“Bukannya ini Ibu gurunya, Nina.” Ucap Mak Bang Aan membuatku terkejut.
Nina adik bungsu Bang Aan memang bersekolah ditempatku mengajaran kepala kepada Mak Bang Aan.
“Bukannya ini Ibu gurunya, Nina.” Ucap Mak Bang Aan membuatku terkejut.
Nina adik bungsu Bang Aan memang bersekolah ditempatku mengajar. Aku mengambil anak perempuan yang mungkin berumur satu setengah atau dua tahun yang disodorkan oleh Mak Bang Aan.
Sungguh menakjubkan dia diam dalam gendonganku, tangan mungilnya meraba seluruh wajahku sambil memamerkan senyum lucu yang membuatku gemas memandangnya.
“Ini Sarah Mak, adik kelas Aan sewaktu SMA. Kami akan mengadakan reuni akbar, tadi pertemuanya.” Jelas Bang Aan kepada Maknya.
“Sudah sana bawa anakmu pulang Mak dah terlambat acara wirid yasinya.” Ucap Mak Bang Aan siap melangkah meninggalkan kami menaiki mobil yang sudah menunggunya sejak tadi.
***
Mobil berhenti di masjid Baitul Rahman sekali lagi, azan azar sudah berkumandang.
“Maukan menemani Abang jalan – jalan sore.” Aku terpaksa mengangguk lemah, ini bukannya meminta izin tapi pemaksaan, sebenarnya aku sudah curiga ketika mobil meninggalkan rumah Mak Bang Aan, kenapa jalur ke coastal area yang menjadi pilihan jalan Bang Aan, tapi karena bermain dengan anaknya Intan aku lupa menanyakannya.
Setelah bergantian sholat azar karena tidak mungki berjamah karena Intan terlalu kecil untuk tinggal sholat.
Mobil berjalan menuju pusat wisata di Kabupatenku coastal arean, hari minggu tentu banyak mengunjung ada yang hanya berjalan mengisi hari ada juga yang berolah raga sore, jalan panjang yang lenggang karena tidak ada transportasi umum melewatinya hanya mobil dan motor pribadi memungkinkan menjadi tempat oleh raga sore, baik yang menaiki sepeda ataupun jalan santai.
Mobil diberhentikan Bang Aan di pinggir jalan yang ada kursi santi yang disedia oleh Pemda. Setelah aku duduk disana, Bang Aan permisi untuk membeli makan kecil dan minuman yang katanya untuk menemani duduk santai kami sore ini.
Sambil menunggu Bang Aan, wajah imut Intan membuatku banyak tersenyum sore ini, kasihan sekali anak sekecil ini harus di tinggal Ibunya, batinku sedih sambil terus mengajaknya bermain. Suara kecil yang entah apa maksudnya membuatku merasa gemas dan berulang kali menciumnya.
“Abang membeli otak – otak, kue karipap dan air tahu hangat untuk Sarah dengan Intan, Abang yang dingin.” Ucapnya menjelaskan sambil meletakkan semua yang dibelinya pada bagian kursi kosong tempat kami duduk, aku hanya tersenyum melihatnnya dan meneruskan bermain bersama Intan anaknya.
“Sarah kenapa belum menikah?” ucapanya membuatku melirik sekilas dan meneruskan bermain bersama Intan kecil.
“Maaf jika Abang menyingung perasaan Sarah, tidak perlu dijawab.” Ucap Bang Aan sambil menyerup air tahu dari pipetnya.
“Belum di temukan jodoh yang tepat sama yang diatas.” Jawabku sekenanya.
“Menikah dengan Abang, mau?” aku tertawa canggung tanpa berani melihat Bang Aan, untung ada anaknya Intan, yang bisa menjadi penutup gugupku saat ini.
“Memang Abang jodoh Sarah?” asal aku mengucapkannya.
“Iya, Abang yakin Abang jodoh Sarah.” Tegas jawabanya sambil mengambil Intan dari gendonganku membuatku terkejut karena tangan kami bersentuhan, ada rasa aneh yang tiba – tiba menyusup direlung hatiku dan memberikan rasa hangat.
Lama kami dalam keadaan diam, rasa canggung membuat kami saling membisu, hanya suara Intan yang mengoceh khas balita yang belum fasih bicara yang terdengar saat ini.
“Mama.” Spontan aku dan Bang Aan melihat kepada Intan yang mengatakan Mama mencoba melepaskan diri dari Bang Aan dan berusaha mengapai diriku.
“Iya sama Mama.” Ucap Bang Aan yang membuatku malu setengah mati, tapi tetap mengambil Intan yang berada dalam gendongan Bang Aan.
“Mau ya jadi Mamanya Intan.” Suara Bang Aan terdengar lagi.
“Jawab Iya Sarah, malam ini juga Abang datang meminang.” Ucapanya langsung membuat jantung berpacu cepat, semu merah langsung menjalar wajahku. Menutup Maluku, aku menyembunyikannya di badan Intan yang berada dalam dekapnku saat ini.
“Memangnya sudah ada persiapan untuk masuk meminang.” Ucapku malu
“Sudah, semuanya sudah dipersiapan, semua tentang Sarah sudah ada di tangan Abang, tak ada kabar tentang sarah yang Abang tidak tahu .” Jawabnya mantap.
Aku menantap lekat netra dengan manik warna coklat pekat, menanyakan kabar cintaku apakah akan berlabuh padanya. Senyumku mengembang seiring anggukan kepala menjawab bersedia menjadi Mama untuk Intan anaknya.***