“Met, ibu berangkat dulu,” suara ibunya terdengar diikuti suara pintu tertutup.
Kembali angan Slamet tak menentu. Dia ingin memiliki sepeda motor seperti teman-
temannya. ingin sekolah tinggi. Bisa menjadi pegawai. Banyak uang bisa membeli mobil.layaknya orang yang dilihat di jalanan. Keinginannya itu berjubel di otaknya. Hilang lalu
kembali lagi.
Sampai ibunya kembali dari Surau pun dia masih meringkuk di amben. Amben
bambu di ruang tamu. Sarung sarung masih menyelimuti tubuh mungil Slamet.
“Apakah kamu sakit?”
Tak ada jawaban sama sekali. Slamet bergerakpun tidak. Tangan kasar emaknya
memegang kening sang anak. Lalu duduk di dekat anak semata wayang itu.
“Tadi malam dapat berkatanan. Saya gorengkan. Kamu bangun, salat, sarapan,
lalu pergi ke kendang. Emak mau bekerja di ladang Pak Yanu.”
Bu Yumaida sudah mengira anaknya sekarang libur sekolah. Seperti hari minggu biasa,
tapi yang membuat beda kali ini Slamet tak jamaah subuh.
Perlahan Slamet menegakkan badannya Menguap beberapa kali lalu
meregangkan otot-ototnya dibalik sarung. Beberapa detik gemericik air kucur di
samping rumah bernyanyi bersama dingin. menyucikan wajah lusuh yang akan
menghadap kepadaNya. Derit bilah bambu kini terdengar. Setiap kali Slamet
melakukan gerak salat bilah-bilah bambu berderit. Bilah bambu pada amben yang
hanya cukup satu orang. Berada di depan kamar sang emak. Amben khusus untuk
salad.
“Mak nanti saja sarapannya,” Slamet pergi menyusup di antara kabut pagi.
Meninggalkan emaknya yang masih sibuk meniup-niup api ditunggu tanah.
“Bagaimana Met sudah sehat kamu?” Sapa Pak Rono ketika Slamet sampai di
depan kendang.
“Sudah Pak,”
“Sebenarnya kamu nggak sakit kan? Saya ngerti. Ya memang harusnya sesekali
emakmu itu kamu temani tidur. Apalagi kalau waktu hujan. Siapa tahu ada apa-apa.
Mudah-mudahan semua sehat.” Tanpa menjawab Slamet segera mengangkat
makanan ayam yang berada di karung.
Suasana sepi di luar kandang dia tinggalkan. Suasana yang sangat indah.
Embun pagi menyamarkan pepohonan hijau di pegunungan. Daun-daun kelihatan
mengkilap karena basah oleh embun. Kini k Slamet berada di suasana yang lain. Duaribu ayam potong menantinya sambil duduk-duduk. Bau menyengat dan rasa hangat di
dalam kandang berlawanan dengan di luar sana. Samping kiri dan kanan tertutup
terpal. Dua kandang dengan ukuran 16m x 5m itulah tempat dia bekerja setiap hari.
“Brak….”