ANGKONG
Oleh: Nanang M. Safa’
Postingan saya kali ini berbau remeh-temeh yakni tentang angkong, ya angkong. Ketika membuka Wikipedia, Anda akan menemukan devinisi tentang angkong. Angkong adalah kendaraan bertenaga manusia yang terdiri dari sebuah kereta beroda dua yang ditarik oleh seorang manusia. Kendaraan seperti ini biasa terdapat di Afrika (Kenya, Madagaskar) dan Asia (Tiongkok, Bangladesh, India, Jepang). https://id.wikipedia.org/wiki/Angkong. Namun angkong yang saya maksud di sini berbeda dengan angkong yang disebutkan di Wikipedia. Angkong yang saya maksud adalah alat angkut barang berukuran kecil yang sering disebut juga kereta sorong atau gerobak sorong. Angkong cukup digemari banyak orang karena dianggap praktis, ekonomis, dan serba guna.
Para pekerja tambang, perkebunan, dan pekerja bangunan tentu sudah sangat akrab dengan peralatan yang satu ini. Alat angkut ini juga cukup mudah didapatkan. Di setiap toko bahan/alat bangunan hampir pasti menyediakan angkong.
Postingan ini terinspirasi dari sebuah peristiwa yang saya alami beberapa hari lalu. Seringkali kejadian sepele yang kita abaikan bisa menimbulkan akibat susulan yang cukup merepotkan. Bahkan bisa saja justru menyita waktu dan menunda pekerjaan yang mestinya segera bisa diselesaikan. Dari situlah saya tergerak untuk menulis “cerita” tentang angkong. Barangkali saja dari tulisan remeh-temeh dan tidak berguna ini, Anda bisa mengambil manfaat praktis. Atau jika Anda merasa tidak mendapatkan apa-apa, Anda abaikan saja dan anggap sebagai angin lalu.
***
Bermula dari kegalauan saya beberapa hari yang lalu tentang angkong lama yang sudah tidak bisa digunakan lagi. Angkong lama itu memang sudah selayaknya rusak karena usianya memang sudah cukup tua. Angkong itu saya beli ketika akan mulai membangun rumah yang saya tempati sekarang. Fungsi utamanya adalah untuk angkut-angkut material bangunan. Jika saya hitung-hitung, angkong itu sudah berumur lima belas tahunan. Usia yang cukup tua untuk sebuah angkong.
Angkong lama itu benar-benar tidak bisa digunakan lagi. Ketika saya dorong, kedua kaki penyangga roda angkong itu patah. Saya lihat memang sudah keropos dan berkarat sehingga tidak bisa diperbaiki lagi. Akhirnya saya putuskan untuk membeli angkong yang baru.
Siang itu sehabis shalat Zuhur saya ajak adik saya untuk mendatangi sebuah toko bangunan. Jarak toko bangunan itu dari rumah saya sekitar 4 km. Dengan mengajak adik saya, tentu akan memudahkan membawa angkong yang akan saya beli. Sesampainya di toko bangunan yang kami tuju, kami melihat-lihat beberapa angkong yang dipajang di depan toko. Ada beberapa merk yang tersedia dengan jenis dan model yang hampir sama. Bedanya terletak pada bahan dan besar kecilnya ukuran baknya. Ada angkong berbahan plastik tebal ada pula yang berbahan logam. Ada yang ukuran baknya lebar namun dangkal ada pula yang ukuran baknya lebih sempit namun lebih dalam. Akhirnya kami sepakat memilih salah satu angkong berbak lebar. Setelah urusan pembayaran beres, kami langsung membawa angkong itu pulang.
Saya boncengkan adik saya sambil menyeret angkong di belakang sepeda. Saya jalankan sepeda motor pelan dan sangat hati-hati. Sesekali saya harus menghindari lobang kecil di jalanan. Semuanya demi keselamatan si angkong baru. Awalnya tak ada masalah, semua berjalan lancar dan tanpa hambatan, hingga di 1 km terakhir mendekati garis finis ….
Di tengah jalan yang membelah persawahan menuju ke dusun kami, tiba-tiba adik saya mengajak berhenti. Tentu saja saya kaget. Spontan saya hentikan laju sepeda motor. Adik saya turun dari boncengan dan langsung memeriksa keadaan angkong baru saya. Saya jadi penasaran, dan ikut memeriksa. Ternyata … eh ternyata … beberapa pasangan mur baut dari angkong itu kendor. Kami memeriksa lebih cermat, dan ternyata bukan hanya kendor, sebagian sudah terlepas. Kami hitung, ada 6 baut yang tidak punya pasangan lagi. Si mur dan si baut sudah bercerai entah sejak kapan.
Adik saya berinisiatif untuk kembali menelusuri jalan yang baru saja kami lewati. Sementara saya harus sabar menunggu adik saya kembali sambil menunggui si angkong baru yang kehilangan mur itu. Jika saja kami terlambat sedikit lagi, angkong baru itu mungkin akan rontok di jalan. Dan itu tentu akan sangat merepotkan.
Sekitar sepuluh menit berikutnya, adik saya kembali. Adik saya mengatakan bahwa ia hanya menemukan 4 mur. Saya rasa perjuangan adik saya memelototi jalan untuk menemukan si mur sudah cukup gigih. Berarti ada 2 baut yang tidak kebagian pasangan. Akhirnya 4 mur yang bisa ditemukan tersebut kami pasang kembali sekenanya karena memang kami tidak membawa obeng untuk mengencangkannya. Untung saja jarak yang harus kami tempuh tinggal 1 km lagi. Kami harus jalan lebih pelan dan lebih hati-hati agar pasangan mur baut itu tidak bercerai lagi.
Sesampainya di rumah, mur baut yang masih ada kami kencangkan. Ternyata memang mur baut yang ada di angkong baru itu dari pabrik masih dipasang sekenanya, belum dikencangkan sama sekali. Inilah pengalaman kurang menyenangkan yang kami alami berkenaan dengan angkong.
Nah, sekarang Anda tentu bisa mengambil pelajaran dari kejadian yang saya alami ini. Pertama, jangan suka meremehkan hal sepele jika tak ingin timbul masalah lain yang lebih besar. Kedua, periksalah kembali barang-barang baru yang baru saja Anda beli sebelum membawanya pulang. Ketiga, sebelum membeli sesuatu sempatkan bertanya pada orang-orang yang sudah lebih berpengalaman sebab tidak semua hal bisa kita dapatkan di buku pelajaran. Pengalaman adalah guru terbaik. Dan hari ini saya membuktikannya sendiri.
#kmab#02