Perjalanan Cinta Seorang Guru (32)

Edukasi, KMAB, Literasi, Novel36 Dilihat

Sekolah baru di tempat baru, kini kembali terjadi dan dirasakan Jamel. Dari Moro di Pulau Moro akan bergeser ke Tanjungbalai Karimun di Pulau Karimun. Bagi seorang abdi negara yang berarti abdi masyarakat tentulah berpindah-pindah tugas dari satu tempat ke tempat lain adalah suatu keniscayaan dan biasa seperti itu. Jamel akan mengalami untuk kedua kali setelah SK mutasi itu diterima.

Mutasi tugas seorang PNS –termasuk guru, tentu– tidak hanya akan terjadi dalam satu wilayah terbatas seperti di sebuah pulau yang  hanya satu kecamatan. Bisa dalam satu kabupaten bahkan juga bisa antar kabupaten dalam satu provinsi. Ketika awal melamar menjadi PNS pun sudah ditandatangani kesanggupan ditempatkan dimanapun di seluruh wilayah NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) oleh setiap pelamar. Bukan hanya di Karimun sebagaimana yang dialami Jamel. Bukan juga hanya diprovinsi ini saja seperti yang dialami Anto, sahabat Jamel.

“Kapan pelantikan kita, Nur?” Jamel sudah mendapat informasi bahwa pelantikan akan dilaksanakan secara kolektif. Beberapa orang Kepala Sekolah yang dimutasi dalam periode ini akan dilantik oleh bupati dalam satu kesempatan. Tapi Jamel tidak tahu hari apa dan tanggal berapa? Itu sebabnya dia mengontak Masnur yang akan ditempatkan di Moro menggantikan meja yang ditinggalkan Jamel.

“Katanya hari Rabu ini. Siap-siap ajalah,” kata Masnur menjawab pertanyaan seniornya itu.

“Terima kasih. Jas dan kebaya akan keluar lagi,” kata Jamel.

“Ya, jas itu hanya kesempatan tertentu saja. Inilah momennya. Bini kita pun akan memakai kebaya mendampingi kita.”

“Ya.”

Setelah mengikuti pelantikan langsung oleh Bupati Karimun, Muhammad Sani bersama beberapa Kepala Sekolah yang dimutasi atau mendapatkan promosi, Jamel pun resmi memimpin SMA Negeri 2 Karimun. Sekolah yang berlokasi di perbatasan Tanjungbalai Karimun dengan Meral itu berdiri setelah SMA Negeri 1 Karimun tidak mampu menampung siswa baru. Diprakarsai oleh beberapa orang tokoh pendidikan, baik pejabat pemerintahan maupun swasta, mereka sepakat membantu Pemerintah untuk mendirikan sekolah baru. Sekolah yang sudah ada tidak bisa menampung ramainya calon siswa baru. 

Awal Jamel menjadi pimpinan di SMA Negeri 2 Karimun ada peristiwa unik yang dia alami. Sebagai Kepala Sekolah baru ada kejadian yang membuatnya khawatir. Waktu itu Jamel belum benar-benar bekerja di SMA Negeri 2 Karimun karena belum pindah secara pisik dari Moro ke Karimun. Dia masih di rumah lama (di Moro) sambil bersiap untuk pindah ke Tanjungbalai Karimun.

Mengingat jarak antara Moro dengan Tanjungbalai Karimun cukup jauh, menyeberangi laut Moro-Karimun sebagaimana dulu dia pindah dari Tanjungbatu ke Moro tentu saja perlu persiapan yang matang. Barang-barang kebutuhan dan apapun yang dimiliki tentu harus dipersiapkan proses pindahnya. Butuh kapal (pompong atau lainnya) secara khusus untuk mengangkut barang-barang itu. Jadi, sebelum benar-benar masuk bertugas di sekolah baru itu dia perlu beberapa hari tetap di Moro sekaligus menunggu seremoni perpisahan dengan para guru dan Kepala Sekolah baru di SMA yang akan dia tinggalkan.

Waktu-waktu satu-dua hari menunggu dan bersiap itulah tiba-tiba siang itu ada telpon dari seberang sana. Dari Tanjungbalai Karimun. Persisnya dari sekolah, SMA Negeri 2 Karimun yang akan menjadi tanggung jawabnya terhitung sejak dilantik beberapa hari yang lalu. Salah seorang Wakil Kepala Sekolah menelpon ke HP Jamel yang menyebutkan telah terjadi ‘kesurupan massal’ di SMA Negeri 2 Karimun, pagi menjelang siang itu.

“Pak, anak-anak banyak sekali yang kesurupan,” begitu informasi dari SMA Negeri 2 Karimun. Dalam kondisi sekolah tidak lagi memiliki pucuk pimpinan karena Pak Yatim sudah bertugas di SMA Negeri 1 Karimun sementara Jamel masih di Moro, tentu saja masalah ini akan menjadi ‘beban’ tersendiri bagi para guru di SMA Negeri 2 Karimun yang saat itu berada di sekolah. Lebih dari itu tentu saja kabar itu membuat Jamel risau dan khawatir karena dia masih di Moro.

“Seperti apa keadaannya?” Jamel meminta informasi lebih detail kepada Wakil Kepala Sekolah Bidang Kurikulum yang berada di sekolah saat itu.

“Anak-anak perempuan, Pak. Mereka memekik seperti orang gila. Kesurupan. Ramai pula.” Seperti suara orang ketakutan Alta, Wakasek itu menjelaskan kepada Jamel.

Tanpa lama berpikir, Jamel dengan cepat membuat keputusan, meminta para guru terutama para Wakil Kepala Sekolah untuk menangani masalah itu dengan baik. Langkah pertama, perintahnya adalah meminta pulangkan saja semua siswi ke rumah masing-masing. Lalu kumpulkan semua siswa yang lain di halaman sekolah. Lalu beri pengarahan untuk dipulangkan saja ke rumah masing-masing. “Udah, balikkan saja, dulu. Hari ini tentatif, belajar di rumah.” Begitu arahan Jamel kepada para Wakil yang ada di sekolah. *** (bersambung)

Tinggalkan Balasan