Pria Pemain Biola Itu, Apakah Aku Cinta?

Cerpen, Fiksiana50 Dilihat

Photo by Ari. Farm House. Lembang Bandung

Siapa dia? Kemarin aku hanya mendengar alunan biolanya. Di sudut taman kota. Tempat aku terbiasa menghabiskan waktuku menjelang sepi di senja hari. Saat udara cerah tanpa hujan menemani.

Sudah lebih dari satu bulan ini aku dapat musik indah menemani waktuku membaca di sudut taman. Aku menikmati musiknya, namun aku tak pernah ingin tahu siapa dia. Aku pikir hanya seseorang lainnya yang ingin menghabiskan waktu sepertiku. Aku lebih hanyut pada buku-buku yang kubaca.

Tapi hari ini terasa beda. Musik itu mengalun lagi tapi sangat mendayu memberi sendu. Lagu itu, selalu dibawakan instumental saja. Aku tidak asing dengan alunan yang satu ini. Tentu saja berhasil membuatku terdiam dan terhenti waktu bacaku. Aku termenung tak tahu harus apa. Ingin segera berdiri menuju alunan musik tadi.

Serenade yang digubah oleh Franz Schubert adalah lagu yang dimainkannya baru saja. Franz Schubert, salah satu musisi dunia yang sangat kukagumi berasal dari Austria. Karya-karyanya abadi di hatiku dan satu paling kusuka adalah Serenade.

Franz Schubert meninggal pada usia 31 tahun, tetapi ia sudah menghasilkan hampir 1.000 karya musik. Usia yang sangat muda bagi seorang berbakat sepertinya. Itu hanya sekilas kisah singkat komposer kesukaanku. Aku bahkan punya buku tentang kumpulan kisah hidup para musisi klasik dunia. Hanya sekadar asal tahu saja.

Serenade. Alunan lagu itu menggugah hatiku lagi. Pernah menjadi lagu aku dan seseorang yang istimewa selama beberapa tahun. Namun garis kehidupan berkata lain. Penyakit telah merenggut seseorang itu dari sisiku selamanya. Hatiku seolah sudah tergembok pada cinta itu saja.

Kubilang aku ingin melalui hari-hariku sendiri untuk sementara. Namun nyatanya sudah bertahun-tahun aku masih tak kunjung bisa membuka hatiku untuk yanv lainnya. Aku seperti menjalani hidup dengan nyaman meski seorang diri.

Berbagai pikiran berkecamuk di kepalaku sehingga tanpa sadar langkahku sudah terhenti di hadapan pemain biola itu. Menatap sendu wajahnya yang memainkan lagu ini dengan penuh perasaaan. Dia menutup matanya saat mengalunkan nada-nada yang keluar indah merdu dari gesekan biolanya. Aku terpaku menatapnya. Hingga..

Saat ia mengakhiri alunan musik itu dan dia membuka matanya. Kami bertatap mata. Tepuk tangan kuberikan untuknya. Dia beri senyuman manisnya menganggukan kepalanya santun dan berucap. “Terimakasih”

Lalu dia membereskan peralatan musiknya, biolanya masuk dengan pas ke dalam tempatnya. Semcam tas yang bisa dibawa kemana-mana. Tanpa kata-kata lainnya, dia beranjak pergi melewatiku. Sesaat dia menganggukan lagi kepalanya berpamitan. Kekuatan dalam lagu itu membuatku terpesona tak henti hingga lubiarkan dia pergi.

“Laras?” sebuah sapaan dari samping membuyarkan lamunanku. “Dika?” Balasku, setelah akhirnya mengenali pria yang menyapaku baru saja. Sementara pemain biola itu, sudah beranjak menjauh tanpa kutahu siapa. “Astaga, tak kuduga bisa bertemu di sini. Sedang apa kau Laras?”

