KETIKA pertama sampai di Moro, para guru baru dibawa ke sekolah oleh Jamel. Bukan sekadar untuk melihat-lihat dan mengenal sekolah yang bakal menjadi tempat mengabdi bersama. Ada misi khusus sesungguhnya. Sebagai guru baru mereka memang perlu tahu sekolahnya itu. Namun hal lebih penting dari kehadiran mereka di sekolah adalah melihat ruang kelas yang kemungkinan akan menjadi tempat penampungan sementara. Kelas itu akan dipakai untuk tumpangan awal para guru, khususnya guru laki-laki. Mereka akan menginap di ruang kelas itu.
“Ini pengalaman tersendiri bagi kawan-kawan,” kata Jamel kepada bawahannya itu. Karena baru pertama sampai di Moro sementara perumahan memang tidak ada, maka sambil mencari rumah sewaan sebagian guru akan tidur di ruang kelas itu. Gedung pertama dibangun dengan konstruksi semi permanen itu akan menjadi saksi bisu betapa beratnya perjuangan guru untuk mengabdi di daerah seperti Moro ini di tahun 1995-an itu.
“Yang penting ada tempat dulu sementara, Pak.” Itu jawaban salah seorang guru. Hanya sementara mencari rumah sewa saja. Beberapa orang guru honorer yang berasal dari Moro sendiri berusaha mencarikan rumah sewaan untuk teman-teman dari luar Moro itu.
Beberapa orang guru laki-laki akhirnya menginap di sekolah untuk beberapa hari. Sementara ibu-ibu menumpang menginap di rumah salah seorang guru honorer di Kampung Bedan, Kecamatan Moro. Apakah guru-guru baru itu mengatakan rasa sedihnya? Sepertinya mereka mampu menyimpan perasaannya. Boleh jadi itulah bukti cinta mereka kepada profesinya. Sampai mendapatkan rumah sewaan, keadaan awal itu pun lebur menjadi biasa. Hidup mewah dan menyenangkan bersama keluarga di Pekanbaru atau di kampung masing-masing tidak menjadi pengganggu perasaan mereka di Moro.
Selama delapan tahun tiga bulan di Moro Jamel tidak hanya hidup bersama teman-teman baru, guru-guru hebat yang didatangkan Pemerintah. Jamel tetap bersama dengan masyarakat Moro serta dengan para pejabat yang ada. Selama itu sudah bertemu dengan banyak camat. Maklum saja, seorang camat atau pejabat setingkat kecamatan tidak pernah berlam-lama di sebuah kecamatan seperti Moro.
Jamel masih mengingat camat seperti Pak Robert, Pak Raja Fadjarullah, Pak Iwan Aziz, Muhammad Hasbi, dan beberapa camat lagi. Dengan Kepala KUA (Kantor Urusan Agama) juga bertemu dengan beberapa orang yang silih berganti. Di sebuah kecamatan, Kepala KUA adalah partner Camat dalam berbagai kegiatan keagamaan. Sebagai Kepala SMA yang hanya ada satu-satunya di Kecamatan Moro Jamel menjadi salah seorang tokoh masyarakat yang selalu diajak Camat dalam berbagai kegiatan. Dalam waktu yang sama, isteri Jamel, Tati juga ikut bersama karena akan selalu diajak oleh Ibu Camat. Tidak semua ibu-ibu diajak. Selain kesempatan juga alasan keakaraban. Isteri Jamel selalu mudah akrab dengan ibu-ibu di kecamatan.
Kesan terdalam bagi Jamel dan isterinya adalah setiap Camat mengadakan kunjungan kerja ke desa-desa. Sekali waktu ke Durai. Di waktu lainnya ke Selat Mi atau ke Sugie. Desa-desa itu berada di pulau-pulau lain yang memerlukan waktu lumayan lama untuk sampai ke sana. Transport yang selalu dipakai adalah pompong nelayan yang dimiliki masyrakat. Dengan ukuran relatif kecil, naik kapal nelayan berukuran kecil seperti itu sangatlah menakuktkan. Ketika gelombang menghantam dari depan akan terasa bagaimana ayunan kapal itu. Jamel yang berasal daratan Sumatera itu kini sudah terbiasa naik kapal kecil seperti itu. Khas anak pulau adalah tidak takut naik kendaraan laut meskipun dengan ukuran kecil sekalipun.
Jamel terbayang kembali harapannya untuk naik kendaraan laut seperti kapal ketika dulu masih di kampung atau di Pekanbaru. Satu sebab mengapa akhirnya bersedia menjadi guru di rantau pulau adalah karena keinginannya untuk naik kapal itu. Jika saja tidak ada obsesi itu, Jamel tidak akan diangkat menjadi guru di pulau. Tawaran pertama baginya adalah menjadi guru di daerah sendiri, Kabupaten Kampar. Sebagai anak jati diri Kampar, waktu itu boleh memilih ditempatkan di daerah sendiri setelah menyelesaikan pendidikan di Universitas Riau, Pekanbaru. Silakan kecamatan yang diinginkan, asal di situ ada SMA. Tapi Jamel memilih ditempatkan di pulau. Itulah Pulau Kundur yang baru saja dibangun sekolah negeri setingkat SLTA.
Kini dia benar-benar sudah menjadi anak pulau. Setelah sembilan tahun lebih di Tanjungbatu kini dia akan menjadi warga Moro. Tiga anaknya semuanya adalah kelahiran pulau. Dua orang lahir di Tanjungbatu sementara satu orang lagi lahir di Moro. “Apa lagi yang saya inginkan? Harapan naik kapal benar-benar sudah menjadi kegiatan hariannya. Delapan bulan pertama sebelum resmi menjadi Kepala Sekolah, Jamel bahkan dua kali dalam setiap minggunya naik pompong, Tanjungbatu- Moro dan sebaliknya. Sekarang sudah menjadi kesehariannya menyeberangi pulau-pulau di Kecamatan Moro karena selalu diajak Pak Camat.*** (bersambung)