Hujan sangat deras. Udara dingin menembus kulit sehingga membuat tubuh Aisha menggigil sudah pukul 20 Dea belum pulang juga. Dea, puteri bungsunya sedang pergi ke Bogor bersama guru dan teman-temannya.
Mereka mengadakan outing class untuk melihat species tumbuhan Anggrek dan beberapa tumbuhan langka yang ada di Kebun Raya Bogor.
Tiba- tiba bunyi HP Aisha terdengar keras. Aisha segera mengambil dan menjawab panggilan.
“Assalamualaikum! Selamat malam!” sapa Aisha santun.
“Selamat malam, Bu. Apakah Anda ibu Aisha, orang tua dari Dea,” jawab seorang laki-laki dalam telepon.
“Betul, Pak. Ada apa dengan anak saya?” tanya Aisha dengan nada cemas.
“Saya dari kepolisian sektor kota Bogor. Saya ingin memberitahukan jika anak ibu beserta rombongan mengalami kecelakaan di jalan tol Bocimi,” papar laki-laki itu lagi.
Serta merta tubuh Aisha bergetar. Dia tak dapat berbicara apa-apa lagi.
“Dea! Ada apa? Tanya Mas Ilham yang tiba-tiba ada di samping Aisha. Mas Ilham segera mengambil alih HP yang dipegang Aisha.
“Halo … saya berbicara dengan siapa, ya?” tanya Mas Ilham dengan nada tinggi,” Apa yang kamu katakan kepada isteri saya?”
Kemudian laki-laki di telepon itu menjelaskan masalahnya dan memberitahukan di mana Dea dan rombongannya dirawat. Tak lama kemudian ada telepon dari kepala sekolah tempat Dea belajar. Beliau pun memberitahukan hal yang sama kepada Mas Ilham.
Aisha tak dapat berbicara apa-apa. Tubuhnya lemas dan gemetar. Mungkin inilah arti dari perasaan tidak tenang yang dirasakan sejak tadi siang. Mas Ilham mengambilkan air putih hangat dan menghibur Aisha yang terus menangis.
Mereka memutuskan untuk pergi ke Bogor. Mas Ilham pun mengajak orang tua Andi, Via, dan Catur yang menjadi tetangga mereka.
Tepat pukul 23 mereka tiba di Rumah Sakit PMI Bogor tempat anak-anak mereka dirawat. Namun mereka dilarang untuk masuk ke ruangan ICU karena belum waktu sudah sangat malam. Aisha menjelaskan kepada sekuriti bahwa anak dan teman-temannya mengalami kecelakaan. Mereka diberitahu oleh polisi agar segera datang ke rumah sakit ini. Namun, Sekuriti itu tetap tidak mengizinkan mereka masuk.
“Pak, saya mohon izinkan kami masuk. Saya ingin melihat keadaan anak saya,” pinta Aisha memelas. Sekuriti itu menggelengkan kepala.
“Pak saya mohon izinkan kami masuk. Apakah Bapak tidak kasihan melihat kami sangat cemas dengan keadaan anak-anak,” desak Mas Ilham mencoba negosiasi dengan sekuriti itu.
“Maaf, Pak. Kami tidak bisa melanggar peraturan di sini,” jawab sekuriti itu tegas.
“Apakah Bapak mau bertanggung jawab bila keadaan anak-anak kami kami ada apa-apa di dalam? Mereka sedang dirawat di sinidan kami harus menengoknya. Harusnya Bapak bijaksana, dong!” Nada ucapan Mas Mas Ilham, ayah Catur, mulai tinggi.
Sekuriti itu tetap tidak mengizinkan kami masuk. Aisha melihat ada seorang polisi yang sedang berjaga di depan rumah sakit.
Kemudian dia mendatangi petugas polisi tersebut dan menjelaskan semuanya.
“Maaf, Pak. Tolonglah kami agar dapat masuk ke ruangan ICU. Tadi petugas rumah sakit ini yang menelepon saya dan meminta saya untuk datang segera.” Aisha menjelaskan dengan nada memohon.
“Baiklah, Bu. Saya akan berbicara dengan petugas tersebut dan meminta dia mengizinkan Ibu dan rombongan masuk.”
Aisha melihat polisi itu berbicara dengan petugas sekuriti. Dia melihat petugas tersebut mengangguk-anggukan kepala. Tak lama kemudian polisi itu mendekati Aisha dan rombongan.
