Lamunanku (2)

Cerpen, Fiksiana, KMAB185 Dilihat

“Sinta, jangan lembur malam ini. Tolong Mak Cik memasak ada tamu yang nak datang.” Sambutan pagiku hari ini, belum juga masuk segelas air untuk mememani pagiku tapi permintaan Mak Cik yang menyakitkan hati.

Akhirnya langkahku menjauh dapur, ku biarkan dahagaku, memilih keluar rumah menuju kantor.

Masih terlalu pagi, tapi hanya kantor satu – satunya tempat yang bisa aku kunjungi. Setelah meletakkan tas, aku membuka computer kantor, mengambil file yang akan aku arsipkan seperti pekerjaanku sebelumnya. Seakan teringat kalau tenggorokan belum diberikan sentuah air, aku berjalan menuju pantry untuk menyeduh secangkir teh.

***

Jam di dinding kantor sudah menunjukkan angka empat, semua karyawan sudah siap – siap untuk pulang. Dengan malas aku mengemas semua barangku serta merapikan mejaku. Mengambil tas, mengikuti semua yang pulang ke rumah dengan bahagia, sementara aku entahlah mungkin ini sore yang aku tidak pernah aku harapkan.

Motor bututku melaju membelah jalan raya, rasanya aku sudah menjalankan motorku dengan kecepatan terendah tapi sepertinya terlalu cepat aku sampai di rumah Pak Cik. Dengan malas aku mengucapkan salam, melangkah masuk menuju ke kamarku.

“Sinta, dah balek? Cepak ke dapur.” Teriakan Mak Cik membuat raga dan jiwaku terasa lelah selelahnya.

***

Ba’da Isya, Pak Cik baru pulang dari masjid menunaikan sholat berjamaahnya. Aku mengurung diri di kamar setelah sehorean menyiapankan makan malam serta beberapa kue mue untuk tamu yang katanya akan datang.

Detik jam dinding terus berjalan, aku melihat jam di nakasku. Sudah pukul Sembilan malam, mana tamu yang kata Mak Cik nak datang.”

Aku memandang perutku yang sudah menjerit minta di isi. Tapi karena pesan Mak Cik untuk menunggu tamu datang baru makan malam, dengan terpaksa aku menahan lapar yang menyiksa batinku.

Prang, aku terkejut mendengar suara benda jatuh di luar kamarku. Tidurku yang tidak nyenyak karena lapar terganggu, mengucek mataku berusaha mengumpulkan nyawaku yang belum terkumpul semua. Aku melangkahkan kaki menuju pintu kamar, ingin mencari apa yang terjadi diluar sana.

“Ini pasti semua gara – gara Abang.” Suara Mak Cik membahana

“Apa yang Abang katakana sama Pak Daud sehingga tak jadi bertandang ke rumah kita.” Berapi suara Mak Cik mencari alasan ketidak hadiran Pak Duad ke rumah malam ini.

“Sudahlah, kalau orangnya tak jadi datang biarkan saja.” Suara Pak Cik seperti tidak mempedulikan kemarahan Mak Cik.

“Penat masak Bang, belum lagi habis duit untuk menyiapkan semua lauk dan kue untuk mala mini.” Marah Mak Cik.

“Tak ada yang menyuruh awak memasak berlebihan.” Masih dengan intonasi cuek Pak Cik menjawab perkataan Mak Cik.

“Tangkapan besar Bang, tak mungkin kita menyajikan makan sederhana.” Masih dengan emosi Mak Cik berkata.

“Saya lapar, awak tak lapar. Tak mungkin Pak Daud datang bertandang dah malam begini. Kalau Awak tak nak makan Saya makan sorang.” Ucap Pak Cik berlalu menuju meja makan.

“Sinta, mari kita makan.” Ucap Pak Cik ketika melihat aku terpaku di depan pintu kamar, sebelum Pak Cik menuju dapur ke meja makan.