Dika dan aku pernah satu kampus. Kami sangat aktif dulu di aneka kegoatan sosial kampus. Tapi setelah lama lulus dan bekerja, kami tak pernah lagi bersua. Dika terus melanjutkan studynya sampai tinggi, aku cukup menyelesaikan jenjang sarjana saja. Dan setelah bertahun-tahun, ini kali pertama kami bertemu di suatu taman.

Perbincangan singkat dan akrab pun terjadi mengenang masa lalu kami. Ada sedikit tawa dalam senda gurau Dika. Sampai waktu semakin beranjak menuju petang malam. Dan kami saling bertukar nomor ponsel lalu pulang ke rumah masing-masing. Tak menyangka aku bertemu Dika. Pertanda apakah? Mungkin hanya kebetulan saja.

Seminggu sejak pertemuan dengan Dika dan pemain biola, aku tidak sempat mengunjungi taman lagi. Hanya berkutat dengan pekerjaan pilihanku menjadi pendidik di kota bunga. Mengerjakan berbagai tugas administrasi menjelang pelaksanaan ulangan semester. Lelah. Hanya itu kata yang bisa kuucapkan untuk menggambarkan kondisiku.

Jumat malam, aku baru saja tiba di rumah saat ponselku berbunyi. Ada panggilan masuk dari Dika. “Hallo Laras, apakah kamu masih suka musik klasik seperti waktu kuliah dulu?” Sapaan Dika dari ujung sana langsung pada inti pembicaraan. Begitulah Dika, tidak mau membuang waktu dengan aneka basa-basi.

“Hai Dika. Iya tentu saja. Kenapa?” Jawabku yang terbiasa dengan gaya bicara Dika. Langsung pula kujawab dan balas bertanya singkat.

“Haha, kau masih seperti yang dulu rupanya Laras. Besok Sabtu sore temui aku ya di taman bunga seperti minggu lalu. Ada kejutan untukmu. Kutunggu jam 5 sore. Harus datang. Bye” klik. Panggilan langsung dimatikan sepihak. Bum juga muncul satu kata untuk menjawab, sudah dimatikan saja.

Lelah ragaku tak bisa kompromi. Selesai berbenah diri, tidurlah aku tanpa ingat makan malam. Dan tidurku nyenyak sampai pagi. Kucoba ingat kembali, sore nanti aku ada acara bersama Dika, tapi aneka tugasku masih belum selesai juga. Aku harus kebut kerjakan semua pagi hingga siang nanti.

Selesai mandi dan sarapan, kembali berkutat dengan pekerjaaanku. Astaga Sabtu aja aku kerja. Kulirik tumpukan buku yang lama tak kusentuh. Aku rindu duduk-duduk di taman menghabiskan wwaktu sambil membaca buku. Tak terasa jam 5 sore tiba. Dan aku segera bergegas menuju taman. Hampir saja terlambat.

Dika melirik jam tangannya, pukul 5 sore lewat 5 menit. Dika yang dulu akan ngomel-ngomel karena aku terlambat. Bahkan akan pergi meninggalkanku kalau datang tidak tepat waktu.

“Baru telat 5 menit, jadi aku masih tunggu.” kata Dika menyambutku. ” Maaf ya telat. Tapi ada berita bahagia apa sampai memintaku datang?”

Dika mengeluarkan dua tiket konser musik klasik. “Satu untukmu dan satu untuk … ” dia terdiam menatapku. Kuambil satu tiketku dan kubertanya “satunya untukmu kan?” Dika tersenyum. “Aku harap begitu, semoga bisa ya” kulirik dia, bingung. Tapi tak lama dia berdiri dari duduknya.

“Besok aku jemput ya di sini. Ingat harus datang tepat waktu. Kita berangkat pukul 6 sore karena acaranya mulai tepat pukul 7 malam. ” Dika bersiap pergi. Saat kutahan dengan tanyaku. “Jadi, kita bertemu hanya untuk tiket ini, habis itu udahan? Kamu mau ke mana?” Tanyaku penasaran

“Jam 6.30 malam aku ada praktek di RS. Bisa sampai jam 9 malam. Eh kamu makan malam sendiri ya. Lain kali aja kita makan bareng. Aku buru-buru. See you Laras”

Bergegas Dika pergi meninggalkanku tapi masih sempat kuucapkan terimakasih padanya untuk tiket konser itu. Saat aku hendak beranjak pergi, pulang ke rumahku, aku mendengar lagi alunan musik itu. Apakah pemain biola itu ada di sini juga?

