Terburu-buru dalam langkah seribu, aku menuju ruang kelas pertamaku. Pagi itu, aku ada jadwal mengajar jam pelajaran pertama dan kedua di kelas istimewa. Sebenarnya tak jauh dari rumah letak madrasah tercintaku itu, akan tetapi di dalam rumah joglo yang kutinggali itu, seolah waktu melambat beberapa menit karena suasana syahdunya.
Beberapa kali kupandangi detik waktu pada jam tanganku. Sungguh, aku berharap jarum panjang melambat 5 menit saja. Terngiang dalam benakku, imbauan bapak kepala madrasah soal disiplin waktu bagi guru yang mengajar khususnya pada jam pertama, setelah istirahat, dan jam terakhir. Detak jantungku kian bertalu manakala kulewati deretan pintu kelas VII telah tertutup, termasuk kelas istimewaku. Semua guru telah masuk kelas masing-masing, kecuali aku, si guru teladan, eh telatan ini.
Langkahku terhenti. Sejenak kuhitung tarikan nafasku di depan pintu yang tertutup rapat itu. Lantunan Asmaul Husna terdengar kompak dan keras. Anak-anak di kelas itu tampak penuh semangat melafalkannya, dan ini tidak biasa, sebab ini adalah kelas istimewa. Astaga, berarti hanya ada satu kemungkinan, ada orang yang cukup mereka takuti sedang berada di dalam kelas itu menemani mereka membaca Asmaul Husna. Pak Kepala, ya, tentu saja beliau orangnya.
“Astaghfirullah… tenang…” bisikku sembari menenangkan hati.
Tidak apa-apa, tersenyum manis seperti biasanya saja. Kusiapkan senyum terbaikku dan kuangkat lenganku bersiap mengetuk pintu. Ah, mendingan salam dan langsung kubuka pintu saja. Ketukan pintu tentu justru malah mengganggu. Aku terdiam, menunggu bacaan Asmaul Husna yang hampir berakhir.
“Assalamualaikum…” Kubuka pintu perlahan.
Kulongokkan kepalaku dan kucari sosok yang beberapa menit lalu ada dalam benakku. Tak ada. Tak ada siapa-siapa? Tak ada satu guru pun di dalam si kelas istimewa, dan anak-anak tertib membaca Asmaul Husna? Ah, mulutku menganga, takjub.
“Subhanallah…. kalian luar biasa,” ucapku takjub sembari memandangi anak-anak yang terdiam menahan senyum di bibir mereka.
Ah, ini aneh. Mereka tentu punya rencana. Ada sesuatu yang mereka sembunyikan. Kupandangi mereka dalam diam. Tiba-tiba siswa yang duduk di sudut belakang tepuk tangan tiga kali. Pada saat yang bersamaan, terdengar petikan gitar yang memainkan nada lagu ulang tahun. Aku pun tersenyum lebar, ah, mereka ingat hari lahirku. Hatiku sontak membiru. Dalam kabur pandanganku, kulihat Arifin melenggang masuk sembari memainkan gitar yang disambut dengan lantunan lagu ulang tahun dari anak-anak istimewa ini. Tak hanya itu saja, kian haru manakala Khasna si anak biru, mendekat padaku sembari membawa kue tart kecil dengan tangannya yang mungil dan senyum cantiknya.
Kue itu tepat berada di hadapanku. Lantunan lagu pun berhenti. Kulihat wajah manis Khasna tersenyum, bibirnya bergetar tipis sebelum akhirnya ia berkata,
“Bu Yuli, Selamat Hari Lahir, doa kami semoga Bu Yuli senantiasa sehat dan semangat dalam membimbing kami belajar hingga berprestasi.” Mendengar kalimat itu, bibirku tergetar menahan haru.
“Aamiin, insyaallah. Terimakasih Khasna dan anak-anakku semuanya.” Ucapku. Tak terasa bulir bening ini menetes juga. Rasa membuncah bahagia.
Kuterima kue itu dan kuletakkan di meja, sembari kupandangi tiada henti. Hmm… kapan terakhir kali aku dapat kue ulang tahun ya? Sepertinya di usiaku yang ke-17, itupun dari seseorang yang kebetulan juga ingin mengambil hatiku yang saat itu tertutup rapat tanpa kubiarkan masalah cinta memporak-porandakannya. Orang itu pun berlalu dan aku tetap dengan kekakuanku. Aku bukan orang yang terbiasa merayakan ulang tahun, namun perhatian dari anak-anak kelas istimewaku ini sontak mengharu birukan hatiku. Ini berkesan bagiku.
“Bu, kok melamun? Sekali lagi selamat ulang tahun, Bu Yulian,” Jemari mungil Khansa terulur.
Kusambut, dan kuambil sebuah sendok yang tersedia di sana, kucuil sedikit kue cantik itu dan kusuapkan padanya. Khansa tertegun sebelum akhirnya membuka mulutnya dengan mata berkaca-kaca.
“Yuk, setelah khansa, siapa lagi yang mau ibu suapin kue?” Tanyaku.
Beberapa siswa ternganga mendengarnya. Namun dengan gembira mereka beranjak dari duduknya dan mendekat padaku, memberikan ucapan selamat sekaligus menerima suapan kue ulang tahun yang sudah mereka siapkan untukku. Hari itu menjadi hari yang teristimewa. Semua merasakan nikmatnya kue tart tersebut dengan gembira. Memang beberapa menit jam pembelajaran tersita, tetapi tidak mengapa, tidak setiap hari mereka merasakan kedekatan seperti ini.
“Terima kasih banyak, Bu. Telah menerima persembahan kami dengan gembira dan bahkan menyuapi kami dengan penuh cinta. Untuk waktu yang tersita, kami siap menggantinya dengan mengerjakan tugas di rumah apabila target hari ini tidak tercapai,” ucap Arifin yang diiyakan oleh beberapa siswa lainnya.
Aku takjub, hal ini disadari oleh mereka. Mereka, khususnya Arifin, si ketua kelas ini ingat jika setiap pertemuan pembelajaran aku selalu memberikan target capaian yang harus dituntaskan, dan hari ini mereka rela diberi PR. Ini luar biasa! Banyak kutemukan hal istimewa dari mereka hari ini, bahkan Khansa tak henti-hentinya tersenyum bahagia, seolah lupa dengan sakit yang selama ini dideritanya, dahinya tak mengernyit menahan sakit seperti yang sesekali kulihat. (Bersambung)