.
Aku menatap sobat kentalku. Suasana kantin fakultas siang itu cukup ramai dengan kunjungan mahasiswa yang makan siang.
Namun bagiku suasana kantin itu terasa sepi. Jujur aku memang sedang rindu sekali kepada Aini.
“Ya, tidak terasa sudah dua tahun Aini kuliah di Brisbane. Sejak telpon terakhir minggu lalu, Aini belum menghubungiku lagi. E-mailku yang kemarin saja belum dibalasnya,” kataku datar.
“Mungkin dia sibuk. Katamu dia sedang intensif menggarap Thesis.” Kata Alan terdengar menghibur.
“Iya pada tiga bulan terakhir ini sibuk penelitian.”
“Oke Bro! Ini sudah saatnya kita pulang!” Ajak Alan Erlangga.
“Al sorry. Aku masih ada kelas Kimia Organik satu jam lagi. Kamu pulang duluan saja!”
“Yoi Bro aku duluan ya. Assalaamu alaikum!” Kata Alan sambil bergegas meninggalkanku.
Dalam seminggu terakhir ini tidak ada kabar dari Aini. Keadaan ini rasanya seperti penderitaan memendam rindu. Aku jadi teringat kembali kejadian waktu di Bandara, ketika air mata Aini mengalir deras di pipinya menandakan larut dalam kesedihannya.
Lalu ketika aku menerima telepon pertamanya, Aini seperti menumpahkan air bah kerinduan kepadaku. Benarkah begitu?
Namun anehnya aku selalu ragu merasakan perasaan gadis itu padaku. Aku kadang merasa sebal dengan diriku sendiri. Tidak punya kepekaan. Tidak memiliki rasa percaya diri.
Benar seperti yang dikatakan sahabatku, Alan Erlangga bahwa aku ini manusia polos yang punya penyakit pengecut tidak percaya diri, selalu ragu dengan kemampuan diri sendiri. Begini akibatnya sehingga aku harus merasakan semuanya dengan pedih hati.
Teringat ketika masih sama-sama mengerjakan penelitian skripsi di laboratorium, Aini sering mencurahkan isi hatinya tentang Iqbal calon suaminya yang meninggal karena bencana badai di perairan Kupang.
“Han. Saat ini aku sedang mencoba untuk menerima kenyataan takdirku,” kata Aini penuh keyakinan. Gadis itu berkata dengan mata berkaca-kaca. Saat itu aku hanya terdiam membisu. Aku pikir Aini memang sudah menemukan ketegaran menerima Takdir Allah.
“Han mungkin Mas Iqbal bukan jodohku di dunia ini. Aku jadi teringat Erika yang ternyata juga bukan jodohmu,” kata Aini menyinggung tentang Erika, sahabatnya. Saat itu sempat juga Aini memberikan analogi tentang berakhirnya kisah cintaku dengan Erika Amelia Mawardini yang harus menerima pilihan orang tuanya. Itu kata Aini adalah Takdir.
“Aini bukankah waktu itu kau pernah bicara tentang kenyataan takdir padaku?”
“Iya Hen ternyata kata-kata itu kini harus berlaku padaku. Aku harus berani menasehati diriku sendiri,” kembali suara Aini penuh haru. Bagiku Erika dan Aini adalah kenyataan takdirku yang harus aku pahami. Hanya saja aku masih belum mendapatkan jawaban pasti benarkah Aini mau menerima cintaku?
“Han saatnya aku mengalami rasa kehilangan seperti saat kamu kehilangan Erika dulu. Inikah kenyataan takdir yang harus aku pahami?”
“Aini jujur saja aku sendiri mungkin masih belum mampu untuk memahami Takdir Allah,” kataku pelan. Takdir tidak bisa secepat itu bisa dipahami namun tetap wajib diterima dengan rasa ikhlas.
“Sudahlah Han. Perlahan tapi pasti, hari demi hari kita semoga bisa memahaminya dengan baik asal kita mau melihat ke depan.” Suara Aini tegas dan kali ini ada seulas senyum kecil di bibirnya. Benar aku yang harus mampu menghadapinya dengan melihat ke depan.
BACA dari Episode 1 : Han! Aku Cinta Padamu (1).
Ilustrasi Foto by Pixabay.
Teman-teman bagi penggemar novel atau cerbung sila baca novel di bawah ini, klik saja tautannya.
1 komentar