Kata gizi sudah dikenal luas secara umum, meski masih ada juga yang menggunakan kata Nutrisi. Lembaga Bahasa Indonesia telah menetapkan kata gizi sebagai terjemahan dari kata “Nutrition” dalam bahasa Inggris. Namun penggunaan kata gizi nampaknya belum merata. Sampai saat ini masih banyak orang yang tidak menggunakan kata gizi melainkan tetap menggunakan kata nutrisi. Mengapa kata gizi yang digunakan bukan kata nutrisi? Ternyata menarik juga jika ditelusuri asal muasal digunakannya kata gizi bukan nutrisi.
Kalau diperiksa dalam kamus umum Bahasa Indonesia, di situ Badudu-Zain tahun 1994 menjelaskannya gizi sebagai “ilmu makanan ternak”. Sedangkan dalam disiplin ilmu kedokteran hewan disebut “ilmu nutrisi makanan ternak”. Namun yang lazim dan resmi, baik dalam tulisan ilmiah maupun dokumen pemerintah seperti dalam buku Repelita dulu sampai sekarang, hanya digunakan kata gizi. Karenanya zat-zat dari makanan terkait Kesehatan manusia kata Gizi lebih tepat digunakan dari pada “nutrisi”. Kata “Nutrisi” banyak di pakai untuk menyatakan zat-zat gizi yang dikandung dalam makanan (pakan) ternak.
Di Indonesia istilah gizi dan ilmu gizi baru dikenal sekitar awal tahun 1950an sebagai terjemahan kata ”nutrition” dan ”Nutrition Science”. Suatu kepustakaan kuno yang juga menelusuri asal usul kata Bahasa Inggris Nutrition dari kamus Oxford, menemukan bahwa kata Nutrition dan turunannya ternyata telah digunakan pada abad ke-15. Misalnya kata nutritive (dipakai tahun 1440, nutrient dan nutritious, tahun 1661). Todhunter dalam bukunya yang berjudul “Essays on history of Nutrition Dietetics “ (1967) tentang Andrew Boorde (1490-1544) yang menulis surat kepada raja Henry VII dalam bahasa Inggris kuno. Tulisan kuno itu berbunyi:
“This matter doth go moche by the educayion or by hrynngynguo of the people, the which have been nourished or nutrifyde with breade. Breade, the whiche is nutryryvr. They be compytent of nutriment..” Mungkin agak sulit membaca kalimat tersebut di atas. Tapi intinya dari kalimat tersebut itulah asal-muasal kata nutrition dikenal.
Munculnya kata gizi di Indonesia tidak lepas dari peran beberapa tokoh dan lembaga. Pada tahun 1953, Prof. Djuned Pusponegoro, dalam pidato pengukuhannya sebagai guru besar penyakit anak di Fakultas kedokteran Universitas Indonesia (UI) telah menggunakan kata gizi meski pada waktu itu Lembaga Bahasa Indonesia belum menetapkan secara resmi penggunaan kata ini. Kemudian pada tahun 1955, ilmu gizi resmi menjadi mata kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (UI). Prof. Poorwo Soedarmo pun menggunakan istilah gizi dalam pidato pengukuhannya sebagai Guru Besar Ilmu Gizi pertama di Indonesia pada tahun 1958 di UI. Pada tahun 1958 Prof. Poorwo Soedarmo mengutus 4 orang mahasiswanya (diantaranya Soekirman-kini prof Emeritus) menemui Dr. Haryati Soebadio yang menjabat sebagai Kepala Lembaga bahasa Indonesia untuk medapatkan kepastian tentang terjemahan kata ”Nutrition” dan ”Nutrition Science” dalam bahasa Indonesia. Dari Dr. Haryati Soebadio diperoleh penjelasan bahwa akar bahasa Indonesia banyak berasal dari bahasa Arab dan Sansekerta. Kata Inggris ”Nutrition” dalam bahasa Arab disebut Ghizai. Orang Mesir melafalkannya sebagai ”Ghizi”). Dalam Bahasa Sansekerta ”Svastaharena” yang dipakai dalam lambang Persatuan Ahli Gizi Indonesia (PERSAGI). Keduanya memiliki arti sama yaitu makanan yang menyehatkan. Atas petunjuk tersebut Prof. Soedarmo memilih kata Gizi sebagai terjemahan resmi kata ”Nutrition” yang sebenarnya sejak tahun 1952 sudah dipakai di kalangan para ilmuan kedokteran dan kesehatan masyarakat. Kemudian Prof, Poorwo Soedarmo mengganti nama Akademi Pendidikan Nutrisionis dan Ahli Diit menjadi Akademi Gizi pada tahun 1965 kwtika lokasi akdemi ini dipindahkan dari Bogor ke Jakarta.
Bidang gizi terus berkembang dan banyak Fakultas Kedokteran, Fakultas Pertanian, Fakultas Teknologi Pangan, Fakultas Kesehatan Masyarakat membentuk bagian atau departemen ilmu gizi. Dalam perkembangan selanjutnya Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) pada tahun 1958 memasukkan ilmu gizi dalam Kongres Ilmu Pengetahuan Nasional (KIPNAS) pertama. Kemudian sejak tahun 1973 digelas Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) yang diselenggarakan setiap 4 (empat) tahun.
