Sebagian orang menampik santet, tapi dari pengalaman menunjukkan justru banyak orang yang menampik santet justru mempercayai perdukunan.
“Papa orang musyrik karena percaya sama santet.” Ini dikatakan oleh anak saya, laki-laki, waktu itu berumur 20-an tahun, yang sedang tergeletak di sebuah rumah sakit di Jakarta Timur yang dirawat karena indikasi penyakit tifus (2007).
Dia terpaksa dirawat di rumah sakit karena kondisinya sangat buruk. Mendengar kabar itu saya memilih lebih dahulu ke Banten. “Ada kiriman di perutnya, Pak,” kata Pak Ajie di Cilegon, Banten, yang mengobati saya.
Buto Ijo
Benda yang disebut Pak Ajie ditarik dari Banten. Setelah benda itu diambil saya melihat dia di rumah sakit. Kondisinya sudah membaik. Itu hari ketiga dia dirawat. Bahkan, sudah minta pulang.
Yang saya lakukan sama sekali tidak saya beritahu dia. Bagi saya yang penting anak itu terlepas dari cengkeraman santet.
Tapi, karena anak itu sudah menjalani ’cuci otak’ oleh ibu dan keluarga ibunya sejak saya tinggalkan, maka pendiriannya pun teguh bahwa mempercayai santet adalah musyrik [KBBI: 1 orang yang menyekutukan (menyerikatkan Allah); 2 orang yang memuja berhala].
Saya sama sekali tidak pernah berurusan dengan santet dan dukun. Maka, yang musyrik adalah orang yang membayar dukun untuk mengirim santet. Celakanya, anak itu sudah di bawah genggaman keluarga ibunya sehingga tidak lagi memlihat persoalan dengan jernih.
Dia sendiri sudah dijual sebagai tumbal untuk keperluan pesugihan (mencari kekayaan dengan bantuan makhluk halus tapi dengan imbalan tumbal atau wadal yaitu kurban untuk makhluk halus berupa nyawa anak, istri, suami atau kerabat). Yang memelihara pesugihan itu butuh 17 tumbal untuk sajen bagi buto ijo (digambarkan sebagai mahluk seperti jin yang berwarna hijau, bertubuh besar, bertaring tajam, mata berapi, emas di mulut, dan ada intan alat kelamin).
Menurut Pak Ajie, yang memelihara pesugihan itu sudah ‘menyerahkan’ 8 tumbal. Kerabat yang memelihara pesugihan itu sudah menyerahkan delapan wadal, mulai dari adik, ipar, anak, menantu sampai sopir. Untuk nomor 9 mereka menjadikan anak saya, perempuan. Sedangkan nomor 10 saya dan nomor 11 anak saya yang laki-laki tadi.
Berkat doa dan usaha orang-orang yang mengobati saya selama ini, di Banten, Tasikmalaya (Jabar) dan Banjar (Jabar), Alhamdulillah, putri saya lolos dari urutan tumbal. “Insya Allah, putri Bapak dilindingi Allah dan lepas dari cengkreman buto ijo,” kata Bu Haji di Pandeglang, Banten, yang juga mengobat saya.
Psikiater
Celakanya, urutan anak saya yang sakit tadi, yang semula nomor 11 ditarik ke nomor sembilan. Karena sudah dua tahun, biasanya tumbal ‘diserahkan’ pada bulan maulid, tumbal tidak ada, maka yang memelihara pesugihan pun kalang-kabut. Maka, nomor urut pun ditarik ke putra saya yang sakit tadi.
Ketika saya tinggalkan putra saya itu kuliah, tapi setelah lima tahun ternyata anak itu justru tidak kuliah lagi. Tidak mau mandi. Rambutnya gimbal. Tiap hari keluar rumah. Tidak jelas tujuannya. “Dia jalan dipanggil ke luar rumah agar celaka,” kata Pak Dadang di Tasikmalaya mengingatkan saya agar menjaga anak itu.
