Menuju ruang PICU membuat jantungku berdebar tak menentu. Tanpa sadar kami melangkah lebih cepat dalam diam. Begitu sampai di depan ruang ICU, kulihat ibu Khasna menghampiri. Raut wajah lelah yang tersenyum ikhlas menunjukkan ketegaran hati. Ia berhasil mendidik Khasna dengan baik. Karakter Khasna yang semangat, kuat, dan tegar dalam menerima sakitnya sebagai bagian dari ibadah tentulah berkat perjuangan sang ibu yang telah menjaga dan memberi Khasna pengertian sejak kecil. Dan inilah sosok ibu luar biasa yang menerima putri kandung semata wayangnya harus didera sakit kelainan jantung sejak lahir. Sungguh 13 tahun adalah waktu berproses tanpa lelah dan tanpa menyerah, baginya.
“Bu, saya Bu Yulian, guru bahasa Indonesia Khasna,” jelasku saat menjabat lembut tangannya. Ibu Khasna seketika lantas mengamatiku. Kubuka masker sejenak dan tersenyum.
“Alhamdulillah, Khasna sering bercerita tentang Ibu. Terimakasih untuk dukungan dan kasih sayang Ibu selama ini untuk Khasna,” jelas ibu Khasna yang sontak membuat hati ini mengharu biru. Khasna sering cerita tentangku? Ah, aku pun sering memikirkanmu, Sayangku.
“Khasna sosok yang luar biasa, Bu. Sering membuat kami terharu. Ibu telah membimbing dan mendidik Khasna dengan baik. Khasna banyak menginspirasi teman-temannya. Insyaallah doa terbaik kami senantiasa untuk Khasna,” jelasku. Aku memeluknya hangat. Matanya sembab.
Sementara itu, kulihat Bapak Musa dan Bu Endang bersiap masuk ke ruang ICU. Hanya 2 pengunjung yang diperbolehkan memasuki ruangan. Sebelumnya, mereka harus mencuci tangan dan melepas alas kaki mereka, sebelum mengenakan baju khusus. Ibu Khasna pun mengajak kami yang di luar untuk melihat dari jendela kaca.
Khasna terbaring lemah di sana, dengan berbagai peralatan menempel di tubuhnya. Diam-diam kuusap mataku yang basah. Nafas Hasna terlihat sesak, tampak juga dari monitor di sebelahnya. Namun yang luar biasa wajahnya tampak cantik dan tenang. Bu Endang menyentuh lembut lengan Khasna tanpa suara, sebagai tanda bahwa ada yang datang ke sisinya. Perlahan matanya terbuka, ya ia tidak bisa berbicara. Bu Endang mendekat, berbisik menyampaikan sesuatu padanya. Khasna tampak mengangguk lemah. Lantas pandangan Khasna mengikuti arah telunjuk Bu Endang yang menunjuk kepada kami di jendela kaca. Spontan tanganku terbuka, melambai sembari berjinjit agar lebih terlihat, dan tersenyum padanya.
“Khasna?” Bisikku lantas kukepalkan tanganku menyimbolkan samangat. Aku tahu ia tak dapat mendengarku, tetapi paling tidak ia melihatku.
Bibirnya perlahan melengkung membentuk senyuman lemah dengan mata berkaca-kaca. Pemandangan ini kan kusimpan di dalam hati. Khasna berusaha tegar dan menyenangkan hati orang di sekelilingnya, meski tengah dalam keadaan kritis.
Kulihat Pak Musa mengangkat tangannya. Mereka sedang mendoakan Khasna di dalam sana. Kami pun turut mengangkat tangan, dalam hati mengaminkan. Mereka bergegas keluar dari ruang ICU dan kembali bergabung dengan kami di luar. Kami berpamitan, kulihat belir bening pun tumpah ruah dari kedua mata ibu Khasna. Aku memeluknya erat, sebelum meninggalkannya untuk kembali ke madrasah. Aku tahu, berat jadi ibu Khasna. Semoga Allah menyembuhkan Khasna dan segera memberikan mereka kebahagiaan dunia dan akhirat. Aamiin.
