Buku adalah Jendela dunia. Kata “Jendela dunia” dikenal dengan istilah ”Majas metafora” yaitu gaya bahasa yang sering digunakan dalam sastra dan percakapan sehari-hari. “Majas Metafora” menggunakan kata atau frasa kiasan untuk membandingkan dua hal secara langsung.
Buku juga dimaknai sebagai himpunan kertas dengan lembaran yang mengandung tulisan. Himpunan kertas yang berisi tulisan, gambar, karangan dan sebagainya. Diawal-awal bahannya beragam bisa berbentuk potongan yang terbuat dari kayu, kertas, daun lontar bahkan gading gajah. .
Seiring dengan berkembangnya bidang dunia informatika, kini dikenal istilah e-book atau bukel (buku elektronik) dikembangkan dengan teknologi elektronik antara lain komputer dengan berbagai perangkat lunak tertentu.
Lalu bagaimana dengan buku cetak sendiri?. Masih berguna dan diminatikah atau memang sudah ketinggalan zaman?
Ada baiknya menelusur sejarah buku dari masa lampau.
Konon buku pertama lahir pada tahun 2400-an SM di Mesir setelah orang Mesir menciptakan kertas papirus. Bentuk buku pertama berupa gulungan papirus ini. Versi lain menyebutkan buku sudah ada sejak zaman Sang Budha di Kamboja. Dikatakan Sang Budha menuliskan wahyunya di atas daun yang dibacakan berulang-ulang. Para cendekiawan Tiongkok beberapa abad kemudian juga menuliskan ilmu-ilmunya di atas seikat lidi yang diperkirakan memengaruhi gaya penulisan menggunakan huruf-huruf yang ditulis secara vertikal dari atas ke bawah.
Tahun 200-an SM, buku terbuat dari kertas baru ada, setelah seseorang bernama Tsai Lun berhasil menciptakan kertas menggunakan bahan dasar bambu. Pada abad ke 11 para pedagang Muslim membawa teknologi penciptaan kertas dari Tiongkok ke Eropa. Sejak itu industri kertas bertambah maju ditambah dengan berhasilnya Johann Gutenberg menciptakan mesin cetak pada abad ke 15. Buku terbuat dari kertas yang ringan pun membawa banyak perubahan pada dunia.
Penggunaan kertas sebagai buku itu membawa manfaat antara lain:
merupakan sumber informasi yang memperluas wawasan, menambah pengetahuan, membangun hubungan sosial, melatih otak, meningkatkan kepercayaan diri dan meredakan stres.
Lalu bagaimana kemampuan masyarakat Indonesia untuk membaca dan menulis buku?
Kemampuan membaca dan menulis dikenal dengan istilah literasi. Literasi memang pada dasarnya adalah kemampuan membaca dan menulis. Diartikan juga sebagai pengetahuan dan kemampuan individu dalam mengolah informasi dan pengetahuan untuk kecakapan hidup. Karenanya membaca dan menulis merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Tetapi mengapa dikatakan tingkat literasi di Indonesia rendah? Mari kita telusur hal-hal terkait dengan membaca dan menulis ini.
Membaca merupakan salah satu cara untuk mendapatkan informasi dari tulisan, selain mendengar. Membaca dapat memberikan banyak manfaat, seperti meningkatkan wawasan, kebijaksanaan, dan kualitas diri. Selain itu membantu menjaga otak agar selalu menjalankan fungsinya secara sempurna. Juga merupakan proses mengenal dan memahami tulisan dalam bentuk lambang-lambang grafis yang memberi makna terhadap bahasa tulis tersebut.
Melalui membaca seseorang dapat memahami dan memetik makna yang terkandung
dalam suatu bahasa tulis.
Dengan membaca seseorang pun dapat menulis.
Bagaimana minat baca orang Indonesia? Hasil Survei yang dilakukan oleh Program of International Student Assessment (PISA) pada tahun 2019, menunjukkan minat baca Indonesia menempati peringkat ke-62 dari 70 negara. Indonesia dinyatakan masuk dalam 10 negara yang memiliki tingkat literasi terendah di antara negara-negara yang disurvey. Meskipun mengalami peningkatan dari tahun ke tahun namun beberapa hasil penelitian lain menunjukkan minat baca masyarakat Indonesia masih terhitung rendah. UNESCO mecatat tentang minat baca orang Indonesia, hanya 1 dari 1.000 orang yang rajin membaca. Rata-rata masyarakat Indonesia hanya membaca 0-1 buku per tahun.