Melihat kondisi anak itu saya berusaha untuk membantunya, tapi ibunya justru menolak dan mengatakan tidak ada kaitannya (kondisi anak tsb.) dengan mistik. Setelah saya bawa berobat ke Tasikmalaya dan Banten, anak itu pun mulai ‘sadar’. Dia pangkas rambutnya dan sudah mau mandi. Tapi, ibunya tetap menampik itu usaha saya.
Soalnya, anak itu dibawa ke seorang psikiater. Tiap bulan berobat. Sejak berobat anak itu hanya bisa tidur. Sehari-hari kehidupannya adalah: tempat tidur-dapur-nonton televisi-kamar mandi. Itu saja terus berulang-ulang sepanjang hari. Waktu tidurnya hampir 18 jam sehari. Tidak jelas apakah itu pengaruh dari obat.
Suatu hari saya diminta untuk menemani dia berobat (2012). Semula saya menolak karena berobat ke psikiater tidak ada artinya. Saya sudah mengalami hal yang sama selama belasan tahun berobat dari satu dokter ke dokter lain tapi hasilnya nol besar. Bahkan, nyeri di leher saya pernah diperiksa dengan memakai radio isotop kedokteran nuklir di sebuah rumah sakit instansi di Jakarta Pusat. Namun, dokter tetap mengatakan tidak ada masalah.
Alhamdulillah, setelah dua jarum ditarik oleh Pak Ajie dari urat leher sampai sekarang leher saya tidak pernah lagi nyeri.
Akhirnya, saya temani anak itu ke seorang psikiater di Jakarta Timur. Ketika nama anak itu dipanggil saya minta dia masuk sendirinya, tapi dia memaksa agar saya ikut masuk. Setelah basa-basi, psikiater itu memeriksa dan menyuntik anak saya. ”Itu untuk mengganti cairan otaknya,” kata psikiater tadi.
Astaga! Sejak saya berobat ke Bu Haji (mulai tahun 2001), Bu Haji selalu mengingatkan kalau bersin-bersin dan keluar ingus agar saya dan anak-anak segera ke Bu Haji karena itu bukan ingus. Lalu apa? ”Itu cairan otak, Pak,” kata Bu Haji (2001). Itu artinya informasi soal cairan otak saya dengar dari Bu Haji 11 tahun sebelum saya bertemu dengan psikiater itu.
Perilaku Agamis
Saya mencoba membicarakan hal itu dengan psikiater, tapi sambil mendongakkan kepala dia buang muka. ”Silakan.” Itulah kata-kata yang diucapkan psikiater tadi sambil menunjuk pintu keluar ketika saya mulai menjelaskan perihal penjelasan Bu Haji.
Dalam RKUHP sendiri tidak ada pasal yang memihak ke korban santet, bahkan pasal yang ada justru melindungi dukun santet.
[Baca juga: RKUHP Abaikan Penderitaan Korban Santet]
Padahal, kalau saja psikiater itu mau mendengarkan keluhan saya tentu ada kaitannya. Artinya, sebagai psikiater dia menjalankan terapi medis, tapi penyebab cairan otak itu berkurang bisa ditangani Bu Haji.
Sayang, niat baik rupanya ditanggapi dengan hati yang tidak mulia.
Soalnya, sampai sekarang anak itu terus bersin dan mengeluarkan ingus. Saya perhatikan kepalanya mulai meruncing, tapi saya tidak bisa berbuat banyak karena anak itu menampik kalau saya ajak berobat ke Banten.
Dia kembali kuliah, tapi tidak ada kemajuan. Menurut dosen anak itu tidak bisa menangkap pelajaran. Saya pada posisi yang sulit karena tidak ada yang mendukung saya untuk mengobati anak itu. Banyak orang, ibu anak itu, saudara, guru ngajinya, tetangga, dll. justru menuduh saya yang menyantet.
Itulah yang terjadi terhadap korban santet. Selalu disalahkan dan dikatakan musyrik. Sebaliknya, yang membayar dukun lolos dari caci-maki, al. karena berlindung di balik ‘perilaku’ yang agamis dan bertutur-kata yang sopan-santun (tagar.id, 1 Oktober 2019). *