Bel tanda pulang sekolah berdering kencang. Semua siswa bergegas pulang. Demikian pula dengan semua guru di ruangan. Lima belas menit kemudian, tinggalah aku sendiri di ruang itu. Sebelum pulang, aku menyibukkan diri dengan menyelesaikan berbagai pekerjaan, sembari memutar lagu-lagu sholawat populer. Biar tidak hening dan lebih bersemangat saja. Satu jam kemudian, beberapa bendel lembar kerja siswa pun terkoreksi sudah. Kini saatnya membuat draft berita untuk beberapa kegiatan. Buat draftnya dulu, unggahnya ke website nanti.
Setelah selasai, aku berkemas dan bersiap pulang. Kumatikan YouTube sholawat dari gawai. Sembari beranjak, sekali lagi kubuka chat. Sebab kalau sudah sampai di rumah dan disibukkan dengan berbagai urusan rumah tangga, maka mungkin malam baru sempat membuka atau membalas chat. Banyak juga chat grup WhatsApp yang belum kubuka. Terakhir yang kubuka grup dinas madrasah, namun kini sudah tampak puluhan postingan lagi. Kubuka lagi saja, barangkali ada yang penting untuk dikerjakan, sebelum aku pulang.
“Astaghfirullah… Ya Allah. Innalilahi wa innailaihi rojiun. Khasna!!” Pekikku di ruang senyap itu.
Aku terduduk lemas tak berdaya dengan tangan mendekap erat gawai di dada. Terbayang senyum lemah Khasna di ICU. Jadi tadi itu senyum terakhirnya? Sontak aku diterkam rasa kehilangan yang teramat sangat. Tidak ada lagi si anak biru yang senantiasa membuat hati ini terharu di kelas istimewa itu. Begitu banyak pelajaran berharga yang telah ditularkan olehnya.
Jadi operasi itu tidak berhasil? Tubuh Khasna tidak kuat menahan efek pasca operasi yang tentu dasyat. Khasna tahu dengan segala kemungkinan yang terjadi. Namun ia tetap semangat menjalaninya dengan sebongkah asa yang kuat di hatinya. Bagaimana mungkin tubuh mungil nan sayu itu bisa sedemikian tegar dan kuat? Aku tergugu pilu. Segala kenangan tentang Khasna terngiang di kepala. Tak pernah kulihat ia mengeluh. Ia begitu gigih meski tubuhnya ringkih.
Gawaiku berdering. Putri menelpon. Apakah ia sudah tahu? Kuangkat dan kudekatkan ke telingaku dengan lesu.
“Assalamualaikum, Bu.” Sapanya.. hening tak langsung kujawab. Aku berupaya menetralkan suaraku.
“Wa’alaikumussalam, Put.” Jawabku masih sedikit parau.
“Ibu sedih. Saya tahu. Berarti Bu Yuli sudah tahu? Khasna…” Suara putri mulai pun bergetar. Air mataku kembali menetes.
“Iya, Put. Baru saja ibu membaca chat tentang itu,” sahutku cepat. Hening sejenak. Kami sama-sama bingung hendak berkata apa.
“Bu, Asa Khasna terhenti sampai di sini. Allah rupanya lebih menyayanginya. Tak ada lagi petikan gitar Khasna…”
Kudengar Putri pun tergugu. Putri yang selama ini mampu mengendalikan diri dan emosinya, bijak dalam bersikap. Kini goyah jua. Aku mengerti apa yang dirasakan Putri. Mereka menghabiskan waktu bersama dengan ceria bersama gitar Khasna.
“Tidak, Put. Asa Khasna tidak terhenti sampai di sini. Kau bisa menyuarakannya pada dunia dengan gitar Khasna, saat wisudamu kelak. Khasna akan bahagia. Nyanyikan lagu yang selama ini Khasna impikan,” ujarku memburu dan bersemangat, untuk Khasna. Isak tangis Putri terhenti. Seolah ia berpikir sejenak.
“Petikan Asa Gitar Khasna,” ujar Putri akhirnya begitu dalam. Kalimat itu membuatku tersentak. Cerdas! Ya, Putri benar.
“Betul. Petikan lagu Himne Matsandaba dengan gitar Khasna. Persembahan untuk Khasna yang insyaallah kini sudah bahagia, di sana,” ulasku.
T A M A T