* Tanpa sebarkan ‘gula’ Ibu Kota baru itu pun kelak akan kumuh karena arus urbanisasi ….
Tahun 1999 Malaysia memindahkan pusat pemerintahan dari hiruk-pikuk Ki-eL (baca: Kuala Lumpur) ke Putrajaya tanpa mengganti ibu kota negara. Ibu Kota Malaysia tetap Kuala Lumpur dan nama bandara negara kerajaan konstitusional itu pun tetap memakai nama ibu kota negara itu yaitu Kuala Lumpur International Airport (KLIA yang dieja oleh warga Malaysia dengan sebutan Ki-eL-aI-eA).
Maka, amatlah naif larangan menyebut Bandara Internasional Soekarno-Hatta sebagai bandara Jakarta dan semua maskapai diwajibkan menyebut tempat bandara tsb. di Banten karena secara administratif terletak di Banten. Lagi-lagi penyebutan yang tidak mengglobal secara geografis karena Jakarta akan lebih mudah dikenal daripada Banten.
Celakanya, yang berkembang di Indonesia adalah memindahkan ibu kota negara ke luar Pulau Jawa. Ini sama saja dengan memindahkan ‘gula’ ke ibu kota baru tsb. yang kelak akan terus diserbu ‘semut’ sehingga kondisinya kelak sama saja dengan Jakarta. Kumuh.
Maka, langkah awal adalah menyebarkan ‘gula’ ke semua wilayah Nusantara agar arus urbanisasi tidak lagi menyerbu pusat pemerintahan yang selalu jadi pusat ‘gula’ (maaf, bukan ‘gula-gula’ walaupun bisa terjadi juga).
Dengan kondisi seperti sekarang karena kelalaian pemerintahan sejak kemerdekaan yang memusatkan kegiatan pemerintahan, perdagangan, ekonomi, industri, hiburan, dll. di Jakarta otomatis jadi sasaran pencari nafkah dari seluruh pelosok negeri.
- Memisahkan Kegiatan Pemerintahan dan Perekonomian
Dengan tingkat kepemilikan lahan 0.8 hektar tentulah tidak mungkin warga bertahan di desa dengan mengandalkan pekerjaan sebagai petani, apalagi sekarang sudah ada traktor (tangan) yang menggantikan tenaga manusia mengolah lahan sawah.
Lagi pula tidak semua areal persawahan di Tanah Air memakai irigasi teknis sehingga tidak bisa panen dua kali setahun secara teratur. Ada yang mengandalkan musim dan memakai teknik angkat air dengan kincir bambu dari aliran sungai. Harg komoditas pertanian pun tidak seimbang dengan harga kebutuhan pokok lainnya sehingga nilai tukar petani sangat rendah.
Peredaran uang yang terpusat di ibu kota dan kota-kota besar lain juga jadi daya tarik karena di daerah kegiatan terkait dengan ekonomi sangat terbatas. Dengan kondisi pemilikan lahan yang kecil dan nilai tukar komoditas pertanian yang rendah warga pedesaan memilih mengadu nasib di kota-kota besar, terutama Jakarta dan ibu kota provinsi.
Memang, banyak negara yang memindahkan ibu kota dengan berbagai alasan. Sebut saja Brasil yang memindahkan ibu kota dari Rio de Janeiro ke Brasilia. Sedangkan Afrika Selatan punya tiga ‘ibu kota’ yaitu Pretoria sebagai ibu kota pemerintahan (administrasi negara), Bloemfontein sebagai kota tempat pengadilan, dan Cape Town sebagai ibukota legislatif. Ada beberapa negara lain yang juga memindahkan ibu kotanya.
Sedangkan Amerika Serikat memisahkan kegiatan pemerintahan (Washington DC) dengan kegiatan ekonomi (New York). Hal yang sama terjadi di Australia dengan ibu kota (Sydney), sedangkan kegiatan ekonomi di Melbourne.
