KABUT DALAM BADAI 11
Tung Widut
Indu berjalan di sebuah jalur tak berujung. Sempit tak ada warnanya. Hitam putih. Kedua kakinya terasa capek, juga seluruh tubuhnya lemas. Dia berusaha terus berjalan. Naas, jalan tak ada lagi. Buntu. Ditumbuhi pepohonan yang sangat rapat.
Di sisi lain sebuah sinar begitu terang tiba-tiba muncul. Semakin lama semakin besar. Bersamaan itu telinganya mendenging. Semakin lama semakin jelas pula. Suara orang yang sedang bercakap-cakap. Indu membuka mata. Sosok wanita samar terlihat.
“Arera. Arera. Arera,’’ sebutnya makin keras.
“Ma. Yok moleh. Papa malah nyeluki selingkuhane(Ma. Pulang. Papa memanggil nama selingkuhanya),” kata Wena ketus.
“Wen. Papa kenek musibah (Wen. Papa terkena musibah). Kecelakaan,” kata Riza pelan.
“Udah diselingkuhi mama nggak sakit hati?” kata Wena.
“Wen. Papa kecelakaan, lagi sakit. Nanti biar di jelaskan,” jelas Riza.
“Kalau mama nggak mau, Wena pulang sendiri, rawat pengkianat itu,” kata-kata Weni semakin tak terkendali.
“Wen, tolong, tolong jangan buat susah mama. Nanti biar papamu yang menjelaskan . Setelah semua membaik,” jelas Riza.
Indu yang malai kebingungan di mana dia berada. Kedua bola matanya mulai berkelana dari pojok langit-langit ruangan yang serba putih. Kedua bola matanya mulai berkelana dari pojok langit-langit kamar yang serba putih. Belum pernah mengenal ruangan itu. Kini pandangannya mulai ke bawah. Sebuah dua kursi, satu almari kecil. Begitu kagetnya ketika dia melihat baotol infus. Ditelusuri selang ke arah bawah, menancap pada lengan kanan.
Sambil memahami pembicaraan antara anak perempuan satu-satunya dengan Risa istrinya. Kini wajahnya terasa sangat perih. Kakinya sangat berat di gerakan.
“Ouh,’ suara lenguhan Indu.
“Pa,” pangil Riza.
” Maafkan papa Wena,” kata Indu terbata. Lekik bibinya terasa sakit sampai ke kepala bagian belakang.
”Sudah pa, dipakai istirahat saja biar cepat sembuh,” saran Riza.
Mendengar pembicaraan antara papa dan mamanya, Wena memalingkan muka. Wajahnya menunjukkan kalau dia sangat tidak suka dengan sikap mamamnya kepada papanya dianggapnya terlalu baik.
Indu hanya bisa memandangi raut ajah anaknya itu. Dipejamkan matanya. Dirasakan apa yang terjadi mulai dari ujung rambut sampai ujung kakinya. Seluruhnya semakin sakit. Perih.
Kini kembali dia mengingatkan kata-kata anaknya. Kata kunci yang menjadi titik balik ingatannya sekarang ini. Selingkuh. Sebuah keindahan yang tiada duanya. Tapi semua itu hanya sekejap. Tak fana. Kini dia menerima akibatnya. Lebih dari sakit. Sakit raganya sakit hatinya karena anaknya memandang sebelah mata menganggapnya sebuah kesalahan yang fatal dari hidupnya. Seberapapun keindahan dunia yang dinimati bersama Arera, disaat sakit anak dan istrinya yang menemani.
“Pa, jangan diambil hati kata-kata Wena. Perlahan kita beri pengertian. Hidup ini tak selurus keinginan. Pasti ada jalan berliku. Tapi Tuhan selalu memberikan kebaikan bila kita dekat dengan Nya,” kata Riza.