Misi untuk memperbaiki gizi di Indonesia sudah dimulai sejak tahun 1950. Berdirinya Sekolah Juru Penerang Makanan berawal dari pemikiran Prof. Poorwo Soedarmo. `Adalah Prof. Poorwo Soedarmo ketika memimpin Lembaga Makanan Rakyat (LMR) pada tahun 1952-1959, yang mengambil langkah awal untuk mendirikan satu institusi pendidikan didasarkan pada pemikirannya yang melihat perlunya masyarakat memahami pentingnya makanan bagi kesehatan. Maka berdirilah Sekolah Juru Penerang Makanan oleh LMR pada 25 Januari 1951. Tanggal ini kemudian diperingati sebagai Hari Gizi Nasional.
Mengapa Prof. Poorwo Soedarmo yang seorang dokter kulit dan kelamin beralih ke bidang gizi yang lebih menitik beratkan fungsi-fungsi zat gizi yang terkandung dalam bahan makanan? Hal ini dilatarbelakangi oleh pengalamannya ketika bekerja sebagai dokter pada kapal ”SS Polydorus” yang melayani kargo Jakarta–Amsterdam. Dalam suatu pelayaran ke Eropa ia membaca publikasi di surat kabar Colombo Newspaper di Srilanka yang didapatnya dari seorang resepsionis. Informasi yang dibacanya terkait dengan teknik baru pencegahan malaria dengan penyemprotan DDT. Teknik itu belum dikenal di Indonesia. Kemudian sesampainya di Eropa ia mencari informasi lebih lanjut dari London Postgraduate School of Public Health and Nutrition, sumber tulisan di publikasi yang dibacanya. Resepsionis dari Departemen Ilmu gizi kampus itu kemudian mengajak Poorwo Soedarmo melihat publikasi lainnya. Ada tiga publikasi ilmiah yang ditunjukkan. Salah satu di antaranya membahas tentang pola konsumsi kalori dan protein di 50 negara pada 1948. Publikasi itu menarik perhatian Poorwo Soedarmo sebab dia menemukan data terkait jumlah konsumsi kalori dan protein di Indonesia. Jika dibandingkan dengan negara lain, Indonesia berada di peringkat paling bawah. Penderitanya banyak korban romusha, dengan ciri khas badan kurus dan tulang menonjol, busung lapar, serta memiliki kecerdasan di bawah rata-rata atau indolen yang saat itu dianggap menjadi ciri orang Indonesia (kisah Poorwo dalam autobiografinya “Gizi dan Saya “,1995, hlm. 28).
Saat itu juga Poorwo Soedarmo menyadari pentingnya ilmu gizi bagi tanah airnya yang tak lama lagi akan merdeka. Jika situasi seperti ini dibiarkan maka akan sia-sialah kemerdekaan yang diperoleh karena tidak dapat diisi dengan baik. Sejak itu Poorwo Soedarmo bertekad memperkenalkan ilmu gizi di Indonesia. Selama di Eropa ia kemudian banyak mempelajari laporan di London Postgraduate School of Public Health and Nutrition, dan berbagai literatur serta bahan-bahan yang dianggapnya penting untuk dibawa pulang. Inilah titik balik seorang Poorwo Soedarmo dari seorang dokter kulit kelamin menjadi pendidik ilmu gizi yang berdedikasi hingga akhir hayatnya. Ia juga mempelajari ilmu gizi dari berbagai kampus, mulai dari Filipina, London, hingga Amerika Serikat, termasuk mengikuti perkuliahan di Harvard University dan Columbia University.
Kiprah Poorwo Soedarmo tidak berhenti hanya pada mendirikan Sekolah Juru Penerang Makanan saja, lebih jauh dari itu ia mendirikan Pendidikan Nurisionis dan Ahli Diit di Bogor yang pada tahun 1965 di pindahkan ke Jakarta dengan nama Akademi Gizi yang berlokasi di Jl. Hang Jebat III Kebayoran Baru Jakarta. Selain itu atas dukungan Menteri Kesehatan dr. J.Leimena ia juga mendirikan lembaga riset gizi di Bogor yang dipimpin oleh dr. Darwin Karyadi. Pada tahun 1975 berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 114/Menkes RI/75 namanya menjadi Pusat Penelitian dan Pengembangan Gizi (Puslitbang Gizi). Atas jasa-jasanya ini Prof.Poorwo Soedarmo di angkat sebagai bapak gizi Indonesia oleh Persatuan Ahli (PERSAGI) dalam kongres pertamanya tahun 1967 ditetapkan sebagai bapak gizi Indonesia.
Akademi gizi yang semula hanya satu dan berada di Jakarta, dengan dukungan Bappenas dan Bank Dunia mulai dikembangkan dan bertambah jumlahnya dan tersebar di berbagai daerah. Akademi Gizi Jakarta pun dijadikan “Selected Center” yaitu suatu proyek Pengembangan Tenaga Gizi bantuan Bank Dunia, sebagai contoh pengembangan pendidikan tenaga Gizi Indonesia. Kini para lulusan institusi pendidikan Gizi ini diwadahi dalam organisasi profesi Persatuan Ahli Gizi Indonesia yang didirikan pada tahun 1957, dengan jumlah Pengurus Daerah (DPD) tersebar di 34 provinsi dan Dewan Pengurus Cabang (DPC) di 487 kabupaten dengan jumlah anggota sebanyak 53.102 orang. Sungguh suatu investasi sumber daya manusia dan potensi hasil institusi pendidikan atau sekolah gizi yang sangat berharga.