Banyak orang yang menampik santet, tapi kenyataannya banyak pula korban santet yang menderita sepanjang hidupnya. Selain itu tidak sedikit pula yang sesumbar menampik perdukunan, tapi jadi “pasien” dukun untuk kekayaan (pesugihan), karir, jabatan, kecantikan, untuk merayu perempuan, untuk menipu, dan seterusnya.
Ketika ada yang bertanya tentang penyakit yang saya derita dengan tulus saya ceritakan bahwa saya kena santet. Tapi, yang saya terima hanyalah cacian, ejekan, dan lain-lain.
”Jangan percaya. Itu hanya sihir.”
”Perbanyak baca Ayat Kursi.”
”Jangan tidur di ranjang.”
Dan sederet ’nasehat’, tapi dalam bentuk ejekan.
Kalau benar yang kena santet karena tidak baca ayat kursi, tentulah semua orang yang tidak baca ayat kursi sudah kena santet. Faktanya, tidak semua orang yang tidak pernah baca ayat kursi kena santet.
Lalu, disebut kena santet karena tidur di ranjang, tentulah semua orang yang tidur di ranjang sudah kena santet. Faktanya, juga tidak.
Lagi pula saya tidak mengetahui akan disantet. Yang terjadi kemudian adalah rasa sakit pada bagian-bagian badan yang sama sekali tidak bisa didiagnosis secara medis.
”Ah, itu bohong.” Inilah jawaban anak seorang teman ketika mengetahui ada benda-benda yang diambil dari tubuh saya.
Menurut anak teman tadi ada seorang ustad di Sukabumi, Jabar, mengatakan bahwa ’orang pintar’ yang mengambil benda itu hanya sihir. Ketika dikatakan sakit di kepala, lalu, masih menurut anak teman tadi, sesuai dengan ajaran ustadnya, ’orang pintar’ menempatkan benda di kepala lalu dia ambil.
Ada seorang perempuan yang menderita ’tumor’ di sekitar vaginanya. Menurut dokter itu kista.
Tapi, tumor itu membesar dalam beberapa bulan sampai sebesar telur ayam. ‘Tumor’ itu kemudian pecah setelah ditangani ‘orang pintar’.
“Aduh, kalau dioperasi dokter bisa celaka,” kata ‘orang pintar’ itu. Soalnya, ‘tumor’ itu benda kiriman. Kalau dibedah bisa menganga pada bagian yang dibedah.
Dengan kondisi di atas, apakah ustad anak teman tadi masih bisa mengatakan ‘orang pintar’ itu hanya melakukan tindakan sihir?
Faktanya, benda-benda yang diambil dari badan saya, seperti beling, uang logam, paku, kemenyan, lidi ijuk, rambut, benang, serangga, dll. pernah saya simpan di kulkas berhari-hari tetap tidak berubah.
Soalnya, kalau sihir benda yang dihasilkan hanya bertahan 24 jam. Setelah itu benda tsb. akan kembali ke benda aslinya. Misalnya, sapu tangan jadi merpati. Dalam waktu 24 jam merpati itu akan kembali ke wujud semula yaitu sapu tangan.
Ada lagi rekan yang mengatakan bahwa dia bekerja ke berbagai pelosok, tapi tidak pernah kena santet. Rekan itu rupanya memakai jalan pikirannya sendiri karena orang yang disantet itu karena terkait masalah dengan yang menyantet. Kalau tidak ada masalah tentulah tidak akan memakai jasa dukun untuk menyantet.
Dari sekian banyak saudara, famili, kerabat, teman, sahabat, dll. yang saya kabari tentang santet yang saya alami hanya ada satu dua yang tanggapannya melegakan hati. RKUHP sendiri memuat pasal santet tapi mengabaikan derita korban santet.
Seorang rekan yang pernah bekerja sebagai wartawan di sebuah koran nasional membalas SMS saya: ”Sabar, Bang. Saya berdoa agar orang yang menyantet itu ditunjuki Tuhan agar berhenti menyantet Abang.”
Inilah tanggapan yang bikin adem. Kalau saja semua orang yang saya kabari tentang derita saya menjadi korban santet mendoakan agar orang-orang yang membayar dukun untuk menyantet saya sadar tentulah beban saya akan berkurang.
Tapi, yang saya alami adalah ejekan, hinaan, cacian, dst. Semua mengesankan saya kena santet karena tidak taat beragama.
Kalau memang karena tidak taat beragama, tentulah semua orang yang tidak taat dan tidak beragama sudah kena santet. Faktanya, tidak.
Celakanya, orang-orang yang memberi nasihat ketika ditanya: Apakah Anda pernah kena santet?
Ternyata mereka tidak pernah kena santet.
Lalu, dari mana mereka mengetahui cara-cara menghindar atau melindungi diri agar tidak kena santet?
Itulah yang membingungkan.
Semula saya selalu terlibat debat dengan orang-orang yang mencaci dan mengejek dengan memberikan premis terkait dengan santet. Tapi, belakangan ada seorang teman, wartawan, yang mengenal saya secara dekat mengatakan: ”Abang tidak perlu memberikan premis menghadapi orang-orang yang mengejek agar mereka percaya Abang kena santet.”
Semoga Tuhan membuka hati orang-orang mencaci, mengejek, dll. agar tidak lancang memakai lidahnya merendahkan martabat orang-orang yang kena santet. Amin (tagar.id, 3 Oktober 2019). *