Mual, sungguh. Aku mulai merasa ada yang bergejolak di tubuhku. Kuatur nafasku. Biasanya hal itu manjur. Kuhitung satu dua hingga sepuluh. Ada angin ke luar dari mulut. Setelahnya pusing, mual itu meluruh. Ah masih sepuluh kilometer lagi jalan berliku-liku.
Ini sebuah kisah perjalananku. Perjalanan menuju Sukabumi suatu waktu. Perjalanan yang terus tertunda, hingga kami memutuskan untuk pergi satu waktu. Yuk masukkan baju, makanan lalu pergi tanpa banyak berpikir ini itu.
Perjalanan ini melalui jalanan berkelok-kelok, menikung tajam. Kami harus ekstra waspada. Aku mual dan pasangan masih terus berfokus dengan jalanan.
Yang menarik perhatianku di perjalanan ini adalah sawit. Ini di Sikidang dan ini memasuki wilayah Sukabumi. Aku heran kenapa pegunungan di seberang dan juga kebun di samping juga belakang rumah warga adalah sawit. Sejak kapan sawit mulai hadir?
Sawit memang banyak manfaatnya. Sawit banyak berguna sebagai minyak goreng, juga bahan untuk industri makanan dan juga kosmetika. Tapi sawit mulai mengganggu karena ia disebut-sebut taman yang rakus air dan unsur hara.
Banyak tanaman lokal dan satwa liar menghilang karena perkebunan sawit yang merajalela, seolah-olah tak terkendalikan. Siapa saja yang diuntungkannya?
Benarkah warga lokal dan banyak warga Indonesia diuntungkannya? Apakah hanya segelintir yang menikmatinya?
Pertanyaan yang tak kalah penting bagaimana nasib lingkungan alam tersebut lima tahun atau sepuluh tahun kemudian?
Aku cemas. Aku kuatir alam subur Sikidang berubah dalam beberapa tahun mendatang. Apalagi melihat luasnya hutan pegunungan yang berubah jadi sawit sejauh mata memandang.
Aku jadi ingin bernyanyi. Lihat kebunku penuh dengan sawit. Kirinya sawit, belakang rumah juga sawit.
Perjalanan ini membuatku merenung. Aku tercenung dan kemudian lupa dengan rasa mualku. Kini jalanan berganti lebih mulus. Kami sudah mendekati Pelabuhan Ratu.