“Bapak-Bapak dan Ibu-Ibu silakan masuk. Namun, mohon tidak menimbulkan kegaduhan karena hari sudah larut. Mari! saya akan mengantarkan ke dalam,” ujar polisi itu ramah. Dia mengantar Aisha dan rombongan sampai ke ruang ICU.
“Ini ruangan anak ibu sedangkan anak-anak lain berada di ruangan IGD. Kebetulan saya yang bertugas di Polsek semalam sehingga saya yang meluncur ke TKP saat kejadian.” Pak polisi yang bernama Budiman itu menjelaskan dengan hati-hati. Mungkin polisi itu takut jika Aisha shock mendengar ceritanya.
Aisha melihat Dea dari balik jendela kaca. Tubuh Dea dipenuhi dengan selang dan kabel. Di sebelah kanan ada alat monitor yang bisa menunjukkan fungsi organ tubuh. Hidung Dea dimasukan selang yang nantinya akan terhubung dengan oksigen dan beberapa alat kedokteran lainnya. Pasti Dea sangat merasakan kesakitan.
“Apakah kondisi Dea sangat parah sehingga harus dibantu oleh beberapa alat kedokteran itu?” batin Aisha seraya menguatkan hatinya. Dia tidak tega melihat kondisi Dea yang begitu.
“Sebenarnya apa yang terjadi, Pak?” tanya Mas Ilham kepada petugas polisi itu.
“Menurut beberapa saksi, rombongan sekolah ini baru pulang ari Kebun Raya Bogor bersama beberapa guru. Supir mengemudikan kendaraan dengan kecepatan tinggi. Di tol Bocimi dia bertabrakan dengan bus Kencana Jaya yang berlawanan arah dan melaju dengan cepat juga. Bagian yang paling parah adalah bagian sebelah kiri tepat anak ibu duduk,” papar polisi itu.
Aisha tak mempedulikan percakapan Mas Ilham dengan polisi itu. Dia hanya ingin melihat Dea meskipun hanya lewat jendela. Aisha membayangkan betapa menderitanya Dea di dalam sana. Aisha menahan tangisnya agar tidak pecah.
“Sabar ya, sayang. Kita berdoa saja agar Dea bisa sehat lagi,” hibur Mas Ilham sambil mendekap bahu Aisha. Mas Ilham tahu jika isterinya sangat menyayangi Dea. Mas Ilham juga mengerti jika hati Aisha sedang berduka melihat kondisi anaknya itu.
“Aisha melepaskan tangisannya di bahu Mas Ilham. Dia ingin membagi kesedihannya. Kemudian Mas Ilham mengajaknya duduk di kursi yang berada di depan ruang ICU. Mereka menunggu dokter yang merawat Dea dan meminta penjelasan darinya.
Sementara para orang tua lain menuju ke ruang IGD tempat anak-anak mereka dirawat. Aisha melihat kedatangan Kepala Sekolah bersama beberapa orang guru. Mereka menguatkan hati Aisha.
Ternyata hanya Dea yang dirawat di ruang ICU karena kondisinya cukup parah. Sementara anak-anak lain bersama dua orang guru dirawat di ruang ICU.
Malam semakin beranjak. Suasana rumah sakit ramai oleh kedatangan orang tua korban. Sementara Aisha masih berdiri memandangi Dea dari balik jendela kaca. Aisha ingin sekali menggantikan anak semata wayangnya. Mereka belum diizinkan masuk ke ruangan ICU karena kondisi Dea belum stabil.
Mas Ilham memeluk Aisha sambil terus menguatkan hati isterinya. Mereka tidak mau kehilangan puteri semata wayangnya. Namun, takdir Allah Swt tak ada yang pernah tahu. Mereka tidak bisa mengelak kehendak-Nya yang sudah ditentukan. Mereka hanya bisa berdoa untuk kesembuhan Dea.
“Allahumma rabban naas mudzhibal ba’si isyfi antasy-syaafii laa syafiya illaa anta syifaa’an laa yughaadiru saqoman. Ya Allah Tuhan segala manusia, hilangkanlah penyakitnya, sembukanlah ia. Engkaulah yang dapat menyembuhkannya, tiada kesembuhan melainkan kesembuhan dari-Mu, kesembuhan yang tidak kambuh lagi.” Aisha memanjatkan doa untuk kesembuhan Dea sambil terisak-isak.
Cibadak, 18 Februari 2023