Apa yang pertama terlintas dalam benak Anda ketika mendengar kata Pasar Baru? Jawabannya bisa bervariasi tergantung usia, gender, serta pengalaman pribadi pembaca tentang tempat di Jakarta Pusat yang pernah menjadi primadona pusat belanja di era zaman lampau ini. Buat saya pribadi, Pasar Baru mengingatkan saya akan beberapa hal, yaitu, sepatu, Dollar dan juga jas. Kalau sudah bicara jas, tentunya membuat saya ingat akan penjahit dan toko kain yang banyak ada di sini dan tentu saja pemiliknya yang keturunan India.
Nah, salah satu hati besar yang identik dengan etnis India adalah Diwali atau Deepavali yang sering juga disebut Festival of Lights yang pada 24 Oktober 2022 kemarin. Diwali dirayakan bukan hanya di India, melainkan di banyak negara dimana banyak tinggal etnis India yang menyebar ke berbagai penjuru dunia. Bahkan di beberapa negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura, Diwali dirayakan sebagai hari libur nasional.
“Diwali adalah Lebaran India,” Demikian Ira Latief dari Wisata Kreatif Jakarta sempat membuka jalan-jalan sore hingga malam atau Walking Tour dengan tema Special Deepavali yang dimulai di depan Museum Antara di Jalan Antara tidak jauh dari pintu gerbang Pasar Baru ini.
Sekitar pukul 5 sore kami memulai walking tur dengan foto bersama di pintu gerbang bertuliskan Passer Baru 1820. Namun pintu gerbang dengan gaya arsitektur Tionghoa ini sebenarnya dibangun pada sekitar awal tahun 2000 an. Kemudian peserta walking tour mulai menjelajah Jalan Pasar Baru dan melihat berbagai toko tekstil dan penjahit yang pemiliknya etnis keturunan India. Salah satunya adalah Hariom’s.
Setelah itu diperkenalkan juga dengan beberapa toko berbentuk bangunan tua yang khas Tionghoa. Sayngnya nasib bangunan tua di kawasan Pasar Baru ini kebanyakan dalam kondisi yang merana. Tidak seperti China Town yang ada di George Town, Malaysia yang sudah mendapat status World Heritage. Rupanya pemerintah lebih memperhatikan Kota Tua yang hingga kini belum juga sukses mendapatkan status itu. Salah satu bangunan tua ada lah Toko Kompak yang konon dulunya merupakan tempat tinggal Mayor Tionghoa Tio Tek Ho.
Sesuai tema walking tour kali ini, maka kunjungan pertama di kawasan pasar Baru adalah mampir ke salah satu toko tekstil milik keturunan India. Mbak Ira mengajak mampir ke Toko bernama Al Shadai Tex. Di sini kami berjumpa dengan Pak Ramli yang mengaku bukan pemilik, melainkan pelaksana harian toko ini. Pria ini mengaku sebagai generasi ke delapan sejak kedatangan leluhurnya pertama kali ke Nusantara. Pria berusia lebih 60 tahunan ini juga mengaku berasal dari Surabaya dan sesekali berbicara dengan logat Surabaya yang cukup medok.
Yang menarik di toko ini dalam merayakan Deepavali adalah sebuah altar yang ada di tokonya. Sekilas mirip dengan altar atau meja sembahyang yang sering ada di rumah etnis Tionghoa. Namun yang ada di sini sempat membuat saya kagum sekaligus heran. Altar ini seakan-akan mewakili Sebagian besar agama yang ada. Pertama yang menarik adalah sepasang foto leluhur, lelaki dan perempuan yang disebut sebagai potret kedua orang tua Pak Ramli. Foto ini dikalungi bunga sebagai pertanda bahwa keduanya sudah berpulang.
Selain itu ada juga patung Yesus dan Salib, hiasan mirip pohon natal, berbagai gambar dewa dewi Hindu serta deretan buah seperti apel, jeruk, pisang, pir dan mangga yang diletakkan di atas kertas karton warna putih dengan tulisan berwarna ungu dengan lambang mirip swastika.
Ketika di tanya, Pak Ramli juga menjelaskan bahwa dia lebih suka disebut menganut agama Universal walaupun secara resmi menganut Hindu. Dia menyebutkan bahwa setiap Deepavali dia akan menulis sesuatu di buku yang baru dan membuang lembaran lama. Di buku ini dia menulis banyak kalimat menggunakan bahasa Sanskerta dengan banyakan sebutan Om. Warna ungu itu ternyata berasal dari sindur yang sering digunakan perempuan India di kening untuk menunjukkan bahwa dia sudah menikah.
