Menatap lorong yang dulu semangat aku lalui, sapaan demi sapaan aku jawab dengan senyum yang tentunya tak lagi menarik karena dimakan usia.
Senyumku tulus setulus hati ini menebar benih keikhlasan untuk mendidik mereka menjadi orang yang bisa membangga diri sendiri, orangtua dan bangsa.
Sekarang lorong ini bagaikan jalan pajang yang menebar duri sehingga kakiku yang beralas sepatu masih terasa sakit ketika menginjaknya.
Senyumku luput, sapaan mereka memberikan bunyi yang berbeda tak lagi merdu tapi membuat pikiranku terbayang melayang membayangkan mereka mengejekku dibelakang.
Memantapkan hati melangkah masuk kelas yang mendadak sunyi, biasanya selalu ada sahutan yang menyambut kehadiranku entah itu berupa salam ataupun selamat pagi.
Helaan napas berat keluar dari hidungku, meletakkan semua bawaanku di atas meja belum sanggup untuk menatap mereka yang dulu memberikan kekuatan kuat untuk berdiri di depan kelas walaupun sakit menyerang tubuh tua ini.
Kalau hanya flu atau batuk tidak menghalang untuk tetap berdiri depan kelas dengan memakai masker.
Candaan yang waktu itu mengatakan aku bagai ninja karena memakai masker sewaktu batuk aku anggap sebagai candaan karena mereka merasa kasihan karena aku tetap masuk kelas dalam keadaan sakit.
Sekarang baru terasa candaan mereka sebenarnya bukan candaan tapi ada sesuatu dibalik perkataan mereka.
Satu persatu perlengkapan untuk mengajar aku atur sedemikian rupa, dari memasang proyektor dan laptop serta speaker.
Sibuk dengan dunia mereka, tidak ada satupun dari mereka yang berusaha membantuku.
Untung saja aku tidak membutuhkan bantuan mereka, entah apa jadinya jika aku tidak bisa menggunakan peralaatn perangku untuk mengajar mungkin sebanyak gelar yang aku peroleh dari merea.
Sudah cukup dengan gelar sebagai nenek nyinyir karena aku sering memberikan nasehat jika mereka melakukan kesalahan.
Kelas memang tenang, tapi ketenangan mereka bukan karena focus ingin belajar tapi lebih kepada layar kecil yang sejak tadi membuat mereka seakan tidak peduli dengan kehadiranku di depan kelas.
“Ita berikan contoh untuk kegiatan produksi yang bisa kita lakukan di dalam kelas.” Ucapku menyentak keheningan yang tercipta sejak tadi.
Terdengar kasak kusuk dari penjuru belakang kelas.
“Mati Ita, tidak bisa menjawab pasti di minta untuk menyebutkan hurup vocal sambil 2 menit.” Oceh mereka.
Ya, aku sengaja memberikan sanksi jika mereka tidak bisa menjawab pertanyaan terbuka disetiap pembelajaranku.
Hitung – hitung olah raga wajah supaya tidak kaku wajah mereka yang menatap layar kecil yang menjadi candu untuk mereka muridku.
***
(Bersambung)