Raihan bagaikan ditelan bumi, sudah dua minggu ini aku tidak di usilinya bahkan aku juga tidak melihat kehadirannya. Aku melihat sekelilingku, tempat ini biasanya menjadi tempat favorit Riahan, menjadi tempat jika dia menghilang dari peredaran keramaian. Aku berjalan ke sudut ruangan, kosong tidak ada Raihan di sana. Aku menghempaskan diri, duduk di tempat bersemanyan Raihan biasanya. Aku memandang keluar jendala melihat pemandangan di bawahnya, ya ada jendela di tempat Raihan selalu duduk.
Aku menghembuskan napas berat, berdiri beranjak meninggalkan tempat ini.
“Dia tidak ada di sini.” Batinku dalam hati.
“Hana.” Suara itu batinku.
“Mencariku.” Aku baru tersadar jika Raihan sudah berdiri di depanku.
“aku mencari manik mata yang selalu membuatku merasa diinginkan tapi Raihan seperti tidak mau memandangku. Dia menjatuhkan dirinya pada tempat yang tadi aku tempati dan langsung memandang keluar jendala persis seperti yang aku lakukan tadi.
Aku mengambil tempat di sebelahnya, memandang ke arah yang sama dengannya, hanya ada keheningan diantara kami. Aku mengalihkan pandangan ke arah Raihan, tapi dia masih dengan pandangannya keluar jendela.
“Raihan.” Ucapku pelan takut menganggu kosentrasinya. Lama aku menunggu reaksinya tapi hanya kesunyian yang aku dapat.
“Aku pergi.” Aku tidak yakin dengan yang aku katakana, aku masih terpaku di tempatku tanpa beranjak sesentipun.
“Tidak jadi pergi.” Ucapnya membuatku malu. Akhirnya aku bangkit berdiri untuk meninggalkannya.
Tarikan di tanganku menghalangi langkahku pergi, aku melihat ke arah Raihan
“Duduklah, kita perlu bicara.” Ada nada keputusaan dalam nada bicaranya.
Aku mengambil tempat tadi aku tempati, memandang Raihan yang tidak juga memandangku. “Ada apa dengan Raihan.” Batinku
“Hana, hatimu terbuat dari apa sehingga tidak merasakan apa yang Raihan rasakan?” ucapnya tak bermaya
Heran tentu saja, aku tidak mengerti apa yang dimaksud Raihan sebenarnya.
“Hana.” Lama jedanya membuatku penasaran apa yang akan dikatakn oleh Raihan.
“Raihan menyukai Hana.” Sungguh lanjutan ucapan Raihan membuatku susah bernapas
“Jangan bercanda.” Spontan terucap setelah aku merasa napasku kembali teratur.
Manik mata itu memandangku mencari sesuatu di hatiku, sungguh aku takut untuk membalas tatapannya tapi netra ini sungguh kurang ajar tidak mau berpaling dari tatapan Raihan kepadaku.
“Hana tahu Raihan tidak bercanda.” Ketegasan dalam suaranya membuatku hatiku kecut
“Lebih banyak yang lebih baik dari Hana, kenapa harus Hana.” Pernyataan tolol yang meluncur dari mulutku.
“Itu menurut Hana, tidak menurut Riahan.” Bentaknya kesal membuatku menundukkan wajah bersalahku karena membuatnya kesal dengan pernyataanku.
“Jika hanya menganggap mereka lebih pantas untuk Raihan, baiklah pilihkan satu yang terbaik untuk menjadi pengisi hati Raihan.” Ucapannya sungguh membuatku kebingungan setengah mati.
“Kenapa diam.” Tantangnya lagi
“Hana.” Gugup, Aku tidak sanggup melanjutkan ucapanku.
Raihan bangun dari duduknya, memandangku sebelum melangkah meninggalkannku. Aku bingung
“Hana tidak mau pacaran, itu bukan ajaran agama kita.” Aku langsung menutup mulutku setelah mengatakannya, aku berharap Raihan tidak mendengarnya.
“Kita ta’arupan Mau?” Langkah kaki mendekatiku, sekarang Raihan bersimpuh di depanku membuat jantungku mengoceh tak karuan belum lagi ucapannya yang membuatku mati kutu.
“Tapi.” Masih ragu diriku
“Masih muda, masih kuliah, tapi apa lagi tapinya Hana. Jangan membuat Raihan tergantung oleh sikap Hana.” Mohonya kepadaku.
“Datanglah kerumah memintaku kepada orangtua.” Ucapku mantap setelah sekilas aku melihat wajah berseri Raihan sebelum aku kembali menundukkan wajahku karena aku takut jantungku jatuh dari tempatnya.***