KMAB-H18-Cerpen 9-Belajar Ikhlas

Cerpen96 Dilihat
Belajar ikhlas. (dok:yis)

Namaku Yuli, seorang guru honorer yang mengabdi pada madrasah tsanawiyah negeri di wilayah Yogyakarta. Aku memulai karir menjadi seorang guru bahkan sebelum aku lulus kuliah, pertengahan tahun 2005 tepatnya. Keberanian itu datang ketika aku mendengar kabar bahwa ada madrasah tempat ayahku dulu mengabdi akan membutuhkan guru Bahasa Indonesia untuk menggantikan guru yang sebentar lagi akan pensiun.

Dari informasi tersebut, selang beberapa waktu, aku pun mengirimkan lamaran ke madrasah tersebut dengan melampirkan nilai kuliah. Kebetulan nilai KKN PPLku tertulis A di sana dan semua SKS sudah kuselesaikan. Alhamdulillah, kabar baik pun datang dari tetanggaku yang menjadi seorang pegawai TU di sana. Ia memintaku untuk datang ke madrasah dan menyampaikan bahwa lamaranku diterima. Aku berkomitmen untuk bekerja dengan baik sembari mengerjakan skripsi. Setelah SK kudapatkan, kupelajari banyak hal di sana sembari menunggu jadwal pelajaran diberikan dan menunggu guru Bahasa Indonesia pensiun.

Singkat cerita sejak awal semester genap, aku sudah mendapatkan jam mengajar penuh di madrasah itu. Pengalaman mengajar sebanyak 30 kali selama Praktik Pengalaman Lapangan (PPL) di SMP cukup membuatku dapat berdiri tegak di hadapan para siswaku tanpa grogi. Ah, sejak PPL aku merasa mengajar itu memang menyenangkan. Aku memperlakukan para siswaku sebagai teman belajar. Aku suka memotivasi mereka untuk terlebih dahulu menyampaikan apa yang mereka tahu tentang hal yang sedang kami pelajari, aku mengumpulkan opini mereka baru menunjukkan pembenarannya. Tak jarang kami pun mencari jawaban dari pertanyaan mereka bersama-sama. Mereka senang ketika kuminta mengambil sebuah buku di perpustakaan. Mereka pun berebut demi mendapatkan kesempatan pertama untuk membacanya.

Usiaku dengan siswaku saat itu hanya terpaut 5 atau 6 tahun. Hal ini membuat kami seperti teman sebaya. Meski demikian mereka tetap menghormatiku sebagai seorang guru. Mereka tetap memanggilku dengan sebutan ‘Bu’. Kuberi pengertian pada mereka tentang target yang harus kami capai bersama-sama hingga akhir semester nanti. Terkadang aku bersikap seperti sama tidak tahu tentang materi yang sedang kami pelajari bersama, maka mereka pun dengan semangat akan mencari tahu dan memberitahukan penemuan mereka padaku. Menggelikan tetapi juga menyenangkan. Yang pasti semangat belajar adalah hal utama yang ingin kutumbuhkan pada diri mereka. Aku tidak ingin mereka merasa takut dalam belajar di kelas, karena hal ini akan membatasi ruang gerak mereka untuk mengeksplorasi kemampuan mereka.

Satu semester hampir berlalu, semua nilai mulai kukumpulkan begitu juga dengan data skripsiku. Mengajar sembari mengerjakan skripsi tentu tidak mudah. Aku harus pandai-pandai mengatur waktu. Malam hari aku menyiapkan skripsiku, pagi hiingga siang aku mengajar, sorenya aku ke rumah kakak untuk ngetik dan ngeprint skripsi atau mengunjungi rumah dosenku di Kalasan Sleman Yogyakarta untuk bimbingan skripsi. Hingga gempa bumi yang mengguncang Yogyakarta pada 27 Mei 2006 menghancurkan segalanya. Berkas-berkas nilai dan penelitian hancur tak terbaca. Aku harus mengikhlaskan banyak hal termasuk daftar nilai dan data penelitianku. Dari sini, melihat binar semangat para siswaku, kembali aku mendapatkan kekuatan untuk bangkit. Memulai semuanya kembali dari nol, dengan pengambilan data selama pembelajaran bersama mereka di bawah tenda.

Perlahan madrasah sudah kembali berdiri tegak dan bisa ditempati. Kami kembali bisa belajar di dalam kelas. Bersama mempelajari bagaimana cara berpuisi, bercerita, berpidato, dan berkarya. Hingga suatu ketika sebuah pertanyaan terlontar dari salah seorang siswa,

“Bu, gelar di belakang nama bu Yulian apa ya? Ini mau saya tulis di dalam karangan saya,” ungkap gadis manis dengan senyum dan binar mata polosnya.

