Seribu Rasa (1)

Terbaru41 Dilihat

Pemandangan yang mungkin biasa saja, tapi menjadi luar biasa jika objek pemandangan adalah orang yang begitu kita kenal. Rasanya aku tidak akan salah mengenalinya bagaimana tidak, setiap malam yang menjadi gulingku adalah dirinya, melihat dia tersenyum bebas serta sesekali tangannya menjamah legan gadis yang mungkin seumuran dengan adiknya yang bungsu.

Netraku terus mengamati mereka, sungguh menyesal kenapa juga hati ini kekeh untuk datang ke tempat yang seharusnya melepas segala lelah akhirnya membuat hatiku bertambah lelah dengan suguhan yang tidak hanya menyakitkan netra tapi seluruh sel di tubuhku.

Akhirnya langkahku terhenti ketika, dia tiba – biba membalikkan badan. Apakah dia merasa sejak lebih satu jam, entah karena apa langkahku terus mengikutinya. Netra kami bertabrakan, tidak terlihat keterkejutan di sana, hanya aku yang tiba – tiba merasa bersalah mengikitunya.

Ada apa denganku, kenapa aku yang merasa bersalah, bukankah seharusnya dia yang seharusnya merasa bersalah sudah mengkhianatiku, tapi sekali lagi aku mengelengkan kepalaku. Dia tidak bersalah, kami memang menikah tapi hanya turun ranjang.

Dengan langkah lemah, aku membalikkan badan melangkah meninggalkan luka dari pemandangan yang sudah membuat hariku bertambah buruk hari ini.

***

Flash back

Aku terima nikahnya Alia Sahra binti Aidil Ahmand, hanya itu yang terdengar di indra pendengaranku sudah tidak ada artinya penolakan kerasku beberapa bulan ini terhadap dirinya. Aku hanya bisa meratapi nasib tragisku, hanya kasih dan sayang kepada peninggalan berharga dari kakakku yang masih merah menjadikan aku ibu sambungnya.

Bang Zikra memberikan tangannya untuk aku cium, setelah itu kami menanda tangani surat nikah yang mengikat diriku selamanya dengan dirinya.

Suasana pesta karena aku anak dara meriah tak kalah dengan pesta kakakku bersama Bang Zikra, meriahnya pesta tidak membuat kami bahagia terutama diriku yang hanya bisa memberi senyum terpaksa karena tidak mau mengecewakan Ayah dan Ibu yang sejak aku bersedia menikah dengan Bang Zikra senyum tersungging kembali di bibir mereka.

Umurku memang sudah bisa dikatakan anak dara tua, sudah hampir kepala tiga tapi karena aku yakin belum di kirimkan seseorang yang istimewa oleh-Nya aku biasa – biasa saja, tapi tidak dengan kampung halamanku, itulah menjadi alasan mengapa dengan terpaksa aku menerima pernikahan yang istilah kampung turun ranjang. (bersambung)

***

Tinggalkan Balasan