“Papa mau menikah lagi tapi sinta dan adikku sinta tidak suka dengan calon Papa, dandannya norak belum lagi jika tidak ada Papa tingkahnya sok ngatur – ngatur. Tidak ada pintar – pintarnya, hanya pintar merayu Papa saja.” Aku hanya tersenyum mendengar cerita sinta tentang konflik sinta dengan Papanya. Setelah bercerita aku melihat wajah lega Sinta.
“Mau ya bu jadi Mama Sinta.” Sinta langsung memeluk diriku dan menyandarkan mukanya dibahukan, isak sinta mulai terdengar aku mengelus kepalanya.
“Sinta Ibu saja belum kenal Papa Sinta, bagaimana Ibu mau menjawab permintaan Sinta. Menikah bukan hal yang bisa diminta atau dipaksakan. Sinta merasa cocok dengan Ibu, belum tentu Papa sinta cocok dengan Ibu. Sinta bicarakan saja baik – baik dengan Papa, apa yang menjadi keberatan sinta dengan calon Papa sinta.” Panjang lebar ucapanku untuk membujuk Sinta yang sedang kalut saat ini.
“Assalamualikum.” Suara berat menganggu perbincangan kami.
Mataku menatap ke pintu majelis guru, tatapan menawan menantang menembus pandanganku.
“Bapak mencari siapa.” Tanyaku, sementara Sinta masih memeluk diriku sambil terisak.
“Sinta ada apa Nak.” Deg jantung hampir berhentik, ini Papanya Sinta, batinku.
Langkah mendekat kami membuat Sinta melepaskan pelukkannya dan memandang sosok perkasa yang bisa membuat semua wanita yang memandangnya tertawan.
“Papa kok di sekolah Sinta, bukannya ada rapat?”
“Kok Sinta tahu Papa ada rapat.”
“Tante Ita yang menelephone Sinta, katanya Papa ada rapat tidak bisa jemput Sinta.” Ucap Sinta kesal jelas terdengar di telingaku.
“Sinta kenapa menangis?” Netra Papa sinta memandangku, deg aku tertawan dengan hitam legam bagai lautan pandanganya.
“Sinta marah dengan Papa, hanya bu Aisyah yang bisa menenangkan Sinta.”
Aku terkejut dengan ucapan sinta dan lebih terkejut lagi dengan tiba – tiba sinta kembali memelukku.
Aku hanya bisa memberikan tatapan bingung kepada Papanya sinta.
“Pak biar sinta sama saya dulu, kalau sudah tenang saya akan telephon bapak untuk menjemput sinta. Saya izin untuk membawa sinta pulang kerumah saya?” ucapankun mendapatkan anggukan kepala oleh Papanya Sinta.
***
Ibu memandang aku dan Sinta bergantian, aku memberikan kode kepada Ibu untuk tidak bertanya dulu.
“Sinta ini Ibu saya.” Aku memperkenalkan sinta dengan ibuku
Setelah mencium tangan ibuku, kami berdua berjalan menuju kamarku.
“Sinta istirahat dulu, ibu mau keluar dulu nanti ibu kembali.”
Aku meninggalkan sinta di kamarku menuju ruang tengah dimana Ibuku sedang menonton acara drama sore di salah satu stasiun TV Nasional.
“Ibu maaf Ais terpaksa membawa pulang siswi Ais, dia lagi ada masalah dengan Papanya.” Sambil berkata aku merengkuh bahu ibuku dan bersandar di bahu tuanya.
“Ibu sih tidak keberatan, asal jangan nanti orang tuanya datang dan marah – marah seperti waktu lalu.” Rajuk Ibuku.
“Ais sudah izin untuk membawa anaknya bu.” Aku memeluk Ibu untuk menyakinkannya.
***
Suara mobil terdengar di luar rumah, aku sudah menelephon Papanya sinta untuk menjemput anakknya. Sinta lagi bergurau senda dengan Ibuku, ketika Papa sinta mengucapkan salam. Netranya memandang takjub melihat ke akraban Ibuku dan anakknya.
“Sinta pulang dulu ya Nek.” Ucap sinta manja
“Kok Nenek, Sinta kan seumuran dengan anak Ibu yang bungsu.” Canda ibuku kepada Sinta
“Tapi sintakan calon cucu nenek, Ibu Aiskan mau jadi Mama Sinta.” Ucap sinta penuh pengharapan.
Kami orang dewasa yang mendengar ucapan sinta saling pandang, ketika pandanganku bertemu dengan pandang Papa Sinta, secepat kilat aku mengalihkan netraku, ada rasa jengah dan malu mendengar penuturan Sinta.
“Sinta balik dulu ya Nek, Mama.” Dengan santainya Sinta mencium pipi Ibuku dan pipiku dan berlalu dari depan kami dan mengandeng tangan Papanya.
“Maaf bu, saya pamit. Terima kasih sudah menerima anak saya dengan segala perbuatan tidak sopannya.” Ucapan Papa Sinta hanya mendapatkan anggukan kepala dari Aku dan Ibuku.
***