Pagi itu sang fajar masih terdiam dalam pucuk keheningan. Lantunan suara Adzan membuka jendela mataku yang dibius dinginnya malam. Ketika fajar hampir menyingsing, aku ingin menjemput matahari dan bersiap memancarkan gelombang semangat menapaki sebuah tempat yang disebut ‘Negri di atas Awan’, sebuah tempat wisata yang jaraknya 30 km dari rumahku.
“Buk May, sudah bangun?” tanya sahabatku bu Susi
“Sudah bu, dingin sekali bermalam di rumah ibu” balasku.
“Kalau sudah terbiasa gak akan terasa dingin, makanya yang sering nginepnya” guraunya.
Demikian percakapan yang dikemas di beranda fajar. Akhirnya aku dan Bu Susi mendaki tempat wisata tersebut yang sebetulnya salah satu mukim di sana di sewa kawan kami dari Bekasi, yaitu Bu Anita dan rombongan. Mereka tiba di sana di waktu malam, dengan petunjuk dariku sebagai tour guide.
Beberapa orang yang belum pernah kesana, tidak akan tau bagaimana indahnya pagi dengan biusan awan. Bak masuk ke negri dongeng, perjalanan menuju negri di atas awan seperti menembus batas ilusi. Udara dingin dan jalanan yang tertutup kabut merangkai cerita yang seperti menembus lorong waktu menuju negri dongeng. Was-was dan sensasi berkawin jadi satu menjabarkan perasaan yang sulit di utarakan. Begitulah adanya, dengan segala keindahnya.
Akhirnya aku dan bu Susi membersamai rombongan bu Anita di tempat tersebut. Kami berswa foto, di tenggah hamparan awan yang begitu luasnya. Banyak kekaguman yang sulit diungkapkan dengan kata-kata. Sebuah keindahan yang lahir dari alam seperti lencana surga yang menawan, Masya Allah.
“Masya Allah, tak menyesal saya datang kesini Buk May Indah sekali” celoteh bu Anita
“Alhamdulilah, monggo bu, bawa awannya ke Bekasi heheh” balasku.
” Lapar bu Ant, yuk balik ke kamar. Buk May, hampir semalam bu Ant gak tidur takut kesiangan katanya hehe” gurau bu Nur sahabatnya bu Anita.
Matahari berangkat naik, mencipatakan guratan indah di sekitar awan. Sang awan menjadi tampak putih berkilauan, begitu tangkas dan sedap di pandang mata. Di temani hangat sang mentari kami menyantap teh manis dan semangkuk mie rebus yang di tambahi telur. Pagi itu semakin hangat dengan di bumbui canda gurau di antara kami.
***
Tak puas hanya dengan menaklukan medan negri di atas awan, Bu Anita dan rombongan memintaku untuk pergi ke tempat lainnya. Tempat yang amat mereka inginkan adalah sebuah curug, dengan senang hati sebagai pemandu wisata akupun menuruti keinginannya. Sebelumnya sudah ku ceritakan tempat serta medan menuju curug Ci Hear, namun semakin aku bercerita mereka semakin penasaran.
Akhirnya sebuah petualangan yang meringkas keringat pun di mulai. Suatu dusun yang bernama “Kampung Cigobang” hendak kami taklukan, karena di dalamnya terdapat sebuah air terjun yang sangat memikat pandangan disebut dengan ‘Curug Cihear’. Decak semangat memandu asa kami menaklukan perjalanan dengan medan yang extrem. Seketika aku teringat pepatahnya Franheit Sangapta “kita mendaki bukan untuk menakkluan alam, kita mendaki untuk menyatu dengan alam”.
Dengan di pandu oleh Mang Payo, kaki kami tegak berdiri menapaki jejak gunung sisa bencana. Tempatku ketika tahun 2020 sempat di terjang bencana banjir bandang dan longsor. Lima menit kaki kami melangkah menuju medan yang sedikit menanjak, tiba-tiba bu Anita berteriak
“Buk May, tunggu bu Nada wajahnya pucat” kata bu Anita.
“Waduh, terus gimana bu? lanjut gak nih?” jawabku.
“Tanggung bu May, kita sudah setengah jalan” balas bu Nur.
Perjalanan pun dilanjutkan dengan bu Nada yang kembali ke Mobil di temani Ando(anaknya bu Anita yang juga sebagai supir). Dengan langkah pasti dan semangat yang hebat kami berjalan menyusuri arai dan lembah. Medan yang turun nanjak membuat kami kelelahan. Dan kami pun berjalan tertatih. Hingga akhirnya kami sampai pada suatu tempat dengan dimensi lain dari aura manusia.
Disinilah pertarungan batin itu di mulai, yaitu pada suatu tempat berpohon bambu yang nampak seperti gerbang ‘dedemit’. Bu Anita mulai lunglai, kakinya terasa berat dan badannya mendadak lemas. Dan kami pun memutuskan untuk banyak beristirahat. Aku berada pada barisan paling depan, dengan menyusuri jalan yang seperti terowongan alas. Jarak antara aku dan rombongan terhitung dua meter, namun tiba-tiba aku dan bu Nur kehilangan gelombang suara.
“Bu Nuuur? Bu Anitaaaaaa?” teriaku dengan keras. Tak ada satu pun balasan dari teriakanku. Aku mulai cemas dan takut bu Anita beserta rombongan tersesat.