Aku hanya menganggukkan kepala dan melangkah menuju arah kemana Pak Cik melangkah.(

***

 

Alhamdulillah, akhirnya malam ini aku bisa tidur nyenyak, tapi entah besok dan besoknya lagi. aku menarik selimut untuk mengusir rasa dingin yang mulai merambat dengan semakin malam. Jam dinding menujukkan angka sebelas, sebelum mataku berangsur mengecil karena kantuk yang sudah tak bisa aku tahan.

Samar azan subuh berkumandang, tidak biasanya mataku masih berat untuk terbuka, tapi aku harus bangun sebelum terompet pagi mulut Mak Cik yang akan memekakkan telingaku.

Setelah menyerahkan pagiku kepada-Nya, memohon kebaikan hari ini kepadanya aku melangkah menuju dapur. Rutinitas pagi sebelum berangkat ke kantor, pagi ini dahagaku tidak sampai menunggu ke kantor untuk mencicipi teh hangat di pagi yang dingin ini.

Setelah selesai tugas di dapur, aku mempersiapkan diri setelah pamit kepada Pak Cik dan Mak Cik.

***

Siang ini, suara ribut mengema setelah kami semua mendapatkan sebuah surat dari bagian humas. Dengan gemetar tanganku membuka surat yang ada di tanganku, sambil merapal doa aku berharap keberuntungan berpihak kepadaku, semoga.

Netraku membulat, seakan tidak percaya. Tulisan itu aku ulang beberapa kali, takut aku salah membaca. Setelah yakin dengan yang aku baca, berulang kali aku mengucapkan syukur, spotan aku duduk dan bersujud di hadapan teman kantor, semua memandang heran kepadaku.

“Sinta ada apa?” salah satu temanku bertanya

“Aku dipromosikan naik jabatan.” Ucapku cepat

Semua teman kantor memandangku, akhirnya satu persatu dari mereka menyelamatiku atas promosiku.

***

Langkah tergesaku menuju rumah, niat hati ingin membahagiakan keluarga dengan promosi yang aku dapat, tapi semua lamunku hancur. Ketika kakiku menginjak rumah, di ruang tamu ada rombongan Pak Daud yang sedang bersembang dengan Mak Cik, aku melihat mencari keberadaan Pak Cik tapi tak ada.

“Nah yang ditunggu sudah datang. Sinta sini, duduk kat sini.” Suara Mak Cik mengema, tangannya menyuruhku duduk di sampingnya.

Dengan langkah berat aku melangkah menuju ke arah yang di minta Mak Cik, Aku duduk dengan perasaan gundah. Ya Allah, baru saja aku melamunkan wajah bahagia Pak Cik, Mak Cik dan Mira sepupuku. Dan tak ada lagi hinaan Mak Cik yang menganggap aku menyusahkan hidupnya. Aku diam seribu bahasa.

“Sinta, duduk sini.” Ucapan Mak Cik bagaikan petir di siang bolong.

Dengan langkah gontai aku mendekati Mak CIk, meletakkan bokongku ke kursi panas, bagaikan bermain game saja ada istilah kursi panas, tentu panas karena sudah banyak lamunan akan kehancuran hidupku ke depan.

Senyum Pak Daud membuatku merasa tercekik di leher oleh tangan yang tidak Nampak, semakin lebar senyumnya semakin aku merasakan sesak napas yang kuat. Aku berusaha untuk tetap tenang, tanganku sudah berkeringat tentu saja dahiku juga berkeringat. Tatapan mengitimasi dari Pak Daud yang melihat kepadaku seakan ingin menelanku hidup – hidup, membuatku tak kuasa untuk melihat kepadanya.

Aku merasakan remasan di tanganku, aku memandang sekilas ke arah Mak Cik, semacam pemaksaan akan hasrat oleh Mak   Cik lewat genggaman tangannya kepada tanganku.(Bersambung)

Tinggalkan Balasan