KMAB-H6-Cerpen 2-Taman Cinta di Rumah Tua Part 1

Cerpen141 Dilihat
Rumah Joglo
Rumah Joglo Hardjono’s Familly. (Dok: yis)

Suara itu merasuk ke dalam mimpiku. Suara sepasang kaki putih langsing menapaki dedaunan kering di taman dekat kolam. Sandal japit berwarna putih dengan tali berwarna hijau itu selalu dipakainya. Rok motif bunga mawar merah kekuningan itu berayun gemulai sebatas betis seiring langkah kakinya. Ia mengelilingi tanaman bunga kembang kertas yang ditanam dengan tangannya sendiri di sepanjang kolam. Angin riuh memainkan rambut hitamnya yang terurai sepanjang pinggang. Sosok cantik itu tiba-tiba berjongkok, meraih tangkai bunga mawar berwarna pink dan menghirup wanginya. Matanya terpejam seolah hendak meraup aromanya dan menyimpannya di dadanya. Bibirnya mengembang, menampakkan senyuman khas yang mendamaikan hati siapa saja yang melihatnya. Ia berpaling melemparkan tatapan tajamnya ke arahku.

“Ibu! “pekikku dengan nafas memburu. Aku terbangun dari tidurku.

Sosoknya masih saja melekat dalam ingatanku. Kembali aku memimpikan ibu, meski sudah sepuluh tahun yang lalu ia hembuskan nafas terakhirnya. Kepergiannya membuat ombak samudera kehidupan kami bergolak. Perahu kami oleng tak tentu arah selama dua tahun. Penyakit itu telah merampas senyumnya, mengibarkan bendera duka di hadapan kami semua. Kami terhenyak tak percaya. Memang ibu batuk terlalu lama. Seringkali ia letih dan pucat kala beraktifitas. Nafasnya memburu dan nampak sesak. “Hanya karena debu akibat terlalu lama di taman,” jawabnya apabila kami bertanya. Berbagai cara kami lakukan untuk membujuk ibu ke dokter, namun hasilnya nihil. Karakter keras kepala ibu ini agaknya menurun padaku. Dokter pun kami selundupkan ke rumah tanpa ibu duga ketika ibu tergolek letih tak berdaya.

Menanti kabar pemeriksaan dokter rasanya bagai menanti hasil ujian kelulusan. Tanpa banyak kata, dokter memutuskan ibu harus opname untuk dapat diperiksa lebih mendalam. Satu koper pun aku siapkan. Raut wajah ibu tak terbaca. Ia marah pastinya. Hal yang tak diinginkannya harus terjadi. Ia harus bersahabat dengan rasa sakit sebagai pasien rawat inap di rumah sakit. Hal itu merampas kebahagiaannya. Kebahagiaannya adalah berada di tengah keluarganya sembari merawat tamannya. Menurutnya, hidup yang singkat ini harus dijalani dengan bahagia. Ya, aku tahu ibu tidak ingin kami bersedih karena sakitnya.

Kabar gembira tak jua kami terima sejak ibu mulai keluar masuk rumah sakit. Berat badannya semakin menurun. Vonis dokter membuat kami terhenyak tak percaya, kangker paru-paru. Kami tersedu menatapnya tak berdaya. Seringkali bapak nampak putus asa. Istri tercintanya yang selama ini ia puja, harus menanggung penyakit kejam yang akan menggerogoti tubuhnya. Bagaimana penyakit ini bisa menderanya? Kami pun tak kuasa menolak takdirNya. Mengapa harus ibu? Sosok ceria dengan begitu banyak ide cemerlang di benaknya. Sosok wanita yang begitu mencintai alam dan menghabiskan waktu senggangnya untuk bercengkrama dengan berbagai tanaman yang ditanamnya. Sosok yang begitu kreatif membuat beraneka kerajinan dari berbagai benda di sekitarnya.
Satu tahun yang berat dalam hidupnya. Namun tak pernah sekali pun kudengar ibu mengeluhkan sakitnya. Ia selalu tersenyum meski tubuhnya meronta. Tak bosan ia selalu berpesan kepada bapak agar mengurus tanaman sebelum berangkat mengajar. Kepadaku ibu tak banyak menuntut, meski sempat menyelipkan pesan yang akan kuingat sepanjang masa.

