Kalau pergi ke Bu Haji di Pandeglang, Banten, dia selalu mengingatkan agar segera ke dokter kalau ada perlukaan yang berdarah akibat dari benda-benda yang ditarik dari dalam badan.
“Pak, nanti ke dokter, ya.” Itulah yang selalu diingatkan Bu Haji.
Suatu waktu keringat saya bau (2006). Penumpang di mikrolet (jenis angkot di Jakarta) semua menutup hidung kalau saya naik di angkutan kota itu.
Padahal, saya jogging paling tidak dua kali seminggu. Dan, selama ini keringat saya tidak bau, bahkan saya tidak memakai pewangi ketiak.
Ada apa?
Karena sudah di luar hal yang wajar saya pun pergi ke Bu Haji.
Saya selalu membawa pisang ambon karena itulah media yang dipakai Bu Haji mengangkat benda-benda yang ada di dalam badan. Saya selalu bawa pisang ambon karena kadang-kadang tidak ada di rumah Bu Haji. Cari pisang ambon di pasar-pasar tradisional di Banten sangat sulit, itulah sebabnya ada yang mau berobat batal karena tidak mendapatkan pisang ambon.
Lagi pula, Bu Haji senang kalau bawa pisang ambon sendiri agar tidak ada fitnah. Misalnya, dikatakan pisang ambon sudah diisi dengan benda-benda.
Fitnah pulalah yang menjadi alasan Bu Haji menolak tamu yang mau berobat kalau tidak diantar atau direkomendasi oleh yang sudah pernah berobat. Bu Haji akan menolak secara halus kalau Bu Haji belum kenal.
Mengapa, Bu Haji?
“Aduh, Pak, saya takut difitnah,” kata Bu Haji memberikan alasan.
Fitnah macam apa, Bu Haji?
Bu Haji takut kalau nanti orang tsb. mengatakan bahwa dia memberikan sejumlah uang. Padahal, tidak ada tarif. Bahkan, saya sering hanya mengucapkan terima kasih. Bukan hanya itu sebelum pulang Bu Haji minta agar saya makan dulu.
“Ah, mana mungkin.” Itulah yang dikakatan seorang ibu muda di bus ketika saya hendak ke Bu Haji tentang Bu Haji yang tidak mematok bayaran.
Karena penasaran belakang ibu muda tadi pergi juga ke Bu Haji. Rupanya, ketika itu dia pun hendak berobat ke orang pintar, juga di Banten, tapi dengan tarif tertentu. Yang tidak masuk akal ibu muda tadi adalah orang pintar yang mengobati dia justru berobat ke Bu Haji dan mereka bertemu di rumah Bu Haji.
Bu Haji memegang pisang ambon yang saya bawa dan meletakkannya di belakang telinga kiri saya.
“Kraakkk ….”
Kulit terasa disayat. Di pisang ambon ada benda hitam lebih besar dari kelereng. Benda itu adalah kemenyan. Satu lagi ada di bahu kanan yaitu kemenyan putih.
Kemenyan itulah yang membut keringat saya bau.
Sesuai dengan saran Bu Haji saya ke dokter di bilangan Pisangan Timur karena bekas keluar benda masih nyeri dan berdarah. Dari Banten sudah saya tempel dengan plester obat.
”Ini kena apa, Pak?” Tanya Bu Dokter.
Tentu saja saya tidak mungkin mengatakan itu tersangkut atau karena benda-benda tajam atau dicakar macan.
”Bapak jangan percaya,” kata Bu Dokter ketika saya jelaskan bahwa luka itu karena tempat keluar benda.
Karena Bu Dokter terus-menerus memberikan ceramah, saya pun meminta agar Bu Dokter segera mengobati luka agar tidak infeksi seperti saran Bu Haji.
”Bu Dokter, maaf, saya kesini mau berobat.”
Barulah Bu Dokter itu berhenti mengoceh dan memberikan resep.
Kalau benda yang akan ditarik bisa menimbulkan luka yang berbahaya Bu Haji biasanya memberikan batu merah delima untuk dipegang selama Bu Haji menarik benda-benda dari dalam tubuh. Tapi, itu hanya untuk menahan rasa sakit.
Pengalaman pahit itu membuat saya enggan ke dokter, tapi alhamdulillah, belakangan, saya menemukan dokter yang tidak ceramah kalau saya berobat sepulang dari Bu Haji.
Terlepas dari percaya atau tidak percaya yang jelas ada luka sehingga perlu diobati agar tidak infeksi (Kompasiana, 29 Juli 2013). *
Taufik Uieks (29 Juli 2013) Wah?? Kena santet atau apa tuh bang?
Risvan Ardiansyah (29 Juli 2013) Ngeriiii ceritanya…. ada yg santet tuh Pak….