“Orang yang kena santet itu ’kan yang lagi galau. Tidak beragama.” Itu kesimpulan yang saya tangkap dari pernyataan seorang aktor senior, pada acara ILC di Sta TV ”TVOne” tentang tanggapannya terhadap pasal santet di RUU KUHP (2013).
Kalau saja aktor senior tadi merasakan penderitaan yang dialami orang-orang yang kena santet, apakah dia masih bisa mengatakan hal itu dengan kesombongannya? Itu wujud kecongkakan, ketinggian hati, kesombongan, dan kepongahan aktor itu.
Ketika ada yang bertanya tentang penyakit yang saya derita dengan tulus saya ceritakan, tapi yang saya terima hanyalah cacian, ejekan, dll.
”Jangan percaya. Itu hanya sihir.”
”Perbanyak baca Ayat Kursi.”
”Jangan tidur di ranjang.”
Dan sederet ’nasehat’, tapi dalam bentuk ejekan. Lagi-lagi tidak realistis!
Kalau benar yang kena santet karena tidak baca ayat kursi, tentulah semua orang yang tidak baca ayat kursi, terutama yang bukan beragama Islam, sudah kena santet, dong. Faktanya, tidak semua orang yang tidak pernah baca ayat kursi kena santet.
Kalau kena santet karena tidur di ranjang, tentulah semua orang yang tidur di ranjang sudah kena santet. Faktanya, tidak.
Lagi pula saya tidak mengetahui akan disantet sehingga tidak pernah terpikir untuk mencari tangkal. Sebagai umat yang saya menjalankan perintah agama saya.
”Ah, itu bohong.” Inilah jawaban anak seorang teman ketika mengetahui ada benda-benda yang diambil dari tubuh saya.
Menurut anak teman tadi ada seorang ustad di Sukabumi yang mengatakan bahwa ’orang pintar’ yang mengambil benda itu hanya sebagai sihir. Ketika dikatakan sakit di kepala, lalu, masih menurut anak teman tadi, sesuai dengan ajaran ustadnya, ’orang pintar’ menempatkan benda di kepala lalu dia ambil.
Ada seorang perempuan yang menderita ’tumor’ di sekitar vaginanya. Menurut dokter itu kista. Tapi, tumor itu membesar dalam beberapa bulan sampai sebesar telur ayam. ‘Tumor’ itu kemudian pecah setelah ditangani ‘orang pintar’. “Aduh, kalau dioperasi dokter bisa celaka,” kata ‘orang pintar tadi. Soalnya, ‘tumor’ itu benda kiriman. Kalau dibedah maka bisa menganga pada bagian yang dibedah.
Dengan kondisi di atas, apakah ustad anak teman tadi masih bisa mengatakan ‘orang pintar’ itu hanya melakukan tindakan sihir?
Faktanya, benda-benda yang diambil dari badan saya, seperti beling, uang logam, paku, kemenyan, lidi ijuk, rambut, benang, serangga, dll. pernah saya simpan di kulkas berhari-hari tetap tidak berubah.
Soalnya, kalau sihir benda yang dihasilkan hanya bertahan 24 jam. Setelah itu benda itu akan kembali ke benda aslinya. Misalnya, sapu tangan jadi merpati. Dalam waktu 24 jam merpati itu akan kembali ke wujud semula yaitu sapu tangan.
Ada lagi rekan yang mengatakan bahwa dia bekerja ke berbagai pelosok, tapi tidak pernah kena santet.
Rekan itu rupanya memakai jalan pikirannya sendiri karena orang yang disantet itu karena terkait masalah dengan yang menyantet. Kalau ada masalah dan yang jadi lawan berpikir jernih tentulah tidak akan memakai jasa dukun untuk menyantet karena bisa diselesaikan secara adat dan hukum.
Dari sekian banyak saudara, famili, kerabat, teman, sahabat, dll. yang saya kabari tentang santet yang saya alami hanya ada satu dua yang tanggapannya melegakan hati.
Seorang rekan yang pernah bekerja sebagai wartawan di sebuah koran nasional membalas SMS saya: ”Sabar, Bang. Saya berdoa agar orang yang menyantet itu ditunjukan Tuhan agar berhenti menyantet Abang.”
Inilah tanggapan yang adem. Kalau saja semua orang yang saya kabari tentang derita saya menjadi korban santet mendoakan agar orang-orang yang membayar dukun untuk menyantet saya sadar tentulah beban saya akan berkurang.
Tapi, yang saya alami adalah ejekan, hinaan, cacian, dst. Semua mengesankan saya kena santet karena tidak taat beragama, sama seperti pernyataan aktor senior itu.
Kalau memang karena tidak taat beragama, tentulah miliaran orang yang tidak taat dan tidak beragama, penganut paham komunisme dan sosialisme, sudah kena santet. Faktanya, tidak.
Celakanya, orang-orang yang memberi nasihat ketika ditanya: Apakah Anda pernah kena santet? Ternyata mereka tidak pernah kena santet.
Lalu, dari mana mereka mengetahui cara-cara menghindar atau melindungi diri agar tidak kena santet?
Itulah yang membingungkan.
Semula saya selalu terlibat debat dengan orang-orang yang mencaci dan mengejek dengan memberikan premis terkait dengan santet. Tapi, belakangan ada seorang teman, wartawan, yang mengenal saya secara dekat mengatakan: ”Abang tidak perlu memberikan premis (dasar pemikiran-pen.) menghadapi orang-orang yang mengejek agar mereka percaya Abang kena santet.”
Terima kasih, Kawan!
Semoga Tuhan membuka hati orang-orang yang mencaci, mengejek, menghina orang yang kena santet agar tidak lancang memakai lidahnya dengan merendahkan harkat dan martabat orang-orang yang kena santet atau Tuhan memberikan balasan yang setimpal atas kecongkakan mereka …. Amin (Kompasiana, 22 Juli 2013). *
Komentar:
Muh Ibin (22 Juli 2013) Biar nggak kena santet ya jangan membuat orang lain nggak senang. Yg menasehati belum tentu pernah kena santet tapi jaga2. Seperti dokter kepada pasien biasanya menasehati biar tdk kena penyakit ini jangan makan ini dan itu. blm tentu dokter itu sdh pernah kena penyakit itu. menasehati seperti itu krn ilmunya.
H Surtiwa (22 Juli 2013) Sekarang ini banyak orang komentar karena tidak tahu bukan karena tahu…Ilmu Santet itu keberadaannya sudah ada ber-abad2 yang lalu. yang lucunya orang2 beragama pun dimana ajaran agamanya jelas2 mengatakan bahwa makhluk didunia itu bukan hanya manusia tapi ada juga jin…malah juga tidak percaya…Ilmu santet itu bisa dipelajari…ilmu yang minta bantuan mahluk gaib…dengan memakai persyaratan….semacam deal lah….Tidak susah mencernakannya…kalau kita percaya Allah ..semua itu bisa terjadi…
Bagi yang sudah mengalami kena santet terutama orang yang waras ..taat dan pintar…saya simpati..karena penyembuhan dari santet ini ternyata gampang2 susah….haus kepada ahlinya juga. Santet itu adalah perbuatan manusia…jadi penyembuhannya harus dilakukan oleh manusia juga….