“Nok… kau kini sudah remaja. Sudah SMP kelas satu. Berhati-hatilah dalam bergaul dan tumbuhlah menjadi wanita yang selalu peduli pada apa saja, pesan ibu saat itu. Dengan tubuh lemahnya ia memintaku mengajaknya ke taman rumah sakit mengunakan kursi roda.
***

Pesan ibu itu bagaikan pasak dalam hidupku, yang menopangku selama sepuluh tahun terakhir ini sejak ibu meninggal. Pesan sederhana yang begitu luas apabila dijabarkan. Kata peduli yang ibu tekankan membuatku tak bisa diam berpangku tangan pada hal apapun yang terjadi di sekitarku. Di sekolah, tahu-tahu aku sudah aktif dalam berbagai kegiatan OSIS dan bakti sosial. Di kampung ini, tanpa aku sadari aku sudah menjabat pengurus inti dalam organisasi muda-mudi. Di kampus dan di madrasah tempat aku mengajar pun aku seperti orang yang bekerja tak mengenal lelah.

“Bu, sungguh aku ingin berbicara denganmu meski hanya dalam mimpiku. Semoga ibu tenang di sana. Kami baik-baik saja. Kami rindu ibu,” bisikku sembari menatap foto ibu yang kupasang di dinding kamarku.

Aku bergidik. Hawa dingin menggelitik kulitku. Kurapatkan selimut menutup tubuhku hingga dagu. Kulirik jendela yang terbuka. Rupanya gorden tebal berwarna marun itu tak dapat menghalau hembusan angin malam ini. Di luar sana, lonceng yang kugantung di pohon palem riuh berbunyi. Lonceng yang dibuat dari bekas kaleng susu, yang dulu sering ibu ajarkan padaku. Aku tersenyum, kali ini aku tak hanya membuat satu. Kemarin kugantungkan lima lonceng di pohon yang berbeda. Aku suka suaranya. Seolah menyenandungkan kerinduanku pada ibu.

Di atas sana, sang waktu mengabarkan bahwa malam hendak berlalu. Kupakai jaket rajut kesayanganku, peninggalan ibu. Kulangkahkan kakiku menuju keran air di taman samping kamarku. Selesai berwudhu, sejenak aku menenggelamkan diri dalam keheningan. Duduk di bangku taman yang dibuat bapak setahun lalu. Aku bersyukur ibu mewariskan banyak ilmu. Ilmu itu ibarat tunas pohon baru. Meski pohon tumbang karena keadaan, tunas-tunas itu akan tumbuh menggantikan keberadaan pohon itu.

Dari rumah tetangga sebelah, sayup-sayup terdengar cerita wayang punokawan dari radio. Irama musik gamelannya yang sangat indah, membuat lamunanku melambung pada saat aku belajar gamelan di laboratorium karawitan di kampusku. Aku bersyukur bisa mendalami mata pelajaran yang sejak dulu menjadi favoritku, Bahasa Indonesia. Belajar Bahasa Indonesia ternyata tidak hanya tentang bahasa. Kami juga ditempa dengan ilmu seni, sejarah, sosial, dan budaya. Hal yang kusuka diantaranya memainkan gamelan dan seni pertunjukkan. Kesenian wayang memadukan keduanya dengan begitu sempurna. Tidak hanya wayang orang, tetapi wayang kulit pun begitu luar biasa. Mendengarkan wayang kulit dari radio seperti ini bagiku penuh tantangan. Imaginasiku melejit membayangkan berbagai karakter tokoh wayang yang diceritakan oleh dalang dengan berbagai karakter suara yang khas dan tegas.

“Belum tidur, Sri? Aku terkejut dan berpaling ke arah suara. Bapak rupanya. Sosoknya terhalang pohon palem besar itu.

“Nglilir, Pak.” Hampir pagi, lalu Sri berwudhu, jelasku.

Bapak mendekat, lantas duduk di sisiku. Kulihat wajahnya sekilas. Masih ada kilat bening di ujung matanya yang luput dari usapannya. Bapak tadi menangis rupanya. Ada apa dengannya? Sejak ibu meninggal, bapak seolah kian rapuh. Kerinduannya pada ibu membuat bapak merawat taman ini bak istri kedua.

“Bapak ingat ibu?” Tanyaku.

“Bapak tidak mungkin lupa, Sri. Sekarang Bapaklah yang merawat taman ini, karena ibumu sangat mencintai taman ini. Banyak jejak ibumu yang abadi dalam ingatan Bapak di taman ini. Jadilah seperti ibumu, Sri, pandai berkebun. Bapak tidak bisa mengharapkan Pardi untuk mencintai taman ini,” jelas bapak murung.

