Bunyi lonceng panjang tanda usai sudah pelajaran hari ini, melihat mereka bersorak seperti ada yag mengiris hati, mereka seakan lega jika sudah mendengar bel tanda pulang. Selama Sembilan puluh menit aku berusaha memikirkan cara bagaimana antusias mengikuti pelajaran yang aku berikan, belum lagi malam harus lembur membuat media yang menurut beberapa kali pelatihan juga merupakan salah satu kekuatan untuk menarik mereka belajar sepertinya sia – sia.
Belum lagi pertengkaran berujung mendiamkan satu sama lain dengan suamiku membuat kesal di hatiku menggunung, ingin rasanya aku menjerit memaki mereka, siswa – siswiku yang seakan tidak merasakan penderitaan orang dewasa untuk mencukupi segala kebutuhan mereka.
Untung saja, masih ada iman di dada sehingga aku menjerit dalam hati untuk semua yang terlihat sangat memuakkan dinetraku saat ini.
Masih terngiang -ngiang pertengkaran kami dua hari lalu, hanya karena aku lebih memilih mengoreksi pekerjaan siswa di rumah, amarah suamiku tidak tertahan lagi. Habis semua buku yang aku periksa dibuangnya, sehingga ada beberapa buku yang rusak, aku melakukan itu hanya karena ingin lebih cepat berada di rumah, pekerjaan rumah sudah aku bereskan sambil menunggu kepulangan suami aku mengoreksi sisa tugas siswa yang terpaksa aku bawa pulang. Saking asyiknya mengoreksi aku sampai tidak mendengarkan langkah kaki suami yang mendekat, dengan kasarnya suamiku mengambil buku yang berada didepanku, sampai pena merah untuk mengoreksi terpelanting jauh.
Sambil beristifar aku menyebut asma Allah, menatap netranya yang membulat serta giginya yang mengatup rapat, menandakan dirinya marah besar.
Aku hanya mengelengkan kepala, seperti melihat orang asing yang sedang berdiri dihadapanku saat ini, kemana perginya suamiku yang selalu membesarkan hati jika aku mengeluh bagaimana sulitnya menjadi guru sekarang ini.
“Suami pulang memberi salam bukannya dijawab, malah sibuk dengan buku – buku yang tak berharga ini.” Kasar sekali Bahasa yang digunakan suamiku saat ini, tidak seperti biasanya. (Bersambung)