Perjalanan Cinta Seorang Guru (8)

Sembilan tahun sejak pertama masuk ke Ibu Kota Kecamatan Kundur hingga harus berpindah tugas ke Moro (1994) bagi Jamel itu adalah waktu suka-duka yang cukup panjang sebagai seorang guru. Dia bekerja dinas wajib sebagai guru sekaligus melaksanakan tugas-tugas kemasyarakatan di luar sekolah. Tidak mudah tapi dia melakukannya.

Sebagai abdi negara yang mengajar dan membimbing anak-anak di sekolah sesungguhnya amatlah berat pekerjaannya. Jika harus menambahnya dengan tugas dan pekerjaan lainnya pasti saja itu menambah beratnya. Bukan tugas mudah untuk menggabungkan dua tugas –sekolah dan di luar sekolah– dalam sembilan tahun di Kundur.

Tapi alhamdulillah, Jamel masih tetap bisa melakukannya. Konsep hidupnya dalam bekerja adalah ‘dalam kekurangan saya tetap lakukan’, menjadi penyemangatnya dalam mengerjakan tugas-tugas tambahan. “Awak tidak penatkah balek sekolah harus melaksanakan tugas-tugas lainnya?” Pertanyaan itu pernah disampaikan Pak Ambok Salima, Ka KUA yang mengajaknya membantu kegiatan-kegiatan kemasyarakatan waktu itu.

“Selagi bisa saya akan lakukan, Pak. Terima kasih, Bapak selalu ajak saya berkegiatan di luar sekolah.” Begitulah Jamel memberikan penjelasan kepada lelaki yang dianggapnya sebagai orang tuanyanya itu.

Selama di Tanjungbatu (1984-1993) Jamel pernah dipercaya untuk beberapa tugas sosial seperti menjadi Ketua Korps Wasit Sepakbola Kecamatan Kundur, sebagai Dewan Juri MTQ Tingkat Kelurahan dan Kecamatan Kundur dan beberapa tugas lainnya. Sebagai guru dengan pendidikan S1 Jurusan Bahasa dan Seni, memang tidak ada hubungannya pendidikan Jamel dengan tugas-tugas tambahan itu. Tapi dia pernah melalui sekolah SLTA-nya di PGA (Pendidikan Guru Agama) saat itu. Pendidikan di sinilah modal utamanya plus pendidikan madrasah yang pernah dirasakannya di kampung di waktu kecil.

Jamel teringat, kesan manis yang tidak akan mudah terlupakan adalah ketika menjadi bagian wasit sepak bola di Kundur itu. Dia ,memang penyuka sepakbola dan ikut juga bermain bola ketika sore-sore tiba. Hal penting yang diingatnya adalah bahwa di setiap laga final, juri yang akan memimpin selalu dipercayakan kepadanya. Setiap tahun selalu ada turnamen-turnamen sepakbola yang menghadirkan kesebelasan dari luar kecamatan. Jika misalnya yang maju di final sepakbola –seperti setiap peringatan HUT Kemerdekaan RI– adalah kesebelasan AIRUD maka yang selalu dipercaya memimpinnya adalah dirinya.

Memimpin pertandingan sepakbola selevel ‘tarkam’ (antar kampung) di Pulau Kundur dan sekitarnya, ternyata tidaklah mudah. Tingkat emosi pemain kampung, sering menjurus ke perkelahian antar pemain. Tapi alhamdulillah, setiap kali dia memimpinnya, selalu dapat berakhir dengan aman sampai waktu habis. Tidak jarang laga final melahirkan emosi tingkat tinggi yang berakhir dengan kerusuhan. Jika sedikit saja wasit melakukan kekeliruan akan terjadilah perkelahian antar pemain yang juga bisa melibatkan penonton sebagai pendukung masing-masing kesebelasan.***(bersambung)

Tinggalkan Balasan