Malam minggu menjadi malam keluarga, abang serta adikku yang sudah menikah mau kerumah orang tua kami, sebagai anak yang belum menikah aku menjadi penghuni tetap rumah ini. Sejak asar berlalu adik bungsuku sudah datang bersama suami dan kedua ponaanku, kami sudah menyiapkan semua menu untuk acara malam minggu keluarga. Aku sudah membeli banyak sosis, bakso, nugget serta jagung yang akan kami bakar.
Menjelang magrib baru abangku berserta keluarganya datang, rumah semakin meriah dengan kedatangan mereka tradisi sebelum kedua orangtuaku meninggalkan masih kami pertahankan setiap sebulan sekali kami akan piknik di rumah pusaka aku menyebutnya.
Tengah malam sudah tiba, semua ahli keluarga beristirahat di kamar, termasuk diriku yang sekarang lagi terbaring memandang langit kamar. Teringat kembali percakapan tadi pagi bersama Aldi dan Mira. Aku menimbang hati, apakah aku harus ikut jogging bersama atau tidak, akhirnya aku lelah dengan pikiranku sendiri membuatku menjemput mimpi.
***
Jujur tidurku tidak nyenyak, belum juga azan subuh berkumandang aku terbangun, tapi tidak ada semangat untuk memulai aktivitas seperti menyambut hari minggu biasan. Setelah sholat aku membaringkan lagi tubuhku, suara celoteh keponaanku sudah ramai di ruang tengah.
Tok tok tok, bunyi pintu kamarku di ketuk dari luar.
“Bunda ada tamu.” Teriak Asyah anak abangku lantang
Aku menyambar jilbab instanku, melangkah malas menuju pintu, membukanya
“Siapa yang mencari Bunda?” tanyaku kepada ponaanku, semua ponaanku memanggil aku dengan bunda.
“belum pernah ke sini, jadi kita jogging Bunda.” Wajah lucunya menjadi obat sepiku, Asyah selalu aku pinjam buat menemani malam minggu.
“Semua sudah siap, nunggu Bunda saja. Bunda sakit ya, kenapa dari tadi tidak keluar kamar.” Oceh Asyah lagi.
“Bunda ngatuk, kurang tidur.” Membalas oceh Asyah dan berjalan mengandeng tangannya menuju ruang tamu.
Aku terpana melihat tamu yang datang, aku melihat ke kiri dan ke kanan, tidak ada Mira yang ada hanya dua bocah lucu yang memegang kedua tangan Aldi, dan memandangku sambil meleparkan senyum yang mirip senyum Aldi.
“Mira, mana?” tanyaku mengurangi gugupku
“Katanya udah chat Alya, tidak bisa ikut.” Ucap Aldi santai.
“Bunda ada tamu, jadi kita tidak jadi jogging Bunda.” Ucap Asya menyadari dari tadi aku belum menyilakan Aldi dan anak – anakku untuk masuk.
“Kita jadi jogging cantik, cantik namanya siapa? Sini kenalan sama anak Om.” Ucap Aldi sambil tangannya bergerak meminta Asyah datang ke arahnya.
Asyah berjalan menuju tempat Aldi berdiri, dan seperti biasa Asyah mengenal dirinya dengan berani seperti yang aku ajarkan walaupun umurnya baru empat tahun tapi sangat berani.
Anak Aldi yang kecil sepertinya seumuran dengan ponaanku, hanya yang besar sepertinya sudah kelas enam SD yang dari tadi melihatku tanpa mengedipkan matanya.
“Al, kita jadi joggingkan?” aku tersentak mendengar suara Aldi.
Dheman dari Adli membuyarkan tatapanku dari anak tertua Aldi, semua ahli keluarga sudah standby untuk jogging.
“Ada tamu, kami mau jogging, kalau mau kita pergi bersama – sama.” Ucap Abangku, seperti di komando semua menuju luar dan memasuki mobil.
“Alya ganti baju dulu.” Ucapku dan berlalu menuju kamar meninggalkan Aldi yang bersama anaknya yang masih menungguku di ruang tamu.
***
Aku duduk di sebelah kursi supir, setelah berdebat sebentar akhirnya aku harus mengalah mengikuti mobil Aldi. Niatnya aku mau mengendarai mobil sendiri karena dengan teganya abang serta adikku meninggalkan aku.