Dengan langkah cepat aku menuju ke sudut taman di mana bisa kutemui pemain biola itu. Serenade lagi yang dimainkannya. Dan dia sendirian saja. Sama sepertiku. Kali ini kubulatkan tekadku. Akan kudengarkan dan kuajak bicara. Aku hanya ingin tahu mengapa dia suka memainkan lagu itu saat ada aku.

Astaga, saat ada aku. Yang benar saja. Dia saja tidak tahu aku ada di taman. Lagi-lagi kudapati dia memainkan biolanya dengan penuh perasaan. Sungguh langsung membawa senduku hadir seketika.

“Tunggu” ketika kudapati pemain biola itu hendak pergi lagi setelah memainkan musik Serenade karya Schubert. Dia terkejut dan menatapku “Maaf, Anda siapa?” tanyaku lagi. Tatapannya setajam itu mengingatkanku akan sesorang itu yang telah lama pergi dariku selamanya.

“Aku hanya seorang pemain biola saja” jawabnya sambil tersenyum dan siap beranjak pergi. “Saya Laras, siapa nama Anda?” Cepat kulancarkan acara perkenalan kilatku. “Anthony, senang berkenalan dengan Anda, nona Laras.” jawabnya santun. Lalu menganggukkan kepalanya tanda pamitan padaku dan melangkah pergi. Astaga mengapa dia begitu misterius begini bagiku.

Aku tak mau menahan lebih lama. Aku pun membiarkan dia pergi. Mungkin cukup sampai di sini. Aku tak boleh terbawa perasaan hanya karena lagu itu. Tapi, tiba-tiba aku sangat rindu pada semua kisahku saat masih bersama seseorang yang istimewa di hatiku. Tanpa sadar menitik air mataku. Aku rindu, setelah bertahun-tahun, muncul lagi rasa itu hanya karena sebuah lagu.

Langkah pelan menuju rumahku. Membawa selembar tiket untuk konser besok malam. Kubenamkan semua rindu dan rasaku dalam buaian lagu itu lagi. Sampai aku tertidur dalam sendunya malam minggu. Dan lagi-lagi aku lupa makan malam itu.

Minggu sore menjelang, saat aku menunggu kabar dari Dika untuk pergi bersama. Tapi sampai pukul 6 saat kami janjian bertemu, tak jua ada kabar darinya. Dan aku pun masih menunggu di taman bunga. Tiba-tiba ponselku berbunyi. Senang sekali aku, itu dari Dika.

“Hai Dika, aku sudah di taman sejak 15 menit lalu. Aku datang tepat waktu bahkan lebih awal. Kamu di mana?” Kataku menyambut telpon itu.

“Haha, bagus kau datang tepat waktu. Emm tapi aku minta maaf karena aku tak bisa datang ke konser malam ini, aafkan aku.” Kecewa. Langsung itu yang kurasakan. Aku sudah terlanjur berharap bisa melihat konser musik itu setelah sekian lama. “Tapi, jangan kawatir. Aku sudah minta sepupuku datang menggantikanku. Nanti kamu datang ke konser itu bersama dia ya. Aku sudah berikan nomor telponmu padanya. Dia udah jalan. Kalau ada telepon dari nomor asing, angkat ya”

Dika tahu dari dulu aku tak pernah mau angkat telpon dari nomor asing. Karena Dika sudah berpesan begitu jadi mau tak mau, aku harus angkat telpon dari sepupunya. “Baiklah” jawabku singkat. Aku tahu Dika sangat sibuk sebagai dokter spesialis. Pantas juga kemarin dia hanya bisa menemuiku sebentar. Lamunanku buyar saat ponselku berbunyi lagi dari nomor tak kukenal. Langsung kuangkat.

