Cerbung ini khusus persembahan penulis untuk mereka para mahasiswa. Namun juga untuk mereka yang masih berjiwa muda.
EMPAT PULUH TIGA
Begitu sederhanakah untuk memahami kenyataan Takdir? Ternyata tidak demikian ketika aku mulai menginjakkan kaki di atas tanah, didalam kehidupan yang nyata.
Kadang aku kehilangan pijakan jati diri. Aku harus mencari dimana diriku yang sebenarnya. Revolusi dalam jiwa ini terus bergejolak dari detik ke detik berikutnya hanya untuk mencari jati diriku.
Mungkin cara terbaik adalah dengan berserah diri kepada Allah, sehingga akhirnya akan kutemukan siapa diriku. Aku adalah kefanaan yang berasal dari ketiadaan. Sedangkan Allah adalah Yang Maha Kekal.
Saatnya kini aku harus banyak merenungkan semua yang kulakukan. Sudahkah ada dalam hati ini keikhlasan dalam setiap langkahku? Begitu pula bersih untuk setiap ucapan dan tindakanku?
Apakah sudah banyak manfaat diriku bagi orang-orang di sekitarku? Juga memberikan makna yang dalam pada hari-hariku? Sudahkah?
Padahal hari ini aku menyadari apa yang aku tengok kebelakang adalah banyak hal yang tertunda aku raih. Banyak hal yang terlewati sia-sia.
Banyak hal yang hilap aku ingat. Aku hanya berharap Allah mengampuniku pada saat mendatang, saat-saat kemarin dan dulu.
Sudah berapa banyak hari-hari aku lewati tanpa Aini Mardiyah. Rasa rindu yang menyebabkan hari-hari begitu merayap. Jarum jam seperti berhenti berdetak bahkan seperti berputar kembali ke arah yang berlawanan.
Idul Fitri tahun ini adalah kedua kalinya Aini berlebaran jauh dari orang tua dan siang itu aku menerima telpon melalui ponsel Aini.
”Hen pada hari yang fitrah ini aku menyampaikan mohon maaf lahir batin,” kata Aini terdengar suaranya lembut seperti yang aku kenal selama ini. Suara Aini paling tidak mampu mengobati rasa rinduku selama ini.
”Aku juga menyampaikan permohonan maafku lahir batin dan selamat berlebaran. Bagaimana suasana sholat Idul Fitri di Brisbane?” Tanyaku.
”Tadi pagi aku sholat Idul Fitri di Islamic Center Brisbane bersama kaum muslim dan muslimat di Australia. Bapak Duta Besar Indonesia hadir di tengah-tengah kami.
Lebaran di sini rasanya sepi tidak seperti di tanah air. Aku hanya bisa menangis ketika Papa dan Mama menelponku. Aku merindukan mereka,” suara Aini terharu di seberang lautan.
“Ya Aini bersyukurlah sebab kamu masih memiliki kedua orang tua lengkap. Aku juga di sini merasakan haru yang begitu dalam karena berlebaran tanpa Ayah dan Ibu. Ternyata kita sekarang ini harus pandai-pandai menjadi orang yang ikhlas,” kataku perlahan.
“Betul katamu Hen. Aku selalu berharap agar kau tetap berdoa untukku. Sebenarnya aku ingin berkata lebih banyak tapi nanti saja kutulis lewat e-mail. Aku harus mengikuti kegiatan kampus siang ini. Assalaamu’alaikum!” Kata Aini menutup pembicaraan.
Teringat ketika pertama kali Aini menelponku dari Brisbane, dia sudah mulai mengikuti kuliah di Kampus. Aini waktu itu banyak bercerita tentang kampusnya yang baru.
Memang lebih hebat lebih canggih dan luas tapi menurut Aini kampusnya di Bogor dulu jauh lebih romantis karena penuh kenangan indah.
Kenangan kampus di Bogor yang penuh romantika dengan kenangan indah adalah isyarat Aini yang membuat hatiku berbunga-bunga.
Aini sudah berkali-kali pula berkirim e-mail. Sebanyak itu pula aku membalas surat-suratnya. Maka dalam dua tahun ini aku seakan tidak merasa jauh dengan Aini.
Bahkan selama bulan Ramadhan yang lalu hampir setiap akhir pekan Aini selalu berkirim surat elektronik.
Setiap haripun bait-bait kalimat bermakna selalu saja membawa kenangan sekaligus harapan kebahagiaan. Aini Mardiyah selalu berada di dalamnya mengiringi hari-hariku.
Dalam diamku yang terkatup
dan tatapku yang tajam,
Katakan,
jiwaku melangkah masih tetap tegap, utuh
Biarkan semakin tulus senyumku,
semakin ikhlas hatiku
Semakin ramah dan lembut tutur kataku
Dalam diamku yang terkatup
dan tatapku yang tajam
Biarkan, dengan rakus detik-detikku,
melahap tarik nafasku
Biarkan, irama sumbang detak jantungku
makin lemah dan berhenti bernyanyi
Biarkan, senyum bibirku terkulum lega
saat kutinggalkan kefanaan
Akan kucabik pengoyak dunia
yang mencoba menyuap imanku di dada
Aku pengembara yang tak mau menunda
perjalanan menuju ridhoNya
(jikapun aku melepas dahaga
maka itu hanya karena,
aku sibuk berbenah kembali jati diri
agar tertata rapi)
Suatu hari seperti biasa,
aku sarapan pagi sepiring doa
(Tuhan ALLAH kepadaMu
hidup dan matiku).
BERSAMBUNG.
BACA dari Episode 1 : Han! Aku Cinta Padamu (1).
Ilustrasi Foto by Pixabay.
Teman-teman bagi penggemar novel atau cerbung sila baca novel di bawah ini, klik saja tautannya.
BACA JUGA Kisah Cinta Jomlo Pesantren.
1 komentar