Cerpen: Burung-burung Desa

Cerpen94 Dilihat
Sumber: U-Report

Pagi itu, mentari seperti terlambat bangun. Para manusia sudah bermunculan, berkerumun dan bekerja mencari sesuap nasi. Langit terbentang gelap. Kumpulan awan pembawa hujan semalam masih lengkap. Sisa-sisa sinar bulan ada sedikit terlihat.

Beberapa lelaki baik tua maupun muda bergegas menuju kebun. Dengan memikul pacul di bahu, mereka kembali mengadu nasib demi bertahan hidup di desa itu. Beberapa perempuan menyibukan diri di depan gubuk. Ikan-ikan hasil tangkapan melaut lelaki mereka, yang sepertinya sudah cukup asin dalam endapan lautan garam semalam, dibersihkan benar-benar. Di atas hamparan anyaman bambu, ikan-ikan itu dijejerkan rapi-rapi. Tidak ada yang saling menumpuk. Semua mereka inginkan beroleh sinar siang itu. “Semoga tidak hujan lagi” Mungkin itu harap mereka.

Desa itu tenang sekali. Terletak di bawah kaki gunung dan beberapa kilo meter tidak jauh, terdapat pantai pasir putih nan bersih. Tak ada sampah bertebaran di sana. Belum terjamah dan masih tersembunyi dari orang luar. Kendati warga desa tahu, kecantikan pantai itu bisa dijual, yang kemudian mungkin mendatangkan banyak keuntungan, mereka sepertinya tidak membuka untuk komersial.

Sekitar lima ratus kepala keluarga tinggal di desa itu. Sebagian berkebun, sebagian melaut. Mereka sangat menjaga keasrian alam. Dari hutan di tengah gunung mereka beroleh kayu untuk tinggal, dari laut mereka beroleh ikan untuk makan. Pada alam mereka menyembah dan menggantungkan seluruh kehidupan.

Asap kendaraan bermotor bisa dihitung di desa itu. Tidak akan kau temukan kemacetan layaknya kota besar. Para penduduk gemar berjalan kaki dan bersepeda. Tak heran, usia mereka panjang-panjang. Otot mereka besar-besar.

Keharmonisan hidup di desa itu tak hanya terjalin antara manusia dan alam. Binatang buas di kaki gunung tetap merasa nyaman atas kehadiran manusia. Penduduk desa itu terlalu menjaga habitat mereka. Bahkan, beberapa pohon besar di dekat gubuk paling ujung desa itu, menjadi tempat kesukaan burung-burung elang bersarang.

Menjadi fenomena biasa, para anak kecil melihat mereka beterbangan setiap pagi. Tangisan dalam kicauan anak-anak burung meriuhkan pagi yang sunyi itu. Bila mereka mulai berteriak, burung jantan akan segera mencari daging segar untuk menenangkan. Sementara, burung betina mengembangkan bulu-bulu coklat tebalnya. Melanjutkan perjuangan untuk anak-anaknya. Beberapa teman anak burung itu masih terkungkung dalam dinding telur.

Dengan gagah, kedua sayap dibentangkan. Kokoh dan kuat sekali. Seekor burung jantan terbang melintasi langit desa. Matahari masih malu-malu di balik mega. Burung itu menempuh beberapa kilo meter dalam beberapa menit. Dengan bebas, dia seperti raja di udara. Tak ada yang melarang, tak ada yang memangsa. Dalam udara, dia perkasa. Menembus gumpalan awan yang beberapa merendah, burung itu sampai di atas lautan. Seperti biasa, burung itu mendekati permukaan. Matanya menatap tajam. Menunggu beberapa ikan kecil berloncatan ke udara. “Ah, betapa mudahnya mencari makan” Pikirku.

“Syiiuuu”

Burung itu melesat cepat. Kakinya yang berkuku runcing, berhasil mencengkeram kuat seekor ikan yang tertinggal di belakang gerombolan. Dengan cepat pula, burung itu kembali ke sarang. Anak-anaknya yang masih menangis, menjadi tenang ketika sobekan daging ikan itu memenuhi mulut mereka. “Ah, betapa baik dan bertanggung jawabnya bapak burung itu” Pikirku.

