Perjalanan Cinta Seorang Guru (22)

Edukasi, Humaniora, KMAB, Novel119 Dilihat
Hari berganti minggu. Minggu berganti bulan. Satu tahun, dua tahun dan sudah lebih dari delapan tahun Jamel di Moro. Sebagai peneraju SMA yang sudah berubah nama menjadi SMA Negeri 1 Moro, itu Jamel semakin sibuk. Ada banyak hajat yang dia rencanakan. Banyak pula program yang diangan-angankan. Apalagi setelah datangnya 13 orang guru baru sekaligus, Jamel merasa semakin bersemangat. Sekolah ini akan semakin kuat, bisik Jamel dalam hatinya. SMA Negeri 1 Moro segera akan terasa berubahnya. Gedung sekolah juga sudah bertambah dengan dipakainya gedung baru di sebelah timur gedung lama.
 
Tentang kedatangan guru baru, para CPNS itu sesungguhnya membuat hati dan semangat Jamel berbunga-bunga. Selama ini para guru SMA Moro adalah para guru Negeri yang bertugas di beberapa sekolah yang ada di Moro. Ada Kepala SMP Negeri Moro, Pak Bakhtiar dengan beberapa orang gurunya ikut mengabdi di sekolah yang pada awalnya berdiri atas inisiatif YPM. Ada Ibu Nelda, Pak Aziz, Bu Supini dan beberapa orang lainnya. Bahkan ada juga dari guru dan Kepala SD Negeri 1 Moro. Begitulah awal mula berjalannya SMA ini.
 
Kini telah hadir para sarjana pendidikan dari luar Moro. Mereka adalah para guru yang diangkat dan ditempatkan pada SMA Negeri 1 Moro. Di satu titik begitu berbahagianya Jamel sebagai Kepala Sekolah yang juga baru pertama kali memimpin sekolah dengan status Kepala Sekolah.  Tidak lagi sebagai Wakil Kepala Sekolah. Tapi di titik lain, ada juga kekhawatiran lain di hati Jamel. Jika para guru sudah lengkap, bagaimana dengan guru honor itu? Jika tenaga honor itu berasa dari sekolah-sekolah lain yang statusnya juga PNS, itu tidak masalah. Mereka tinggal kembali saja ke sekolah asalnya. Hanya, ada beberapa guru honor yang murni sebagai tenaga honor penuh. Bukan PNS. Akankah diberhrntikan? Itu pasti tidak mudah dan tidak beretika.
 
“Bagaimana kami, Pak? Masihkah akan dipakai di sini?” Itu pertanyaan Ramlan, seorang guru honor yang bukan PNS. Dia menyampaikan pertanyaan itu mewakili tiga orang teman lainnya yang juga tenaga honorer non PNS. Jamel tidak terkejut dengan pertanyaan Ramlan itu. Isu beberapa guru akan berhenti sudah terdengar sejak datangnya belasan guru negeri itu. Inilah tantangan lain yang dirasakan Jamel dalam melanjutkan memimpin sekolah baru ini.
 
“Jika masih ingin bersama dan Mata Pelajarannya belum ada pengampunya, saya berharap kawan-kawan bersedia tetap di sini, Pak.” Jamel hati-hati menjawab pertanyaan Ramlan. Jamel sadar, sekolah ini dirintis dan dikelola oleh para honorer itu sejak awal. Oleh karena itu tidak mungkin diberhentikan begitu saja setelah hadirnya para guru baru itu.
 
“Kami juga membantu di MTs, Pak. Kebetulan di MTS juga kami ikut.” Ramlan menjelaskan kalau dia dan teman-teman juga terdaftar sebagai guru honor di sekolah agama swasta. MTs Al-Hidayah didirikan hampir bersamaan dengan berdirinya SMA Moro. Diprakarsai oleh para tokoh Kecamatan Moro yang sama dengan pemrakarsa SMA. Berdirinya MTs justeru disyaratkan oleh Pemerintah waktu itu sebagai sekolah pendukung SMA yang akan didirikan. Jadi, selain SMP yang sudah ada perlu tambahan sekolah pendukung. Maka berdirilah MTs swasta yang loaksinya berdampingan dengan SMA Moro.
 
“Kalau begitu, Bapak-bapak yang di MTs sudah tidak ada masalah. Kita bisa memperkuat dua sekolah ini,” kata Jamel melanjutkan diskusi siang itu. “Jika SMA memerlukan Bapak-bapak, saya harap tetap bisa membantu kami. Ini adalah sekolah kita.” Jamel berharap, pelan-pelan guru honor di SMA mundur dengan baik tanpa diberhantikan dan komuniaksi dengan para guru itu nanti tetap terjalin walaupun mereka sudah tidak lagi menjadi bagian dari sekolah yang dia pimpin. Isu yang berhembus seolah-olah Kepala SMA akan memecat para guru lama semoga tidak ada lagi. Itu penting bagi Jamel yang baru memulai hidup bersama dengan warga Moro. Dia juga harus memikirkan para guru yang rata-rata dari Pekanbaru dan Sumatera Barat untuk dapat hidup tenang dengan warga Moro.
 
Satu tahun pertama sejak Jamel  resmi menjadi Kepala Sekolah bersama hadirnya para pendidik baru ada perasaan yang terkadang membuat hati Jamel tidak tenang juga. Kedatangan sejumlah guru ini juga menjadi hal baru di Moro. Rumah tempat tinggal para guru yang rata-rata masih bujang dan gadis ini tidak tersedia. Pemerintah tidak menyiapkan perumahan tempat tinggal. Rumah sewa juga tidak semudah membalik telapak tangan mencarinya. Karena mereka datang serentak dan tempat menginap belum ada, ini menjadi persoalan cukup berat bagi Jamel. Sebagai Kepala Sekolah, persoalan rumah tempat tinggal guru-guru baru adalah tanggung jawab dia. Paling tidak untuk membantu mencarikannya.
 
“Mereka mau tinggal di mana?” Jamel pernah bertanya begitu kepada isterinya beberapa hari sebelum para guru tiba di Moro. Informasi perihal akan datangnya guru baru memang sudah sampai di Moro.
 
“Harus kita tanya-tanyakan di sini, Bang. Mencari rumah sewa, begitu.” Tati juga merasa ikut bertanggung jawab atas tanggung jawab suaminya.*** (bersambung)

Tinggalkan Balasan