Dampak Pandemi terhadap Kesejahteraan Guru.

Humaniora0 Dilihat
Sumber gambar:lombokita.com

Pandemi Covid-19 tidak hanya berdampak pada sektor kesehatan, namun juga menyasar pada sektor pendidikan. Pandemi Covid-19 telah membuat pemerintah melakukan perubahan postur dan rincian APBN tahun anggaran 2020. Salah satu anggaran yang terkena imbasnya adalah pemotongan Tunjangan Profesional Guru (TPG) dan Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Hal ini dapat dilihat pada Peraturan Presiden (Perpres) no 54 Tahun 2020 bagian komponen nomor 2.2.2.2 dan 2.2.2.3.

Kebijakan pemerintah melakukan pemotongan anggaran Tunjangan Profesional Guru (TPG) dan Bantuan Operasional Sekolah (BOS) untuk penanggulangan covid-19 sangat disayangkan banyak pihak, terutama para guru. Bagaimana tidak, TPG dan BOS merupakan hal mendasar untuk menunjang kesejahteraan guru dan tenaga kependidikan, juga untuk biaya operasional satuan pendidikan (sekolah), termasuk di antaranya gaji guru honorer.

Tingkat kesejahteraan guru cukup beragam, paling tidak terbagi menjadi 3 kategori, yaitu :

1.Guru PNS (Pegawai Negeri Sipil), yaitu mereka yang sudah mendapatkan gaji dari pemerintah sesuai golongannya, sudah bersertifikasi pendidik sehingga mendapatkan Tunjangan Profesional Guru (TPG) serta mendapatkankan tunjangan penghasilan dari Pemkot/Pemkab atau Pemprov dan sebagainya.

2. Guru Tetap Yayasan (GTY), yaitu mereka yang mendapatkan gaji tetap dari yayasan dan bila sudah memiliki sertifikat pendidik maka akan mendapat Tunjangan Profesional Guru (TPG) .

3. Guru honorer, yaitu guru yang masih sangat memprihatinkan dan dirasa belum mendapatkan kesejahteraan. Mereka masih ada yang mendapat gaji ratusan ribu/ bulan dan dibawah UMR/UMP.

Guru honorer dibagi ke dalam dua kelompok besar, yakni guru honorer sekolah swasta dan guru honorer sekolah negeri. Guru honorer sekolah swasta pun dibagi menjadi dua lagi: guru honorer sekolah swasta alit (kecil) dan guru honorer swasta elite. Guru honorer sekolah swasta elite biasanya sekolah-sekolah swasta yang memiliki modal besar seperti sekolah Islam Terpadu (IT), Sekolah Kristen, dan lain-lain.

Guru honorer di sekolah swasta elite bisa dikatakan cukup sejahtera. Sementara guru honorer sekolah swasta dari yayasan yang kecil dan memiliki modal kecil, kelompok guru inilah yang memprihatinkan karena mereka tidak mendapatkan gaji tetap, tidak mendapatkan tunjangan profesi, dan sebagainya. Gaji mereka ada yang sebesar Rp 300 ribu sampai RP 400 ribu per bulan. Bayangkan dengan gaji yang begitu kecil mereka dituntut untuk bekerja secara optimal dan mampu menghasilakn lulusan-lulusan sekolah yang berkualitas, hal ini merupakan sebuah ironi.

Dengan adanya pemotongan anggaran TPG dan BOS, yang paling terkena dampaknya adalah guru honorer di sekolah negeri. Hal ini disebabkan karena pos pemasukan dari dana BOS berkurang, sehingga kepala sekolahpun akan mengeluarkan kebijakan efisiensi belanja gaji guru honorer di sekolahnya.

Lantas bagaimana dengan guru honorer di sekolah swasta, apakah pemotongan TPG dan BOS tidak mempengaruhi mereka?. Kalau pemotogan TPG jelas sangat tidak mempengaruhi mereka, karena para guru honorer swasta memang belum mendapatkan TPG, lalu kalau dana BOS bagaimana?.

Berbicara dana Bantuan Operasional sekolah (BOS) di sekolah swasta tergantung kebijakan “BOSS”. Kalau pemilik yayasan sekolah tersebut memiliki keberpihakan yang tinggi terhadap nasib guru honorer di sekolahnya, maka ia akan mengalokasikan lebih dari dana BOS untuk belanja gaji guru honorer. Namun kalau keberpihakannya kurang, maka yang diutamakannya adalah kepentingannya selaku owner.

Pertanyaan besarnya adalah, mengapa harus timbul semacam “kasta” pada kesejahteraan guru di Indonesia?. Apakah tugas pokok dan fungsi (Tupoksi) antara guru PNS, GTY, dan Honorer berbeda?.

Padahal dalam Undang-Undang nomor 20 tahun 2003 pasal 39 ayat 2 tentang Sistem Pendidikan Nasional, dikatakan bahwa tugas guru adalah merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, terutama bagi pendidik pada perguruan tinggi.

Sementara itu dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen menyatakan bahwa guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.

Dalam kedua definisi mengenai tugas guru ini tidak dibedakan apakah ia seorang guru PNS,guru GTY, maupun guru honorer, semuanya mempunyai beban tugas yang sama.

Pertanyaannya sekali lagi, mengapa harus ada “kasta-kasta” pada kesejahteraan guru di Indonesia?. Dampak nyatanya adalah berimbas pada sekolah-sekolah swasta. Sebuah permasalahan klasik yang terjadi di sekolah swasta alit yang terulang setiap tahunnya adalah banyaknya guru di sekolah swasta yang keluar, dan pindah mencari sekolah lain yang dianggap lebih besar gaji/honornya.

Belum lagi status Guru Tetap Yayasan (GTY) yang kadang hanya bersifat administratif sebagai syarat mendapatkan NUPTK(Nomor Unik  Pendidik dan Tenaga Kependidikan). Untuk kemudian dari NUPTK ini menjadi dasar mengajukan diri untuk mengikuti program sertifikasi dalam jabatan yang saat ini disebut PPG (Pendidikan Profesi Guru).

Pandemi Covid-19 menjadi tamparan keras bagi semua pihak, terkhusus para guru honorer. Dengan tanpa adanya pemotongan anggaran TPG dan BOS sekalipun, nasib mereka sudah sangat memperihatinkan.

Mereka seorang sarjana, namun pengasilan mereka jauh dari Upah Minimum Propinsi (UMP). Bahkan tersiar kabar, ada beberapa sekolah swasta yang memangkas gaji para guru honorernya dengan alasan pemasukan SPP dari orang tua berkurang (banyak tunggakan). Nasib para guru honorer ini seperti pribahasa sudah jatuh tertimpa tangga pula.

Memang menjadi guru adalah panggilan hati untuk mengambil peran besar melaksanakan salah satu tujuan negara yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Kurang tepat pula rasanya, jika orientasi guru masa kini terjebak pada financial minded. 

Bagi anda yang berprofesi sebagai guru, fokuslah pada tujuan menjadi seorang guru, jangan dominasi pikiran anda oleh materi semata.

Biarlah negara yang memikirkan nasib anda, namun jika hanya sebatas janji-janji yang digaungkan dengan anggaran 20 % APBN, tetap fokuslah pada tugas anda dan mohon pertolongan kepada Yang Maha Kuasa semoga Dia memberi “pelajaran” berharga kepada mereka.**

Ropiyadi ALBA
Ropiyadi ALBA Tenaga Pendidik di SMA Putra Bangsa Depok-Jawa Barat dan Mahasiswa Pasca Sarjana Pendidikan MIPA Universitas Indra Prasta Jakarta.

Tinggalkan Balasan