Berjalan menuju ruang tamu, Bang Farhan duduk sambil memainkan androidnya. Langkah tidak di sadari Bang Farhan, apa yang diperhatikan Bang Farhan sampai tidak menyadari kehadiranku, batinku mengumam.
“Assalamualikum Bang.” Suaraku membuat Bang Farhan terkejut batinku mengumam.
“Assalamualikum Bang.” Suaraku membuat Bang Farhan terkejut.
“Walaikumsallam.” Suara Bang Farhan terbata, matanya menyembunyikan sesuatu.
“Maaf lama nunggunya Bang, tadi mandi dulu.” Ucapku malu
“Pantas bau.” Canda Bang Farhan, sambil lempar senyum terpaksa kepadaku
Aku melihat ada yang beda dengan Bang Farhan, mungkin ini yang namanya instring wanita. Aku mengambi kursi tepat di depan Bang Farhan, biasanya dia akan marah dan meminta untuk duduk di sebelahnya, walaupun aku berkeras kami belum mukhrim tetap saja Bang Farhan memaksa. Seditik dua detik lebih dari lima belas menit tidak ada nada protes dari Bang Farhan aku, bahkan saat ini suasana hening melanda kami tidak ada yang memulai pembicaran hanya mataku sekali – sekali berpas – pasan dengan mata Bang Farhan yang langsung di alihkannya, tidak seperti biasanya yang selalu menatapku tapi aku yang akhir menunduk malu karena ditatap olehnya.
“Ais melihat Abang minggu kemaren di mall.” Aku memecah keheningan yang melanda kami.
Ada keterkejutan di netra Bang Farhan, duduknya tidak lagi tenang aku terus memperhatikannya.
“Abang sama siapa?” kejarku lagi
“Ais jangan salah faham dulu, itu hanya bekas pacar Abang dan sekarang kami hanya berteman.” Ucapnya dengan intonasi tidak tenang
“Teman tapi mesra Bang.” Lirihku menahan sakit yang menyerang hatiku seketika.
“Sepekan Abang hilang tanpa berita, kemana? Ada apa?” keluhku dengan sesak di dada.
“Android Abang rusak, ini baru di ambil.” Jelasnya sampai menunjukkan adroidnya kearahku.
“Rusak kok bisa posting status WA.” Cercaku lagi dengan kesal yang membucah.
Tidak seperti biasanya, percakapan kami selalunya didominan oleh Bang Farhan tapi hari ini Bang Farhan hanya menjawab apa yang menjadi pertanyaanku. Pertanyaanku terakhir mengatung aku tidak melihat reaksi Bang Farhan untuk menjawabnya hanya hembusan napas berat yang aku lihat berulang kali dilakukan Bang Farhan.
“Bang, jangan ada kebohongan. Bukankah Abang selalu mengadang – gadangkan kejujuran dalam perhubungan kita.” Dengan intonasi yang ku tahan aku tidak mau emosi dalam menghadapai persoalan kami.
“Maafkan Abang.” Suaranya terdengar setelah helaan napas berat yang di keluarkan dari mulut Bang Farhan
“Maaf, apa yang mau di maafkan.” Ucapku masih menahan sakit yang semakin mendera dada.
“Abang larut dalam masa lalu, tapi Abang khilaf.” Nada sedihnya tidak membuat hatiku menjadi lega.
“Masih mau larut dalam masa lalu, kalau begitu biarkan masa sekarang kita putuskan.” Aku berusaha membuat suaraku terdengar tegar dengan menahan sakit yang menohok hatiku tajam.
“Aisyah.” Intonasinya tinggi dengan nerta membulat, tidak percaya dengan apa yang aku katakan.
“Lebih baik sekarang daripada terlambat Bang.” Masih dengan sakit sekarang mengeluarkan darah kental dari hatiku aku berbicara berusaha tegar.
“Aisyah, sepekan ini sudah cukup buat abang munasabah diri. Abang tidak mau kehilangan Aisyah, maafkan Abang. Abang mohon Aisyah.
Haruskan aku percaya kepada Bang Farhan?
***
“Sah” suara penghulu bertanya kepada para saksi terdengar
“Sah sah sah.” Riuh rendah semua menjadi Sah sehingga ruangan ijab Kabul menjadi meriah.
Doa doa malamku terjawab dengan hari ini aku sah menjadi istri Bang Farhan, hanya padanya aku mempasrahkan diri, mencoba berdamai dengan hati. Semua pasti ada ranjaunya begitu juga dengan kata para tetua, masa bertunang merupakan cobaan awal dari jenjang perkahwinan. Hadapi rintangan dengan bertanya kepadanya, jangan hanya menurut emosi permainan setan. Tak ada gading yang tak retak begitu juga dalam perhubungan, aku mencoba menepis duka dengan cara berdamai dengannya, cintaku semoga kekal sampai ke janah walau ada luka di awalnya.***