Sosok sederhana dengan perawakan agak gemuk, postur tubuh sedang, rambut memutih, tampak jelas kerutan di sudut mata juga bibirnya karena selalu tersenyum itu adalah ayahku, KH. Suhardjono, BA. Aku memanggilnya dengan sebutan ‘Bapak’, Tak pernah nampak raut kekhawatiran di wajahnya. Sosok yang senantiasa legowo . Darinya aku belajar banyak hal. Mulai dari mengenal alam sekitar, bertani, bernyanyi, dan memperdalam agama.
‘Anak bapak’ menjadi julukanku dalam keluarga besarku ketika aku masih kecil. Bagaimana tidak? Aku tak pernah mau lepas darinya. Pernah suatu ketika aku berlari sembari menangis tersedu-sedu mengikuti bapak yang menaiki sepeda Onthel nya. Ditinggalkan bapak bekerja seolah akan ditinggalkan selamanya saja.
Delapan tahun usiaku kala itu. Aku tergugu di halaman rumahku menanti bapak pulang. Tak kuijinkan seorang pun menolongku. Hal yang kini kurasa begitu lucu. Ah, keras kepala juga aku rupanya. Saat itu, ibu meminta kakakku menggendongku masuk ke dalam rumah, tetapi aku kembali berlari keluar dan duduk di tempat semula. Aku pun kembali tersedu di sana. Aku hanya mau bapak, titik.
Ibarat orang yang sedang bermimpi namun terbangun dari mimpinya dan berkeras ingin kembali tidur untuk melanjutkan mimpinya.
Aku anak ke 7 dari 8 bersaudara. Sudah menjadi hal biasa di antara kami jika rasa gemes sang kakak berakhir dengan tangisan sang adik. Entah mengapa mereka senang mengusiliku. Mungkin karena durasi menangisku yang lebih lama dibandingkan yang lain. Jadi mereka puas menikmati hasil karya usil mereka, kalau anak jaman sekarang menyebutnya ‘Prank’ atau ‘julit’.
Jika aku mulai menangis, bapak biasanya lantas mengajakku ke kebun. Aku pun terdiam ketika bapak mulai bersholawat atau menceritakan tentang sesuatu dari apa yang kami lihat di kebun. Sejak saat itulah, hatiku seolah hanya untuk bapak. Bapak hebat. Bapak adalah pahlawan yang akan selalu melidungiku dari kejulitan kakak-kakakku. Sepulang sekolah, jika tidak bermain dengan teman, maka aku akan termangu menunggu bapak pulang.
“Kring…kring!”
Suara dering kerincing sepeda onthel bapak selalu dibunyikan ketika sudah mendekati rumah. Itu tanda bapak pulang. Aku pun berlari menyambutnya di Pendhopo . Aku tersenyum girang manakala bapak turun dari sepeda dan menuntunnya naik ke pendhopo rumah joglo kami. Apalagi jika kulihat ada bungkusan plastik di sepedanya. Biasanya jika tidak makanan ya buku atau kertas koreksian.
Pekerjaan bapak yang sebagai guru membuatnya sering membawa pulang koreksian. Seringkali aku diminta untuk membantunya menghitung jumlah jawaban yang salah dari lembar kerja para siswanya. Dari sinilah keinginanku menjadi guru mulai tumbuh. Memberi nilai orang lain melalui secarik kertas yang dikumpulkan nampaknya menarik. Jika nilai bagus orang tersebut pasti akan senang, sebaliknya jika jelek nilainya, maka harus disertai tulisan atau nasehat. Sepertinya semua perkataan guru itu mujarab. Siswa akan menurut pada gurunya.
Jika bapak sudah pulang, maka aku akan menguntit di belakangnya. Apalagi jika bapak mulai beraktivitas di kebun, entah menyapu, merawat ternak, memetik buah. Ya, kebetulan halaman rumah kami cukup luas. Ada berbagai macam tumbuhan di sana. Yang paling menyenangkan adalah tanaman buah. Secara bergiliran kami bisa menikmati buah rambutan, sawo, coklat, jambu, mangga, duku, belimbing, melinjo, dan kelapa. Kami memetik buah sesuai musimnya.
Hal yang menjemukan adalah memunguti buah melinjo. Buahnya yang kecil-kecil dan banyak membuat tangan kecil kami lelah.
“Ini melatih kesabaran. Buah melinjo ini kulit dan isinya sangat bermanfaat, bisa dijual untuk membeli makanan kesukaan kita,” jelas bapak.
Akhirnya ruitnitas itu pun menuai kreativitas juga. Aku menggelar tikar yang lebar di bawah pohon ketika bapak atau orang suruhan bapak memetik buah melinjo. Maka aku tidak lagi mengambili dari awal buah dipetik, tetapi menunggu hingga buah melinjo yang berjatuhan sudah banyak baru dikumpulkan. Aku pun memakai caping agar kepalaku tidak berkali-kali kejatuhan melinjo lagi. (BERSAMBUNG)