Membangun Dinasti Politik di Balik Topeng Demokrasi

Humaniora189 Dilihat
Sumber gambar:rm.co.id

 

Secara historis, lahirnya sistem politik demokrasi merupakan anti tesis dari sistem politik dinasti pada sebuah negara yang berbentuk kerajaan atau kekaisaran yang dipimpin secara turun temurun.

Sebagai salah satu contoh, adanya ketidak puasan rakyat terhadap sistem pemerintahah monarki (kerajaan) di Prancis yang sudah berlangsung hampir 300 tahun, telah melahirkan gelombang perlawanan rakyat yang pada akhirnya memicu terjadinya revolusi Prancis pada abad ke 18.

Rakyat menginginkan kesamaan dan kesetaraan di dalam pemerintahan, sehingga muncullah sebuah bentuk negara demokrasi modern. Demokrasi pada hakikatnya pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat yang relatif setara. Siapapun bisa menjadi pemimpin dalam sebuah negara demokrasi, asalkan memiliki elektoral yang tinggi dan dipilih oleh mayoritas rakyat.

Sedangkan Politik dinasti yang diartikan sebagai sebuah kekuasaan  yang dijalankan oleh sekelompok orang yang masih terkait dalam hubungan keluarga atau kekerabatan, tidak memberikan ruang dan kesempatan kepada orang diluar unsur keluarga kerajaan untuk memimpin negara. Dalam sistem kerajaan, rakyat tidak memiliki hak untuk memilih dan dipilih sebagai pemimpin.

Berakhirnya perang dunia kedua, telah melahirkan banyak negara demokrasi di dunia. Artinya hampir seluruh negara di dunia telah meninggalkan sistem monarki (kerajaan). Walaupun masih ada sedikit negara di dunia yang berbentuk monarki, namun sifatnya bukan monarki absolut, melainkan monarki konstitusional.

Secara teori, dalam demokrasi tidak mengenal sistem politik dinasti. Namun telah terjadi sebuah anomali dalam praktek demokrasi, khususnya di Indonesia.

Terjadinya tren politik kekerabatan di Indonesia sudah lama berakar secara tradisional. Yakni berupa sistem patrimonial, yang mengutamakan regenerasi politik berdasarkan ikatan genealogis, bukan kualifikasi dan kompetensi dalam menimbang prestasi.

Pada sistem monarki, sistem pewarisan kepemimpinan ditunjuk secara langsung oleh raja sebelumnya, sedangkan pada sistem patrinomial dipilih melalui sistem elektoral prosedural yang sudah didesain melaui sebuah kendaraan politik yang sudah dipersiapkan.

Untuk kasus Indonesia, kita sudah mengenal beberapa pergantian kepemimpinan sejak Presiden pertama Soekarno sampai presiden ketujuh Joko Widodo.

Klan kepemimpinan Soekarno dilanjutkan oleh megawati Soekarnoputri sebagai Presiden ke-4, dan selanjutnya Megawati Soekarno Putri menitiskan Trah kepemimpinannya kepada putrinya yaitu Puan Maharani yang pernah menjadi Menteri Sosial, Menteri Koordinator PMK dan saat ini sebagai ketua DPR RI periode 2019-2024.

Sementara itu, Presiden kedua Indonesia-Soeharto- pada masa akhir kepemimpinannya telah mengangkat putrinya (Siti Hardiyanti Rukmana) sebagai Menteri Sosial. Setelah Soeharto wafat, Siti Hardiyanti Rukmana atau biasa dipanggil mbak Tutut mendirikan Partai MKGR dan membidani lahirnya Partai Garuda pada pemilu 2019 lalu.

Presiden Indonesia selanjutnya yang nampak ingin melanjutkan Trah kepemimpinannya adalah Presiden ke-6 Indonesia yaitu Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Sejak masih berkuasa, putra kedua SBY, yaitu Eddy Baskoro Yudhoyono (Ibas) sudah terjun ke politik dan menjabat sebagai ketua fraksi Partai Demokrat di DPR. Selanjutnya, di tahun 2017 putra sulung SBY- Agus Harimukti Yudhoyono (AHY)- terjun ke politik dan meninggalkan dinasnya di kemiliteran. Debut awal AHY di politik adalah sebagai Calon Gubernur DKI Jakarta Periode 2017-2022. Saat ini AHY menduduki posisi sebagai ketua umum Partai Demokrat.

Ternyata, Presiden ketujuh Indonesia-Joko Widodo- tidak ingin kalah dengan presiden-presiden sebelumnya. Kalau anak-anak presiden sebelumnya terjun ke politik sebagai anggota DPR, Menteri, atau petinggi partai, maka di tahun 2020 ini putra sulung Jokowi mengadu peruntungan menjadi calon walikota.

Secara hukum, tidak ada yang salah dengan langkah yang dilakukan putra sulung Jokowi tersebut, apalagi dalam negara demokrasi semuanya punya hak untuk memilih dan dipilih. Bedanya dengan anak presiden sebelumnya adalah, Putra Sulung Jokowi –Gibran Rakabuming Raka- mencalonkan diri sebagai Wali Kota pada saat sang ayah masih menjabat sebagai Kepala Negara dan Kepala pemerintahan.

Munculnya dinasti politik pada saat salah satu anggota keluarga masih menjabat, akan memicu munculnya konflik kepentingan. Untuk itu sebisa mungkin politik dinasti harus dihindari, karena jika makin maraknya praktek ini di berbagai pilkada dan pemilu legislatif, maka proses rekrutmen dan kaderisasi di partai politik tidak berjalan atau macet.

Kader-kader partai yang potensial dan memiliki nilai elektoral dan integritas tinggi dipaksa mengalah demi majunya “sang putra mahkota” sebagai pemimpin. Dalam posisi ini, rekruitmen partai lebih didasarkan pada popularitas dan hubungan kekerabatan untuk meraih kemenangan. Di sini kemudian muncul calon instan dari kalangan “darah biru” atau politik dinasti yang tidak melalui proses kaderisasi.

Dengan Politik Dinasti membuat orang yang tidak kompeten memiliki kekuasaan. Tapi hal sebaliknya pun bisa terjadi, dimana orang yang kompeten menjadi tidak dipakai karena alasan bukan keluarga. Di samping itu, cita-cita kenegaraan menjadi tidak terealisasikan karena pemimpin atau pejabat negara tidak mempunyai kapabilitas dalam menjalankan tugas.

Sebenarnya yang menjadi kunci adalah kompetensi dan kapabilitas. Kita tidak boleh membatasi hak seseorang untuk memilih atau dipilih, jika seseorang tersebut mempunyai kualifikasi dan kompetensi mengapa tidak?. Namun kita tidak boleh lupa, bahwa di atas hukum ada etika.

Secara etika, kurang elok rasanya jika ada anak pejabat mencalonkan diri sebagai pejabat. Orang akan berpandangan bahwa keterpilihannya pada ajang elektoral karena faktor ayahnya, namun ketika yang bersangkutan kalah maka kredibelitas sang ayah akan sedikit terganggu.

Maka dari itu janganlah kita membangun dinasti politik di balik topeng demokrasi, sebab negara Indonesia bukanlah negara dengan sistem pemerintahan monarki yang memilih pemimpin berdasarkan garis keturunan.***

Tinggalkan Balasan