Langit tidak selalu cerah, ada awan medung sesekali melanda tidak hanya dengan hujan lebatnya tapi juga hujan pada hari yang cerah sungguh semua di luar dugaan, hanya Maha Kuasa yang punya hak untuk mengaturnya. Sebagai insan tentu hanya biasa menjalani dengan segala kekuatan yang ada, sembari tak lupa berdoa untuk kuat menghadapinya.
“Ais, makan yuk. Umi lapar.” Seperti sadar dari lamunan aku memadang pintu kamarku, umi berdiri di sana dengan senyum yang aku tahu di paksakan.
Aku dan Umi bagaikan pinang di belah dua, kami selalu menderita dengan yang namanya cinta. Umi harus rela dimadu, hanya karena keinginan Abi untuk memiliki anak lelaki setelah Umi divonis tidak bisa memiliki anak lagi setelah Umi melahirkanku 23 tahun yang lalu.
Aku mengeluh dalam hati, memandang wajah yang selalu memberikan kehangatan dalam hidupku. Maafkan Ais, Umi batinku dalam hati.
“Ayo Umi, Ais juga sangat lapar.” Ujarku berdusta dalam kata serta dalam senyum yang aku berikan kepada Umi.
***
Langit kamar terus ku tatap, larut tapi mataku masih tidak mau di ajak untuk ke alam mimpi. Semua seperti terlihat nyata, padahal sudah lebih dari sepekan aku melihatnya. Air mata tidak lagi mengalir seperti beberapa hari terus keluar tanpa bisa aku bendung jika mengingatnya.
“Bang Farhan.” Ucapku lirih tak percaya
Begitu banyak orang yang berlalu lalang, tapi aku pasti yang lagi mengandeng mesra di depan sana adalah Bang Farhan.
Aku berusaha mendekatkan jarak kami, tapi karena banyak orang di Mall di akhir pekan, akhirnya aku kehilangan jejak Bang Farhan.
Flashback
Sudah lebih tiga kali aku mendail nomor Bang Farhan, tapi sepi tak ada jawaban. Akhirnya aku memilih untuk mengetik SMS saja.
“Assalamualaikum, Abang lagi di mana?” tulisku
Sedetik dua detik berlalu hampir satu jam tidak ada jawaban dari Bang Farhan.
“Sibuk ya Bang.” Aku mengetik lagi SMS dan terus memandang android pintarku dengan wallpaper aku dan Bang Farhan sewaktu kami tunangan. Aku tersenyum melihatnya, moment yang paling berharga ketika Bang Farhan menyematkan cincin di jari manisku, tanda Bang Farhan mengikatku jangan sampai di ganggu pria lain.
Belum juga ada jawaban dari SMS-ku, tidak seperti biasanya sebelum bertunang Bang Farhan bagaikan lintah yang selalu menempel tak bisa lepas. Tapi sejak akhir – akhir ini, aku seperti kehilangan sosok Bang Farhan yang susah dihubungi. Akhirnya aku memutuskan untuk ke Mall sendiri, keluar dari rencana semula untuk mengajak Bang Farhan, dan aku melihatnya di sana, Mall bergandengan dengan wanita yang tidak aku kenal.
Aku masih menatap langit kamarku, ada sesak yang mendalam tapi aku belum mendapatkan kabar dari Bang Farhan.
***
Tubuh lelahku, ku paksakan untuk bangun dari tidur tidak nyenyakku. Berjalan menuju kamar mandi mengambil wudhu aku ingin mengadu kepada-Nya.
Tak dapat lagi aku tahan airmata setelah salam berakhir, aku menadahkan tangan mengadu kepadanya.
“Ya Allah aku tidak mau berburuk sangka tapi ada luka melihat dirinya dengan wanita lain. Ada rasa terbuang dengan ketidak hadirannya selama sepekan ini, tapi hanya padamu aku mengadu. Isakku semakin kuat, sesak melanda tapi aku tetap mengadu kepada-Nya. Semua kelah kesah aku panjatkan hanya untuk mendapatkan ketabahan dalam menunggu jawaban. Lambat lambat penglihatanku semakin kabur, aku menangis dalam doaku dan terlelap.
***
Ketukan di pintu membangunkanku, rasa lelah sebelum tertidur dalam doaku membuat tubuhku merasa tidak nyaman. Aku gerakkan badanku untuk menghilangkan rasa yang bukan hanya pada tubuhku tapi pada jiwaku juga.
menatap pintu, bangun dari kondisiku dan membuka pintu. Wajah Umi terpampang jelas di pintu dengan kecemasan yang tinggi. Aku memberikan senyum untuk menenangkannya.
“Umi kenapa wajahnya?” senyum dustaku terhias di wajah untuk mengelabuinya.
“Sudah pukul delapan, tidak biasanya Ais belum keluar dari kamar. Umi sudah mengetuk lebih setengah jam.” Suara Umi cemas, tangannya langsung memegang keningku.
“Habis sholat hajat tertidur lagi Umi, lagian hari ahad Umi, mau istirahat.” Jelasku dengan senyum terhias di wajahku, semoga bisa mengusir cemasnya.
“Ada Farhan di depan.” Ucap Umi
“Apakah ini jawaban dari doaku dini hari tadi.” Batinku.
“Ais siap sebentar ya Umi.” Setelah mengatakan itu aku bergegas ke kamar mandi membersihkan diri kemudian mengenakan baju gamis santai dan meraih jilbab instan untuk menutupi kepalaku. (bersambung)