Setelah memastikan anak-anaknya diam, burung jantan itu kembali melebarkan sayap. Tanpa tergesa-gesa, burung itu menjelajah hutan-hutan di tengah gunung. Hijau-hijauan pepohonan dilewati, air terjun di bukit dihampiri, cekungan lembah ditelusuri. Burung itu seperti benar-benar menikmati betapa bersih dan sejuknya udara di gunung itu. Sesekali, burung itu bertengger dan berteduh di salah satu pohon rimbun itu. Digesek-gesek paruh tajamnya pada batang pohon, membersihkan sisa-sisa daging ikan yang masih melekat. “Ah, sungguh indah alam desa itu” Pikirku.

Matahari sudah jelas menampakkan diri. Raut wajah para perempuan desa bersuka cita. Kumpulan ikan yang akan mereka bawa ke kota, sepertinya bisa dijual. Sembari menunggu ikan kering, sesekali mereka bercengkerama. Nama warga desa satu per satu menjadi bahan asyik untuk dibincangkan. Gelak tawa memenuhi siang itu.

“Bu Desi mau lahiran ya, Bu?” Tanya salah satu perempuan itu.
“Iya. minggu depan rencananya. Kita harus siap-siap, Bu. Ibu mau bawa apa bila berkunjung nanti ke sana?” Jawab perempuan di sampingnya. Sudah menjadi kebiasaan, setiap ada warga punya kerja, entah itu kelahiran, pernikahan, atau kematian, seluruh warga terasa punya hajat. Mereka sudah menganggap antartetangga adalah keluarga sendiri.
“Kalau saya, paling masak sop ikan, Bu. Saya pikir, itu lumayan menghangatkan, enak di badan, dan tentu sehat bagi sang bunda. Apalagi, akhir-akhir ini Bapaknya sering bawa banyak ikan tongkol” Suami perempuan itu seorang nelayan.
“Kalau saya, rencana bawa sayur daun singkong, Bu. Tanaman singkong bapaknya sudah siap panen semua di kebun”
“Wah, enak itu Bu. Besok kalau ke sana, kita bersamaan ya. Nanti, saya ajak juga Bu Budi”
“Baik, Bu” Di sela percakapan, tangan hitam mereka mengusik lalat yang dari tadi berusaha menghinggapi jemuran ikan itu.

Di tempat lain, suami perempuan itu bersama para lelaki lain yang kecapekan melaut semalam, berbaring nyenyak di bawah atap rumbia. Bertelanjang dada, mereka menikmati istirahat. Panasnya matahari tidak mengganggu sama sekali. Kalah dengan dinginnya angin sepoi-sepoi, yang datang silih berganti. “Ah, betapa rukun dan damainya desa itu” Pikirku.

Tanpa terasa, langit sore mulai kemerah-merahan. Sang burung jantan pulang ke sarang, di mana burung betina sibuk menghangatkan anak-anak. Di paruh burung jantan itu, terlihat seekor ular kecil yang telah mati. Hasil perburuan di hutan siang tadi. Disantap sebagai menu makan malam keluarga burung itu.

Para pekebun menyudahi cocok tanam mereka. Sinar matahari yang terlambat datang pagi tadi, membuat mereka tidak terlalu kelelahan hari itu. Cukup luas tanah terbajak, cukup banyak benih tertanam. Mereka senang, alam bersahabat sepanjang hari itu.

Di lingkungan itu, manusia, hewan, dan tumbuhan sungguh hidup serasi. Mereka mencari makan secukupnya, menghormati pemberi makan selayaknya. Tak ada satu pun makhluk serakah. Alam yang mereka jaga, tak segan membalas budi. Tanah-tanah subur menumbuhkan benih, laut-laut jernih membesarkan ikan, udara bersih dan sehat ada menyejukan. Sang Pencipta seakan tersenyum melihat kelakuan mereka. “Ah, betapa harmonisnya kehidupan di desa itu” Pikirku.

Televisi di ruangan pengap remang-remang itu masih menyala. Sementara, burung-burung dan penduduk desa itu telah berlindung dalam sarang dan gubuk mereka. Dari balik jeruji besi, seorang pemuda berbalik pandang. Ditatapnya nanar dinding-dinding di sekitar. Bau keringat manusia menyeruak. Menusuk hidung sampai terasa muak.

Pemuda itu tiba-tiba teringat desanya. Teringat alamnya. Teringat kebebasannya. Teringat keluarganya. Ketika teringat perbuatannya, pemuda itu menampar keras-keras pipinya.
“Betapa bodohnya saya. Seandainya saya tidak membunuhnya!”

Jakarta
11 Desember 2020

Tinggalkan Balasan