“Nggih, Pak. Bapak tidak usah memikirkan mas Pardi. Mas Pardi tidak akan mengingat rumah kalau sedang berkumpul dengan teman-teman senimannya itu. Apalagi untuk merawat taman ini. Mas Pardi tidak akan mau tangannya kotor karena tanah lembek dan pupuk organik. Ia memilih tenggelam dalam aktivitasnya menggambar gadis berselendang hijau penguasa pantai selatan itu. Mas Pardi pasti sudah tergila-gila dengan Nyai Roro Kidul, Pak,” jelasku sambil terkekeh. Aku tidak ingin melihat bapak sedih.

“Masmu itu pemimpi. Tidak hanya mitos, masmu itu juga percaya tahayul. Yang nyata dan bikin hati adem begini dia tidak mau tahu,” timpal bapak sambil juga terkekeh geli.

“Iya, Pak. Lihat saja betapa senangnya mas Pardi kalau pergi ke Pantai Parangtritis? Seperti mendatangi rumah pacarnya saja,” ujarku.

“Huss. Ngawur kamu, Nduk. Bapak yakin masmu itu masih waras. Ia hanya mencoba mendalami budaya. Kalau sudah bertemu dengan gadis yang tepat, pasti Pardi juga akan menikah. Biar dia berkarir dulu.” Bapak menyayangi mas Pardi. Itu jelas dari semua pendapatnya tentang putra satu-satunya itu.

“Pak, mas Pardi itu disukai sama mbak Menik putrinya pak dukuh. Tetapi mas Pardi tampaknya tidak tertarik. Padahal mbak Menik itu baik, pintar, cantik lagi,” jelasku. Bapak tersenyum.

“Yo biar, Sri. Masmu itu belum mau nikah. Jangan-jangan kamu yang malah sudah mau nikah?” Goda bapak.

“Sri baru 22 tahun kok, Pak. Belum lulus juga. Kalau duluan Sri nikahnya daripada mas Pardi, itu nggak pantes, Pak. Namanya… emh… anu..” jawabku bingung.

“Namanya Plangkah. Kalau kamu sudah ada calon yang kamu suka, ya tidak apa-apa. Contohnya si Yanto itu? Orangnya bapak rasa cukup baik, sholeh, dan sudah memiliki pekerjaan mapan,” jelas bapak tersenyum menatapku yang menunduk malu.

“Ah, Bapak ini ada-ada saja. Sri tidak akan pacaran. Besok kalau ada yang melamar dan bapak setuju, Sri pun akan setuju menikah. Apa pun yang menurut Bapak baik, pasti baik juga untuk Sri,” jawabku sewot, sementara bapak malah justru tertawa.

“Ya sudah. Semoga kelak kalian mendapatkan pasangan yang terbaik. Besok coba akan Bapak ajak Pardi membuat pagar taman. Bapak sudah membeli semen dan batu bata. Ibumu suka kalau taman itu dipagari, biar rapi.”

“Dulu, ibu ingin di ujung sana itu ditanami sayur-sayuran dan obat-obatan. Besok kita buat ya, Pak?” Pintaku sambil tersenyum menerawang. Kelak pojok taman itu akan rimbun berkat tanaman warung hidup dan apotik hidup yang tumbuh subur.

“Iya, selesaikan dulu skripsimu, Sri. Ibumu ingin kamu jadi sarjana dan sukses. Sekarang tahajudlah, sebentar lagi Bapak masuk.”

Bapak ingin sendiri. Aku tahu itu. Sering bapak merenung di taman itu hingga larut malam. Seoalah bapak ingin meraup kenangan keberadaan ibu di taman itu.

Di usia lima puluh empat tahun bapak menghabiskan sebagian besar waktunya untuk mengabdi pada sebuah madrasah bersama beberapa temannya yang kini tempatku mengajar. Sekolah rintisannya itu bagaikan rumah kedua baginya. Beberapa benda seperti meja dan kursi bertuliskan MTs AIN yang masih tertinggal di rumah menjadi saksi bahwa madrasah yang kini bernama MTsN 2 Bantul ini pernah bernaung di Pendopo di dalam rumah Joglo tua ini. (Bersambung)

Tinggalkan Balasan