“Hallo, saya sepupunya Dika. Maaf Anda ada di mana?” Suara itu sepertinya aku kenal. Siapa ya?

“Ssya duduk di sudut taman di bawah pohon tabebuya kuning. ” astaga kenapa aku bilang nama pohon bunga. Aku kupa. Apakah dia mengenali nama bunga? Ah sudahlah biar dia mencari.

Jantungku berdetak lebih kencang saat seseorang yang kukenali muncul di depanku “Anthony. Kamu?” Dengan senyum yang menghiasi wajahnya dia mengulurkan tangannya “Hallo Laras, aku sepupu Dika, Anthony. Apakah sudah siap? Bisa berangkat sekarang?” Aku menjabat tangannya dan menganggukan kepala masih dalam terkejut dan terpesona.

Ya Tuhan, apa ini kejutan dari-Mu di atas sana? Aku bersama pria pemain biola itu akan menonton konser musik klasik bersama dan ini karena Dika. Apakah ini ketidaksengajaan ataukah sudah Dika persiapkan? Aku benar-benar tak tahu.

Dalam diam kami melangkah menuju mobil sedan hitam milik Anthony, pria pemain biola yang kusuka. Dia memperlakukanku dengan sangat sopan. Membukakan pintu mobil dan mempersilahkan aku masuk ke mobilnya dengan tenang. Apakah dia tidak merasa detakan jantungku yang mungkin terdengar cukup keras bagiku.

Setengah jam perjalanan dari taman kota sampai kami tiba di tempat konser musik klasik itu. Duduk tenang dan menikmati lagu-lagu klasik kesukaan kami. Anthony juga seorang pencinta musik klasik. Hampir setiap lagu yang dimainkan dia tahu. Hingga akhirmya lagu penutup pun dimainkan. Dan lagu itu, serenade yang digubah oleh Franz Schubert.

Tanpa kubisa tahan, air mata ini menetes di lagu terakhir. Antara rasa suka, sendu, rindu menyatu di dadaku malam itu. Dan, kurasakan jemari hangat menyeka air mataku. Tanpa kata, Anthony mengusap air mataku. Itu membuatku tersentak. Dia ternyata memperhatikanku. Aku kira dia fokus hanya pada konser saja.

Dalam perjalanan pulang, Anthony tiba-tiba bersuara, “Aku sangat menyukai musik itu. Dan setiap kali di taman bunga, aku selalu ingin memainkan musik Serenade ini. Aku selalu hanyut dalam buaian rasa saat aku memainkan musik ini. Laras, kenapa kau begitu hanyut dengan musik Serenade ini? Kau sampai menangis tadi.” Entah mengapa dia, pria pemain biola ini tiba-tiba berbicara sebanyak itu.

“Aku.. aku tak tahu” jawabku singkat sambil menahan desakan dalam kalbuku. Apakah aku masih juga merindu dia yang telah selamanya pergi dariku. Ataukah aku mulai mempunyai perasaan pada pria pemain biola yang kini berbicara denganku. Apa mungkin aku bisa jatuh cinta hanya karena kami mencintai musik yang sama.

Anthony memberi senyum lembutnya. Tak lagi bicara. Dia pun mengantarku pulang sesuai pesan Dika sepupunya. Lagi-lagi dia bukakan pintu mobil untukku dengan sopannya. “Aku akan ada di taman itu setiap senja tiba menunggumu dengan musik itu” kata Anthony sebelum pulang. Aku tak bisa menjawab apapun. Aku perlu tahu rasaku kini. Apakah aku, hanya terbawa perasaan dan emosi sesaat. Ataukah aku cinta pemain biola itu? Andai aku tahu.

Itzhak Perlman plays Schubert’s Serenade accompanied by Rohan de Silva on the piano.

….

(Bersambung)

Written by Ari Budiyanti

18 Oktober 2019

#CerpenAri

Cerpen ini sudah pernah tayang di Kompasiana

Tinggalkan Balasan