Sebatas Cerita Luka (2)

Cerpen, Fiksiana0 Dilihat

“Walaikumsalam.” Suara jawaban dari dalam rumah Mak Ucu.

“Abah Emak kemana Mak Ucu.” Ucapku setelah melihat Mak Ucu yang membukakan pintu rumah.

“Bawa bertenang Hana, atur napas.” Tangan Mak ucu meraihku dan bawa aku duduk di ruang tamu rumahnya.

Senyum tua terpancar dari wajah Mak Ucu dan memandangku lekat.

“Abah Hana sehat, memang dua hari lalu sempat dibawa ke rumah sakit. Sakit rindu dengan anaknya.” Terdengar suara kekehan tawa dari mulut Mak Ucu.

Aku menyebarkan tatap tajam memandang Mak Ucu.

“Nak kualat Kau Hana, memandang begitu kepada Mak Ucu.” Hmm suaraku terderga

Seketika itu juga aku menundukan wajah tak berani menatap Mak Ucu.

“Kalian ini anak beranak, tak usah yang jual mahal. Hana, ingat Hana anak tunggal harta Abah Emak tak tumpah kemana – mana.

Jangan keras hati sangat, tak usah di dengar kata Mak Long yang berlebihan itu.

Bakti anak perempuang anak, anak laki – laki sama saja, tak ada cerita setelah menikah anak perempuan tidak dapat berbakti kepada keluarga.

Mak Ucu percaya, Hana anak sholehah yang bisa merawat Abah Emak Hana sampai tua nanti.

Mak Ucu percaya, Hana tak seperti Anak Mak Long yang mengambil harta Mak Long dan meninggalkan Mak Long dalam kesusahaan.

Satu Tandan Kelapa ada yang Komeng’ maksudnya dalam satu keluarga yang mempunyai banyak anak tidak semuanya jadi baik dan akan ada yang akan jadi kurang baik di antara mereka.

Mak Ucu sampai menyebut pepatah lama yang sangat terkenal di budaya melayu.” Airmataku menetes mendengar nasehat Mak Ucu.

Aku Hana Pertiwi binti Rasyid merasa sangat berdosa telah mensia – siakan orang tuaku hanya karena  ucapan Mak Long yang mengatakan anak perempuan hanya menghabiskan harta orangtua jika mendapatkan suami yang tak berguna.

“Ya Allah maafkan Hamba.” Gumamku lirih.

“Abah Emak Hana lagi jalan sore untuk kesehatan, sebentar lagi pulanglah.” Ucapan Mak Ucu membuatku merasa lega.

“Hana pamit pulang dulu Mak Ucu.” Ucapku takzim sambil mencium tangan Mak Ucu.

membuncah hatiku ingin segera bertemu Abah Emak, ingin meminta maaf telah membuat mereka berdua bersedih hati karena keinginanku menunjukka diri mampu berdikari tapi malah menyusahkan sampai membuat Abah jatuh sakit.

Setetes airmataku tumpah ketika melihat Abah Emak berjalan menuju rumah kami.

“Abah Emak.” Teriakku gembira sambil berlari kecil mendekati mereka.

“Abah Emak, Hana rindu.” Ucapku lirih sambil mencium tangan mereka.

“Mana salam anak Abah.” Ucapan Abah membuatku malu

“Assalamualikum Abah Emak.” Ucapku manja serta mengandeng kedua tangan orang tuaku.

Aku berada ditengah mereka sambil bergandengan tangan kami berjalan lambat seakan tidak ingin cepat berlalu sore ini.

Sesekali terdengar kekeh Abah ketika aku bercerita kepada mereka bagaimana selama hidup di Batam dalam kubangan rindu yang mendalam terhadap mereka.***

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Tinggalkan Balasan