Di lain tempat, tepatnya di belakangku bu Nur berteriak memanggil
“Buk Maaaayy, dimana? Tungguin dong” teriak bu Nur, yang sama sekali tak aku dengar sedikitpun. Padahal jarak kami hanya dua meter saja.
Lima menit aku menunggu dekat pohon bambu yang seperti gerbang dedemit itu, akhirnya bu Nur datang dari belakang.
“Bu May, tadi saya panggil kok gak nyaut?” tanya bu Nur.
“Lha, saya juga panggil ibu kok gak di jawab” balasku.
Dan kami pun terdiam seketika saling menatap tanpa makna. Bulu pundaku berdiri, dan merinding. Akhirnya kami berdoa memohon keselamatan sampai tujuan. Di belakang bu Anita datang dengan di tuntun oleh Mang Payo, nampak sekali ia begitu lelah. Wajahnya pucat dan lemas.
Perjalananpun tetap kami lanjutkan, hingga sampai di sungai Ciberang. Sebenarnya tak aku ceritakan sebelumnya bahwa ciberang tersebut pernah menelan korban yang hendak berwisata ke curug cihear. Si korban adalah tiga lelaki yang ketika turun dari curug di tengah sungai di terjang banjir bandang. Mereka hanyut terlampau jauh, dan jasadnya di temukan di kampung Muhara.
Sedikit bercerita tentang si korban. Pada suatu malam setelah mereka ditemukan, tiba-tiba ada yang melemparkan kunci motor lewat lubang udara ke rumah warga, tepatnya pada jam 12 malam. Suasana mistik menjadi kental seketika, si penghuni rumah menjadi gemetar. Setelah ditelusuri, kunci motor yang dilemparkan tersebut ternyata milik si korban yang tergelam. Cerita ini menjadi santer dan hampir tiap malam warga di dusun muhara tak bisa tidur lelap. Begitu sedikit cerita tentang si korban.
Kembali pada cerita bu Anita dan kawan-kawan, mereka akhirnya takluk dengan medan dan memutuskan perjalanan hanya sampai sungai ciberang. Merekapun berenang dan bermain air dengan senang. Dari bibir sungai aku hanya memandang sambil memantau.
“Bu Nur, jangan jauh-jauh mandinya” teriaku.
“Sini bu May, ayo mandi” sahutnya.
“gak lucu wong ndeso main air di ciberang, harusnya main air di kolam renang” balasku bergurau.
Tepat pada jam 12 siang mereka bermain manja dengan air, sebuah jam yang memiliki istilah ‘rungsit’ dalam arti ‘angker’. Di mana pada jam itu, biasanya dedemit dan antek-anteknya bertamasya di sungai. Akhirnya aku umumkan kepada rombongan untuk kembali pulang.
Di perjalanan pulang, hal mistikpun kembali terjadi. Lagi-lagi kaki bu Anita terasa berat seperti ada yang menumpangi, badanya lemas dan wajahnya pucat. Aku berusaha memijit punggungnya, membalurinya dengan minyak kayu putih. Perlahan tapi pasti kami terus melangkah pulang dengan medan yang menanjak.
Di tengah perjalanan yang seperti terowongan alas, kami berhenti sejenak. Sesuatu yang aneh menimpaku. Tubuhku dingin, pandanganku kabur, kepalaku pusing dan keringat dinginpun bercucuran. Badan menjadi gemetar, jantungku berdetak keras rasa takut mati tertanam kuat dalam fikiran.
“Mang Payo, tolong jampe saya” teriaku amat keras. Bu Nur seketika melompat dan lari menjauhiku, karena dia sudah mendapatkan firasat mistik yang kental. Ya betul badanku seperti di isi hal yang tak kasat mata. Ada rasa mual yang tak tertahankan. Ahkirnya Mang Payo memanjatkan do’a dan memijit sendi-sendiku. Ia memberiku sebotol air yang sudah di hadiahi do’a. Terasa sekali tenagaku mulai pulih, pandangan mulai jelas hanya badan yang masih gemetar.
“Bu May are you oke?” tanya bu Anita.
“Iya bu, Alhamdulilah sedikit mendingan” jawabku.
Dengan tertatih dan kaki yang sedikit gemetar terasa sekali sesuatu yang gaib mengikutiku. Ada rasa berat di kaki mual serta lemas semakin melanda. Aku meminta mang Payo menuntunku dari belakang. Apa yang di alami bu Anita benar-benar menimpaku. Dalam hati terus berdoa dan berjikir jangan sampai kekuatan gaib mengalahkan kekuatan imanku.
Perjalanan yang menguras energi dan mengganggu batin ini, benar-benar seperti memasuki dimensi dunia lain. Akhirnya kami kembali ke dusun, sebuah pertanyaan tersirat di hati kami semua. Yaitu sebuah keadaan dimana energi kami kembali sangat normal seperti tidak merasakan lelah sama sekali. Wajah kami nampak segar dan berseri kaki kami tiada merasa lemas atau gemetar. Sangat enerjik seperti sedia kala. Padahal sebelumnya kami sangat kerkesusahan. Sebenarnya apa yang terjadi?
Bersambung
terima kasih