Jika batu karang aku adalah serpihannya, jika aku gelombang di laut luas umpama buihnya saja. aku tidak sekuat batu karang, aku buih yang hilang dalam terjangan ombak kala badai hanya buih tak berarti, lemah tak bermaya.
Sebut saja namaku, Zakiah Hapsah notabene asli melayu peranakan dari bapak Padang yang merantau ke Karimun menikahi gadis tempatan. Aku tidak suka disebut Padang dari garis keturunan Ayahku, karena menurut mereka tetua Ayah aku bukan dari bakau yang sama. Tapi aku tidak lemah selemah gadis asal Ibuku yang selalu bergantung pada lelaki saja.
Peluh membasahi keningku yang mulus bak porselin yang aku peroleh dari sebelah Ayahku yang katanya memiliki kecantikan dari sononya. Jangan bigung dengan bahasaku, walau tinggal di kampung Ibuku karena aku campuran Payu
(Padang Melayu) tetanggaku lebih banyak orang jawanya. Seperti kata pepatah dimana bumi dipijak disitu langit di junjung, ya begitulah bahasaku gado – gado campuran antara bahasa Indonesia, bahasa Padang dan bahasa Melayu.
Lihat saja namaku Zakiah Hapsah, kerenkan namaku. Zakiah dari bahasa padang yang berarti jelas dan murni, sementara Hapsah berarti pertemuan. Kata Emakku aku adalah pertemun yang murni antara Emak dan Ayah, sementara nick name alias nama panggilan aku sering di panggil Kia, bukan mobil merk korea ya, sebenarnya aku kesal dipanggil Kia tapi daripada Kiah atau Apsah terdengar kampungan.
Walaupun aku orang kampung aku tidak kampungan, nilai rata – rataku di atas standar alias aku sering rangking kelas. Dengan rambut yang hitam legam sebatas paha, bisa dibayangkan betapa panjang rambutku yang selalu aku kepang atau ekor kuda. Bulu mata lentik serta bibir bak pau delima, aku terbilang cantik istilah anak sekarang macam.
“Hai macan, baru datang ya.” Suara yang hampir setiap hari aku dengar. Ada satu mahluk ciptaan tuhan yang benar – benar menyebalkan, bagaimana tidak menyebalkan setiap ketemu pasti memanggilku macan, lelah aku mengingatkanya tapi tetap sama macan dia memanggilku.
“Sana lihat jam, dasar norak tidak punya kerjaan.” Dengusku kesal, ada saja alasan untuk menyapaku. Kantor masuk pukul delapan, mana mungkin aku baru datang sekarang.
“Tambah manis say, jika marah.” Usilnya tidak habis – habis
“Memang pernah rasa.” Spontan aku menutup mulut, bisa bahaya pikirku cepat.
“Boleh rasa?” Kan benar saja batinku menyesali perkataanku yang terlanjur keluar. (bersambung)