Banyak yang diceritakan oleh Pak Ramli mengenai perayaan Deepavali yang walaupun merupakan hari besar, tetapi biasanya etnis India tetap akan membuka bisnis dan bekerja pada hari itu sebagai lambang tetap mencari rezeki. Karena itu toko-toko tetap buka walau tutup sedikit lebih awal.
Setelah sekitar 15 menit bercengkerama di toko Pak Ramli, kami melanjutkan perjalanan di Pasar Baru. Salah satunya melihat Toko Sepatu Legendaris yang masih bertahan hingga saat ini yaitu Toko Sin Lie Seng. Kami juga sekedar mampir di depan Isardas Talior yang bertuliskan semboyan Pagi Pesan Sore Kelar. Yang mengagumkan toko ini sendiri sudah berubah menjadi toko berlantai 7 atau 8 yang cukup tinggi.
Kami kemudian belok kanan dan masuk ke Gang Kelinci atau nama resminya Jalan Kelinci Raya. Selain Bakmi Gang Kelinci yang terkenal di sini juga ada salah satu kelenteng tertua di Jakarta bernama Sin Tek Bio berangka tahun 1698 seperti ada pada plang yang ada di tembok petunjuk arah.
“Di dekat sini juga ada makanan yang enak, yaitu Cakue Ko Atek,” demikian jelas Mbak Ira lagi sambil menunjuk ke ujung gang di mana di depannya ada tukang buah sementara di ujung terlihat Bakmi Aboen. Mbak Ira juga menambahkan bahwa Cakue ini biasanya sudah habis sejak siang sehingga ada baiknya kalau mau membeli di pagi hari.
Perjalan dilanjut menyusuri jalan Kelinci Raya dan akhirnya tiba di depan sebuah mini market bernama Shalimar. Mini Market ini menjual berbagai jenis makanan kecil, bumbu, serta makanan khas India dan juga perlengkapan beribadah. Di sini kami disambut oleh Puja, perempuan berusia sekitar 30 atau 40 tahunan yang didampingi ibunya.
Di depan toko ini di lantai ada hiasan berupa lampu-lampu dari minyak yang melambangkan bahwa pemiliknya sedang merayakan Diwali. Kemudian saya tahu bahwa hiasan lampu ini disebut diyas. Dan kemudian di dalam toko juga ada sebuah meja yang dihiasi berbagai perlengkapan untuk merayakan Diwali. Ada gambar dewi Laksmi dan Ganesha dan juga ada sebuah kelapa berhiaskan gambar mirip swastika dari sindur dan juga ada banyak kelopak bunga dan lampu-lampu.
Puja kemudian menjelaskan bahwa dewi yang menjadi toko sentral dalam perayaan Diwali adalah Dewi Laksmi dan juga anaknya Ganesha. Laksmi merupakan Dewi yang melambangkan kemakmuran sedang Ganesha dianggap sebagai Dewa yang melambangkan kebijakan, pengetahuan dan juga yang menghilangkan segalah penghalang. Orang-orang India pada umumnya merayakan Diwali dengan berdoa baik di tempat kerja maupun rumah dan ada mereka juga saling berkunjung dan sebagian ada yang mengadakan open house. Di toko Puja ini juga ada makanan khas Diwali yaitu mithai yang merupakan salah satu manisan. Ada yang berwarna hijau dengan rasa green tea dan ada juga yang warnanya putih.
Ada kisah yang menarik tentang minimarket bernama Shalimar ini yang sudah ada sejak Puja masih kecil. Konon almarhum ayahnya yang mendirikan toko ini. Dan Puja sejak kecil memang anak pasar baru. Dan dia bercerita tentang tukang mie yang berjualan di depan toko mereka sehingga disebut Mie Shalimar. Di tahunn 80 -an ketika Puja berusia 4 tahun, puja bahkan sering bermain dan digendong oleh tukang bakmie tersebut.
Namun ketika ditanya apa arti Shalimar dan siapa yang memberi nama itu. Ternyata Puja tidak tahu dan bertanya kepada ibunya. Uniknya ibunya pun tidak tahu asal usul nama Shalimar dan hanya menyebutkan bahwa nama ini terdengar merdu dan indah sehingga toko ini dinamakan Shalimar.
Di minimarket in, peserta walking tour banyak yang berbelanja berbagai makanan khas India. Namun perjalanan merayakan Deepavali di Kawasan Pasar Baru belum selesai. Masih ada kunjungan ke berbagai tempat termasuk ikut merayakannya dengan makan-makan di Shik Temple. Yuk ikuti terus kisah jalan-jalan bersama Wisata Kreatif Jakarta ini.
Hidup adalah sebuah perjalanan. Nikmati saja kejutan-kejutannya yang nikmat.
Terima kasih sudah membaca.
Jakarta Oktober 2022A