Penggunaan istilah “Betawi” mulai dikenal pada kancah nasional sejak berdirinya sebuah organisasi bernama “Pemoeda Kaoem Betawi” sebagai wadah organisasi kepemudaan khususnya untuk para pemuda Betawi yang didirikan pada awal tahun 1927 yang diketuai oleh Mohamad Tabrani. Ketua organisasi kepemudaan ini pada tahun 1928 menjadi utusan dalam Kongres Pemuda Indonesia Kedua yang menghasilkan “Sumpah Pemuda”.
Beragam pendapat tentang asal muasal kata “Betawi“. Ada yang mengatakan berasal dari kata Batavia yang merupakan nama untuk kota Jakarta pada zaman kolonial Belanda, ada juga yang mengatakan berasal dari kata “Pitawi” yang artinya Larangan, bahkan ada juga yang mengatakan berasal dari semacam pohon yang bernama pohon “Betawi” atau “Bekawi“.
Beberapa tokoh Betawi yang cukup dikenal adalah Muhammad Hoesni Thamrin (Pahlawan Nasional), Ismail Marzuki (pencipta lagu-lagu nasional), Benjamin Sueb ( Seniman Betawi), dan Hj.Tuty Alawiyah (Mantan menteri Pemberdayaan Peranan Wanita era Presiden B.J Habibie).
Keberadaan suku Betawi saat ini bisa dikatakan telah mengalami kehilangan eksistensinya, khususnya di DKI Jakarta dan umumnya di Indonesia. Kita sudah jarang menemukan warga Jakarta yang merupakan suku Betawi asli mendiami pusat-pusat pemukiman yang berada di sentra ibu kota. Banyak di antara mereka yang saat ini harus tinggal di pinggiran ibu kota bahkan harus keluar dari ibukota dan tinggal di daerah-daerah penyangga ibu kota seperti Depok dan Bekasi.
Pusat perbelanjaan, seperti pasar tradisional yang dahulunya banyak kita temukan warga Betawi sebagai pedagang buah dan sayur, kini hal tersebut sudah jarang kita dapati. Dahulu banyak warga Betawi asli yang memiliki banyak rumah kontrakan, sekarang justru banyak anak muda Betawi yang harus hidup mengontrak.
Dalam pentas nasional saat ini kita belum melihat eksistensi tokoh Betawi secara signifikan, kecuali sejarawan sekaligus budayawan Betawi Babe Drs H.Ridwan Saidi, dan Prof. DR. H. Daelami Firdaus, seorang anggota DPD RI asal DKI Jakarta putra dari almarhumah Hj Tuty Alawiyah.
Secara umum, faktor penyebab kemunduran suku Betawi, khususnya di DKI Jakarta dikarenakan kurangnya bekal mereka dalam masalah pendidikan.
Orang-orang Betawi yang cukup berhasil dan dikenal masyarakat, karena memang mereka dibekali dengan pendidikan yang cukup. Misalnya keluarga besar Almarhum KH Abdullah syafe’i. Beliau memiliki anak cucu yang berhasil, karena memang dibekali dengan pendidikan yang cukup, seperti KH Abdul Rasyid AS, Hj Tuty Alawiyah AS, Prof.Dr Daelami Firdaus.
Saat ini kita belum melihat perkumpulan atau organisasi kaum Betawi yang bersifat politik, ekonomi, maupun pendidikan. Yang ada baru sebatas perkumpulan seniman dan budaya Betawi dan organisasi kepemudaan Betawi yang terkesan hanya mengurusi masalah domestik seperti lahan parkir, kebersihan, dan keamanan lingkungan.
DKI Jakarta yang sudah memiliki sekian kali gubernur/kepala daerah, belum ada satupun yang merupakan warga Asli Betawi. Untuk itu kedepannya semoga ada di antara putra-putri Betawi yang mampu menduduki posisi strategis di bidang ekonomi, politik, dan pendidikan.
Kata kuncinya adalah dengan membekali para putra-putri Betawi dengan ilmu pengetahuan dan ketrampilan yang cukup, serta menjadikan pendidikan sebagai fokus utama dalam kehidupan sehari-hari.***
Salam.Ropiyadi ALBA (Putra Betawi Asli)