Dani masih saja manja, padahal sudah tidak panas lagi. aku melirik jam dinding sudah lewat pukul dua puluh satu, apakah aku harus menginap lagi, Dani bagaikan anak kanguru yang menempel tidak mau lepas.
Pintu kamar Dani terbuka, sosok Bang Dahlan dipintu dengan raut wajah yang tidak aku mengerti.
“Hana bisa menginap lagi di sini, malam ini?” wajah Bang Dahlan sedikit cemas ketika mengatakan itu.
“Abang akan minta izin Ayah Hana, jika Hana mau menginap di sini.” Ada rasa bersalah ketika Bang Dahlan mengatakan itu.
“Sudah malam jika Hana harus pulang sekarang, tidak enak dengan tetangga juga.” aku hanya mendengarkannya saja tanpa menyela perkataan Bang Dahlan.
“Bagaimana Hana, maukan menginap di sini.” Sekali lagi aku mendengar suara Bang Dahlan.
Akhirnya aku mengangguk, handphoneku berbunyi aku meraihnya untuk menerima panggilan ternyata Ayah yang menelepon
“Assalamualaikum Yah.”
“Walaikumsallam, Hana tidak pulang?” suara Ayah terdengar dari seberang sana
“Boleh Hana menginap di rumah Mak Long Yah. Dani masih rewel.” Jelasku kepada Ayah
“Berarti besok Hana tak ke sekolah lagi?”
“Subuh Hana pulang Yah, besok Hana ke sekolah.”
“Ya, sudah. Salam sama Mak Long dan Abang Dahlan Kau, assalamuakum.” Ucap Ayah menutup percakapan kami.
Tak sadar Mak Long dan Abang Dahlan memperhatikan ketika aku menerima telepon dari Ayah.
***
Waktu berlalu, Dani semakin tidak bisa lepas dariku hal ini tidak lepas dari pantaun Ayah dan Mak Long, sebenarnya aku sedikit cemas dengan ketergantungan Dani terhadap diriku. Sudah berbagai cara aku lakukan untuk menjaga jarak dengan Dani, tapi ujung – ujungnya Dani akan sakit malah aku tambah sulit untuk menjaga jarak kami.
Selentingan mereka berkata sudah sampai di telingaku, ada rasa cemas takut Bang Dahlan murka dengan berita yang beredar. Betul kata Ayah lebih senang menutup mulut tempayan daripada menutup mulut warga, berniat baikpun kadang menjadi tidak baik jika sudah ada campur tangan warga yang memperburuk keadaan.
Aku mulai di senang dengan semua mulut tempayan yang mulai membicarakan perihal aku yang selalu berdekatan dengan Dani, mulailah ada yang mengatakan bahwa aku mengincar Bang Dahlan dengan cara mendekati Dani.
“Nak ke rumah duda ye Hana, jumpa Anak atau Bapaknya.” Sungguh aku terganggu dengan ucapan salah satu tetangga kami yang menyapa ketika aku mau ke warung depan rumah yang kebetulan melewati rumah Mak Long. Malas menanggapi aku berjalan sampai melempar senyum yang pastinya senyum kecut.
***
“Assalamualaikum.” Suara Bang Dahlan terdengar di teligaku.
Sebenarnya aku malas untuk mengangkat panggilan dari Bang Dahlan, sudah dua minggu aku menghindari Dani, sejak mulut tempayan tetangga mengusik ketenanganku.
“Walaikumsallam.” Jawabku singkat
“Dani dirawat, jika tidak menganggu datanglah menjenguk Dani. Assalamualaikum” padat singkat, tapi membuat hatiku merasa sakit.
“Dani sakit.” Batinku melirih ada rasa sesal mendalam dadaku.
Aku memandang jam dinding di dalam kelas masih lama waktu pulang, tapi sungguh hatiku tidak tenang. Selama dua minggu ini aku berusaha meredam rasa rindu kepada Dani tapi mengingat mulut tetangga yang menyakitkan aku menghindar, dan lihatlah anak kecil yang tidak bersalah yang menanggung akibatnya. Tak bisakah aku menyayangi Dani tanp embel – embel ingin mendekati Papanya.
Bunyi bel panjang, mengantar langkahku menuju rumah sakit, walaupun aku tahu jam besuk sudah berlalu. SesampHanaya di rumah sakit aku menelepon Bang Dahlan
“Assalamualikum Bang, Hana di lobi rumah sakit.” Begitu telepon kami tersambung
“Walaikumsallam, sebentar abang susul di lobi.” Ucap Bang Dahlan
***