Aku terdiam. Ah benar, aku belum juga menyelesaikan skripsiku, padahal tahun 2006 segera berlalu. Kupandangi kembali gadis manis itu, kulangitkan doaku.

“S.Pd, Sarjana Pendidikan, nduk. Insyaallah,” jawabku mantab.

Ya, aku berjanji sebelum tahun berganti naskah skripsiku sudah jadi hingga 5 bab.

Hari demi hari kulalui rutinitasku. Pagi mengajar, siang membantu keluarga membenahi rumah yang hancur karena gempa. Alhamdulillah masih ada joglo yang tidak ikut runtuh, sehingga bisa untuk berteduh. Kami sekat joglo tersebut dengan kain-kain selimut lebar bantuan dari para dermawan, hingga menjadi 6 bagian. 4 untuk kamar tidur, 1 untuk ruang tengah, dan satu lagi untuk ruang tamu.

Alhamdulillah aku mendapat satu petak kamar ukuran 2,5×2,5 m saja. Kugunakan untuk meletakkan berbagai perabotan kamarku yang masih bisa terselamatkan. Kami tidur di lantai beralaskan kasur kapuk yang akhirnya kering setelah kami jemur berbulan-bulan. Tidak empuk lagi memang. Tetapi sudah sangat bersyukur, cukup bersih untuk kembali digunakan. Ada juga meja kecil dan rak buku kecil pemberian dari teman semasa kuliah yang sudah lulus duluan. Untuk menyimpan baju-baju, aku membeli almari plastik yang banyak diedarkan orang keliling kampung. Lumayan untuk sementara meletakkan seragam-seragam sekolah agar tidak kusut.

Bukan aku sendiri yang mengalami hal ini. Beberapa siswaku juga mengalami hal yang sama. Dari mereka aku mencoba belajar untuk mengikhlaskan segalanya. Mereka dapat bersikap ceria, mengapa aku tidak? Sekuat tenaga perlahan kulepaskan segala beban. Nyawa masih melekat di badan, Allah masih memberi kesempatan. Akan datang kemudahan, aku yakin itu.

Berbekal lampu kecil yang menerangi kamarku, aku mulai mengolah data penelitianku. Terlintas dalam benakku kala para siswa dengan semangat menulis puisi-puisi indah tentang gempa bumi. Peristiwa dasyat itu justru memantik ide dan gagasan mereka, sehingga dengan mudah dituangkan dalam tulisan. Teringat pula tatkala kami bernyanyi dengan syair yang kami susun sendiri dengan meminjam irama lagu dari grup band papan atas. Mereka tampak bahagia, tak dapat dipungkiri kami pun bisa tertawa bersama ketika salah seorang siswa menyumbangkan suara sumbangnya dengan begitu percaya dirinya.

Malam itu, memandangi setumpuk data dan berkas yang baru saja kukeluarkan dari koperku, kegundahan kembali melandaku. Tentu saja aku harus memikirkan bagaimana membayar uang semesteran dan uang pendaftaran untuk pendadaran, yudisium, juga segala pernak-pernik wisuda. Semester lalu, aku sudah meminjam uang koperasi sekolah untuk membayar semesteran dan masih kurang beberapa kali angsuran. Memang sejak mulai bekerja di madrasah itu, aku memutuskan untuk tidak lagi membebani orang tuaku dengan biaya kuliahku. Alhamdulillah 2 semester berhasil kubiayai sendiri. Kini aku pun tak ingin membebani ayah dengan biaya yang cukup besar di tengah musibah ini. Berbulan-bulan juga aku sudah merepotkan kakak pertamaku dengan setiap malam mengetik skripsi di rumahnya yang kebetulan tidak runtuh karena gempa.

Tiba-tiba saja Hpku berbunyi, sebuah pesan sms masuk. Segera kuambil dan kubaca. Ternyata dari seorang dosen yang selama ini begitu baik padaku. Pernah suatu ketika sembari bercanda ia memintaku menjadi asistennya. Bu Siti namanya. Kubaca pesannya dengan seksama. Alhamdulillah pertolongan Allah pun datang melalui niat baik bu Siti yang ingin meminjamkan uang gaji 13-nya untuk dua mahasiswa yang ia pilih.

“Besok datanglah ke rumah, Lian. Ambil uangnya untuk keperluan kuliahmu. Tidak usah memikirkan pengembaliannya dulu. Kelak jika kau sudah lulus, sudah bekerja, dan sudah mampu, baru boleh mengembalikan,” pesannya.

Senyum mengembang di bibirku. Ya, Allah itu maha tahu. Allah memberikan banyak kemudahan kepada hambaNya yang mampu menerima takdirNya dengan ikhlas.

Tinggalkan Balasan