Kami menuju coastal area tempat masyarakat kami untuk melepas lelah, jika pagi biasanya di gunakan untuk berolah raga, sementara sore jadi tempat orang berjualan bermacam aneka makanan untuk menjamu selera. Ada yang membuat tenda ada pula yang mengubah pick upnya menjadi tempat jualan, sepintas seperti berjalan ke negeri tetangga Malaysia, mereka menyebutnya penjaja makanan tepi jalan.
Sudah sejak dari tadi aku mengchat Abang dan Adikku menanyakan lokasi mereka tapi tidak ada jawaban sampai teleponkupun tidak di jawab mereka. Akhirnya aku pasrah, Aldi memakirkan mobilnya pada pinggir jalan di hotel 21. Dan kami mulai berjogging sementara anak yang tua Aldi menyewa sepeda yang tersedia di costal area.
Sesekali Aldi mengingatkan anaknya untuk berhati – hati, sementara yang kecil entah sejak kapan tangan mungilnya memegang tanganku sambil jalan mengiringi kakaknya yang bermain sepeda di depan kami.
“Bunda gendong, penat.” Ocehan anak Aldi membuatku terpana, tanpa berfikir aku mengangkat tubuhnya untukku gendong.
“Biar aku saja yang gendong.” Ucap Aldi sambil mengulurkan tangannya
“Syah mau sama Bunda saja.” Aku tersenyum mendengar permintaan Syahnaz anak Aldi.
“Tak Apa.” ucapku cepat.
Sudah lumayan kami berjalan, tapi hanya celoteh Syahnaz anak Aldi yang terdengar, biasanya aku menikmati joggingku dengan bercanda dengan semua ponaanku. Tapi pagi ini, hanya kesunyian yang mengiringi joggingku.
“Alya, mengapa masih betah sendiri?” aku menghentikan langkahku, memandang sebentar ke arah Aldi, kemudian aku melangkah lagi.
“Alya.” Ucap Aldi lagi
“Bukan aku yang bisa menjawabnya, aku pasti Allah tahu apa yang terbaik untukku.” Ujarku sambil sesekali mengoda Syahanz anak Aldi yang seperti koala bergayut di badanku. Sebentar – bentar Syahnaz memegang mukaku dan menciumnya, ada perasaan hangat di sudut hatiku. Tapi aku pastikan ini hanya sebatas angan saja.
“Al.” aku menoleh ke arah Aldi
“Ya.” Jawabku singkat karena anak Aldi mencium bibirku
Tiba – tiba kami mendengar suara teriakan serta di susul tangis dari anak Aldi yang bermain sepeda. Serempak netra kami menuju sumber suara, karena tidak hati – hati si Kakak anak Aldi terjatuh, bergegas kami menghamipirinya. Aku melihat bagaimana Aldi dengan telaten memujuk anaknya agar tidak menangis dan mau naik sepeda kembali. Tapi dengan kekeh si Kakak tidak mau bermain sepeda lagi. akhirnya kami mencari kursi yang tersedia di sepanjang coastal area. Aku meletakan si Adek untuk duduk dibangku, seperti Kakaknya si Adek kekeh tidak mau di letakkan malah makin kencang memeluk diriku.
“Bunda mau tinggal bersama Kakak, Adik dan Ayahkan?” celoteh Syahnaz kecil membuatku tersenyum.
“Iya bunda tinggal bersama kami saja, boleh ya Ayah.” Ucapan si besar Syaqilla membuatku tidak lagi bisa tersenyum, jelas aku terkejut mendengar ucapan si Kakak.
Kedua anak Aldi kompak memelukku, tatapan Aldi sungguh tidak bisa aku jabarkan aku hanya bisa membiarkan mereka memelukku, ada rasa haru, mungkinkah mereka rindu dengan Ibu mereka, batinku.
Keterpakuan dalam sunyi akhirnya dipecahkan dengan tawaran Aldi kepada kami untuk pergi sarapan pagi. seketika suasana canggung menjadi riuh karena anak – anak Aldi menyebutkan tempat sarapan yang mereka inginku, senyumku terbit melihat tingkah mereka yang saling mengajukan tempat kepada Ayahnya.(bersambung)
***