Jika kelak ibu kota dipindahkan dari Jakarta ke luar Pulau Jawa, maka tetap saja terjadi pergerakan warga ke ibu kota baru karena berbagai kualifikasi pekerjaan formal dan informal dibutuhkan, mulai dari pembantu rumah tangga (PRT), tukang kebun, cleaning service, OB, tukang sol sepatu, pelayan restoran dan tempat hiburan, dst. Pergerakan besar akan terjadi dari Pulau Jawa karena semua kualifikasi pekerjaan ada di Palau Jawa.
Bahkan, untuk beberapa jenis pekerjaan informal tidak tersedia dengan baik di luar Pulau Jawa sehingga harus ‘diimpor’ dari Pulau Jawa. Kondisi sosial di luar Pulau Jawa tidak memungkinkan warga di sana bekerja di beberapa jenis pekerjaan informal, seperti PRT, pelayan di tempat hiburan, dll.
Ibu kota yang baru itu kelak juga akan sumpek karena ada puluhan kementerian, lembaga, instansi dan institusi. Puluhan ribu pegawai dan karyawan instansi dan institusi membutuhkan tenaga kerja informal sehingga ada arus pendatang yang besar.
Seperti dilaporkan kompas.com (29/4-2019) ada 870.00 orang yang akan ‘migrasi’ ke ibu kota baru itu yaitu mereka aparatus sipil negara (ASN) dari kementerian, lembaga, legislatif, yudikatif, TNI dan Polri. Tentu saja angka ini belum termasuk anggota kelurga dan karyawan swasta dari perusahan-perusahaan pendukung kementerian dan lembaga.
Skenario Bappenas menyebutkan kota itu akan berpenduduk 1,5 juta jiwa, tapi pada kenyataannya kelak akan membengkak karena kedatangan warga dari sektor nonformal yang juga dibutuhkan. Dengan penduduk lebih dari 1 juta jiwa saja studi Bank Dunia menyebutkan kota tsb. sudah harus membangun angkutan cepat massal (MRT-mass rapid transit), seperti kereta api bahwa tanah, melayang atau kereta ringan (LRT).
2. Membangun Industri di Luar Sumber Daya
Kalau saja kegiatan pemerintahan disebar ke beberapa pulau tentulah Jakarta tidak sesumpek seperti sekarang. Presiden berkantor di Istana Bogor, wakil presiden di Istana Cipanas sedangkan kementerian disebar ke pulau-pulau di luar Pulau Jawa.
Bisa saja industri pun kelak akan menyerbu ibu kota baru untuk memenuhi permintaan karena kalau pabriknya di Pulau Jawa tentulah memakan biaya dan memberlukan waktu pula untuk membawa barang-barang ke ibu kota baru.
Daripada menghabiskan dana yang sangat besar hanya untuk memindahkan ibu kota yang kelak juga akan mengalami masalah baru, mengapa tidak dilakukan penyebaran ‘gula’ al. memindahkan kementerian ke pulau yang terkait.
Menteri Perencanaan dan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas, Bambang PS Brodjonegoro menyebut, perkiraan biaya untuk membangun ibu kota baru seluas 40.000 hektar mencapai Rp 466 triliun atau setara dengan 33 miliar dolar AS (kompas.com, 29/4-2019).
Jika disimak dari aspek economic intelligence (EI) banyak kegiatan industri di Pulau Jawa yang tidak pas karena bahan baku didatangkan dari luar Pulau Jawa. Seperti pabrik baja Krakatau Steel, misalnya, apakah tepat dibangun di Cilegon, Banten?
Nah, mengapa industri-industri tsb. tidak dibangun di sumber bahan baku? Inilah salah satu kebijakan yang salah selama ini karena yang terjadi adalah ‘Jawa sentris’.
Memang, pemerintahan Presiden Jokowi dan Wapres Jusuf Kalla menjalankan program ‘Indonesia sentris’, tapi baru pada tataran infrastruktur karena selama sejarah negeri ini sektor ini diabaikan sehingga menghambat investasi dan membelenggu perekonomian nasional (dari berbagai sumber). (Kompasiana, 30 April 2019). *