Survei Perpustakaan Nasional Indonesia (Perpusnas) tahun 2022, menunjukkan tingkat kegemaran membaca masyarakat Indonesia sebesar 63,9 poin. Skor ini meningkat 7,4% dibandingkan tahun sebelumnya. Yogyakarta merupakan Provinsi yang masyarakatnya paling gemar membaca buku dengan skor 72,29, Jawa Tengah 70,96, Jawa Barat 70,1, DKI Jakarta
68,71, Jawa Timur 68,54.
Pada tahun 2023 data menunjukkan tingkat Kegemaran Membaca Masyarakat Indonesia sebesar 64,90. Ini mengalami kenaikan dibandingkan tahun 2021 yang tercatat sebesar 59,52. Tahun-tahun sebelumnya pun berada di bawah angka ini. Dalam sehari rata-rata lama membaca orang Indonesia 1 jam 37,8 menit . Ini berarti hanya 9 jam 56 menit per minggu. Padahal membaca memberikan banyak manfaat , apalagi untuk anak-anak dan remaja yang sedang dalam tahap perkembangan dan pencarian jati diri.
Bagaimana dengan menulis untuk menghasilkan suatu tulisan atau karangan?
Menulis adalah kegiatan menuangkan gagasan, ide, atau pendapat dalam bentuk tulisan. Juga merupakan salah satu keterampilan berbahasa yang penting untuk berkomunikasi, belajar dan berpartisipasi dalam berbagai bidang. Hasil dari kegiatan menulis disebut karangan atau tulisan dan ini merupakan salah satu bentuk ekspresi diri yang kuat. Menulis juga bisa menjadi alat komunikasi tidak langsung. Pramoedya Ananta Toer mengatakan menulis adalah bekerja untuk “keabadian” karena meninggalkan warisan untuk dunia. Lebih jauh ia mengatakan “tapi selama seseorang itu tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah”. Itu alasannya mengapa dikatakan menulis adalah bekerja untuk keabadian.
Beberapa faktor yang menyebabkan rendahnya tingkat literasi di Indonesia, di antaranya:
Sistem pendidikan yang lebih memprioritaskan membaca daripada menulis,
Perpustakaan yang tidak merata, Harga buku yang mahal, Koleksi buku yang terbatas dan sebagainya.
Akan halnya Buku cetak masihkah kini diminati?
Berbicata tentang fisik buku cetak memang ada kekurangannya dibanding buku elektronik. Umumnya bentuk fisik buku cetak besar dan berat sehingga kurang praktis untuk dibawa atau disimpan. Perlu ruang untuk menyimpannya dan rawan rusak. Untuk mendistribusikannya juga perlu biaya yang relatif mahal. Ada juga kendala bagi beberapa pembaca, bila melihat tebalnya atau banyaknya halaman buku dapat mengurangi minat untuk membacanya.
Tetapi buku cetak mulai diangkat lagi kepermukaan. Seperti di Swedia, buku cetak mulai dipergunakan lagi. Tahun 2009 buku-buku cetak diganti dengan komputer. Lima belas tahun kemudian, Pemerintah Swedia kembali mengganti komputer menggantikan komputer dengan buku-buku cetak dalam proses pembelajaran di kelas. Diyakini hal ini lebih banyak membawa manfaat pada kemampuan literasi anak-anak.
Di Indonesia pada era “Sekolah Rakyat” (SR) dalam pelajaran Bahasa Indonesia ada pelajaran menyimak membaca, dan mengarang. Anak belajar berkonsentrasi, memaknai bacaan kemudian mengekpresikan dan merefleksikan pemahamannya melalui tulisan yaitu mengarang. Namun dari waktu ke waktu sistem pendidikan terus berkembang dengan penuh dinamika perubahan dengan maksud untuk menghadapi tantangan zaman.
Terlepas dari segala kelemahan atau kekurangan sistem pendidikan yang diterapkan, keterampilan membaca dan menulis harus terus dipertahankan. Buku tetap menjadi salah satu sarana efektif guna mendorong minat serta kemampuan literasi. Bagaimanapun juga kemampuan literasi ini merupakan faktor yang tidak boleh diAikan begitu saja dalam sistem pendidikan di Indonesia.